DIET super ketat yang diprogramkan PT Tambang Timah ternyata tak membuat BUMN itu jadi langsing. Demi efisiensi, sejak dua tahun terakhir, PT Timah memang telah mengurangi jumlah pegawainya dari 24.000 hingga tinggal sepertiganya. Laju perampingan ini sesungguhnya sudah melampaui target, karena dalam pola restrukturisasi semula, PT Timah merencanakan jumlah pegawai 9.000 orang. Tapi, perampingan itu rupanya belum cukup. Bukan karena perkiraan harga timah dunia meleset (harga yang diduga tak akan turun dari US$ 5.300, ternyata anjlok hingga US$ 4.200 per ton), tapi karena komposisi karyawannya kurang serasi. Di bidang administrasi, jumlah karyawan yang tinggal 8.300 orang itu dirasakan masih terlalu banyak. Menurut Direktur Keuangan PT Timah, Erry Riyana, jumlah itu masih bisa dikurangi hingga 6.600 orang saja. Riyana juga menilai produktivitas pegawai PT Timah masih belum memadai. Katanya, bila dibandingkan dengan perusahaan sejenis di lingkungan BUMN, seharusnya prestasi mereka masih bisa didongkrak. Yang pasti, perampingan itu bukan soal enteng, terutama karena banyak karyawannya mengharapkan bisa segera dipensiun dini. Soalnya, mereka mengincar pesangon. Thayib Rachman, karyawan bagian transportasi lulusan STM, dengan masa kerja 26 tahun, bisa menyabet pesangon Rp 32 juta. Di pihak perusahaan, pesangon yang begitu besar membawa dampak pada kondisi keuangannya. Menurut Riyana, sampai saat ini program perampingan telah menghabiskan dana Rp 200 miliar. Kebetulan, tak semuanya harus dikuras dari kas PT Timah. Sekitar Rp 77 miliar menjadi kewajiban Yayasan Dana Pensiun Timah dan Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, yang pernah menjadi penjamin kesejahteraan hari tua karyawan PT Timah. Sisanya disabet PT Timah dari penyertaan modal pemerintah sebesar Rp 113 miliar. Menurut Riyana, dari jumlah ini, sekarang sudah cair Rp 99 miliar sehingga perusahaan tinggal menomboki kekurangannya. Dan itu diambilkan dari hasil lelang sejumlah aset: wisma peristirahatan, rumah dinas, dan kompleks perumahan di Jakarta dan Bandung yang terjual seharga Rp 24 miliar, tahun silam. Sekarang, dengan harus membayar pesangon untuk hampir 2.000 orang, dari mana lagi PT Timah akan mendapatkan uang? Masih ada satu aset besar lagi yang belum terjual. Itulah Gedung Timah di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang sudah sejak dua tahun lalu disewa PLN. Sejak itu pula gedung sembilan lantai itu ditawarkan. Menteri Pertambangan dan Energi pun sudah setuju. Tapi ada kabar, penjualan gedung yang berdiri di atas tanah hampir dua hektare itu seret. Direktur Utama PT Tambang Timah Kuntoro Mangkusubroto mengakui, untuk menjual aset negara memang tak bisa sembarangan. Setelah minta persetujuan Menteri Sudjana sebagai pembina teknis, pihaknya harus melapor kepada Menteri Keuangan selaku pemegang saham. Kini penjualan Gedung Timah baru sampai tahap penaksiran nilai oleh satu tim antar-departemen. Berapa jumlahnya, Kuntoro merahasiakan. Yang pasti, "Opsi penjualan yang pertama memang akan diberikan kepada PLN selaku penyewa," katanya. Salah satu sumber TEMPO mengatakan, soal opsi sudah bukan masalah. Gedung Timah agaknya akan menjadi jodoh PLN, yang membayarnya seharga Rp 90 miliar. Kalau memang harganya sebesar itu, dan pembayaran dari pihak PLN lancar, maka yang akan bergembira agaknya bukan Kuntoro, tapi mereka yang siap-siap untuk di-PHK itu.Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini