SETELAH beberapa kali terancam gagal, Putaran Uruguay alias Uruguay Round yang berlangsung sejak tujuh tahun lalu akhirnya rampung juga. Dan Indonesia terutama Bulog boleh bernapas lega. Soalnya, 117 negara peserta perundingan telah memahami posisi Bulog sebagai badan yang mengatur kestabilan harga bahan pokok bagi 183 juta penduduk Indonesia. Pengertian itu telah dirangkum oleh para perunding Putaran Uruguay dalam Article XVII. Inti dari klausul ini adalah, negara-negara penanda tangan GATT (Perjanjian Internasional tentang Tarif dan Perdagangan) diperbolehkan memiliki state trading enterprises (STE). Dengan kata lain, keberadaan lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola satu atau beberapa komoditi tertentu tidak diharamkan. Kalau perlu, badan usaha swasta pun, jika memang diperlukan dan ditunjuk oleh pemerintah setempat, akan diterima dengan tangan terbuka oleh World Trade Organization, lembaga yang akan dibentuk sebagai konsekuensi kesepakatan Jenewa dari Putaran Uruguay itu. Dan ini bukan kemenangan bagi Beddu Amang saja Waka Bulog ini aktif di Putaran Uruguay sejak 1986. Tapi juga merupakan kemenangan banyak negara. Sebab terbukti, lembaga semodel Bulog bukan cuma dimiliki Indonesia. Ada beberapa negara maju yang memiliki lebih dari satu STE. Inggris, misalnya, memiliki lima STE, seperti Milk MB (Marketing Board), Potato MB, British Wool MB, British Coal Corporation, dan British Nuclear Fuels. Juga di Negeri Kanguru ada Australian Horticulture Corporation dan Australian Dairy Corporation. Sedangkan Swiss memiliki dua lembaga yang memonopoli susu dan alkohol. Hanya saja, pengakuan keberadaan STE tidak berarti lembaga ini boleh bertindak sekehendak mereka. Ada empat syarat yang harus dipenuhi berdasarkan aturan main GATT. Satu di antara syarat itu ialah, negara peserta harus menghindari sikap diskriminasi. Jadi, jika impor haruslah berdasarkan perhitungan dagang impor gandum misalnya. Indonesia tak perlu mengimpor dari AS bila ada negara lain yang menawarkan gandum dengan kualitas sama, tapi harganya lebih murah. Singkat kata, setiap impor harus dilakukan setransparan mungkin. Selain itu, negara importir juga tidak boleh menyalahi janji yang telah diberikan tentang tarif bea masuk. Jika sebuah komoditi sudah ditentukan bea masuknya 30%, maka hal ini harus dipatuhi, hingga ada kesepakatan baru. Ternyata, bagi Indonesia, empat syarat itu tidak jadi soal. "Kita sudah menerapkannya sejak dulu," kata Beddu Amang. Yang cukup berat diperjuangankan oleh Beddu di Putaran Uruguay adalah tawar-menawar impor beras. Seperti diketahui, semula setiap negara harus melakukan impor minimal 3% dari jumlah total konsumsinya. Dan secara bertahap, jumlah ini harus dinaikkan menjadi 5%. Kalau itu yang disetujui, jelas, akan memberatkan Indonesia. Soalnya, dengan ketentuan yang 3% itu saja, negeri ini minimal harus mengimpor 750 ribu ton beras (dihitung berdasarkan konsumsi yang 25 juta ton per tahun). Ini berarti, kelak kita harus menyediakan devisa lebih dari 100 juta dolar. Tak dapat tidak, petani yang menghasilkan beras dengan harga sekitar Rp 600 per kilo akan terpukul dengan beras impor yang harganya rata-rata Rp 320. Untunglah usul itu bisa dibendung. Dan Indonesia lolos dari keharusan mengimpor minimal 3%. Menurut Beddu, para perunding setuju jika Indonesia hanya membuka pasar beras impornya sebanyak 70 ribu ton saja. Angka ini muncul berdasarkan perhitungan 50% dikalikan dengan rata-rata impor beras Indonesia pada periode 1986-1988. Selain itu, karena beras Indonesia merupakan muka baru di jajaran komoditi yang diolah GATT, para perunding tidak keberatan jika pemerintah menetapkan bea masuk tertinggi, yakni 180%. Artinya, kendati harga beras impor cuma Rp 320 per kilo, dengan bea sebesar itu jatuhnya menjadi Rp 896. Dan satu hal yang perlu dicatat, impor itu pun tidak berlaku mutlak. Melainkan suka-suka negara yang bersangkutan. Maksudnya, jika produksi lokal sedang bagus, maka impor tak perlu dilakukan, begitu pula sebaliknya. "Untuk negara berkembang memang ada S&D (Special & Differential) treatment dari GATT," kata Beddu. Dan itu diberikan berdasarkan pertimbangan demi pembangunan ekonomi, pedesaan, dan pengentasan kemiskinan. Jadi, dalam hal ini GATT juga membenarkan adanya subsidi di negara-negara berkembang. Dengan demikian, urusan beras tak jadi masalah. Lagi pula, selama ini Indonesia merupakan pemain beras yang fair, dalam arti tetap mengimpor, kendati sudah swasembada beras sejak tahun 1984. Selama 10 tahun, Indonesia mengimpor 1,262 juta ton beras, sedangkan ekspornya 1,489 juta ton alias surplus 227 ribu ton. Ini wajar, karena pada periode yang sama, produksi beras telah naik 6 juta ton menjadi 31 juta ton pada tahun 1993. Lantas bagaimana dengan nasib komoditi lain yang juga diatur Bulog, seperti gula dan kedelai? Tiap tahun Indonesia mengimpor masing-masing 140 ribu ton dan 426 ribu ton. Gandum bahkan 100% impor. Yang harus pasang kuda-kuda adalah susu dan bungkil. Susu, menurut aturan main yang baru, harus membuka 50% pasarnya bagi produk impor, dan bungkil 60%. Tapi rasio ini hanya berlaku untuk waktu 10 tahun. Setelah itu, keduanya harus benar-benar terbuka. "Makanya, para pengusaha harus segera melakukan efisiensi agar bisa bersaing dengan susu dan bungkil impor," kata Beddu.Budi Kusumah dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini