TAK lama lagi upah minimum regional di Jakarta akan dinaikkan. Kabar gembira itu tertuang dalam SK Menteri Tenaga Kerja 20 Desember 1993. Upah terendah di DKI Jakarta, yang semula Rp 2.600, mulai 1 Januari 1994, naik menjadi Rp 3.800 per hari. Menurut Ketua Dewan Pengupahan DKI Jakarta, Rozy Munir, kenaikan itu cukup wajar, kendati pihaknya semula mengajukan upah minumun Rp 4 ribu per hari. Jumlah itu sesuai dengan kebutuhan fisik minimum (KFM) di DKI Jakarta saat ini. Diakuinya juga bahwa kenaikan upah tersebut demi mengejar target, agar pada akhir Repelita V, yaitu Maret tahun depan, upah minimum sama dengan KFM. Memang, dibandingkan dengan Tangerang, Bekasi, dan Bogor, buruh di DKI Jakarta adalah yang terakhir mendapat kenaikan upah. Tapi, mengapa kenaikan itu mendadak? Hal itulah barangkali yang membuat Benny berkomentar dingin. "Kenaikan upah yang mendadak itu bisa mengacaukan cash flow perusahaan," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) itu. Kontrak dagang dengan pihak pembeli, menurut Benny, biasanya dilakukan enam bulan sebelum penyerahan barang. Artinya, dalam memperhitungkan biaya produksi, pengusaha memasukkan upah buruh yang lama. Padahal, upah buruh sudah naik. Di atas itu semua, mengapa upah minimum itu masih harus dipotong Rp 200? Mengapa tidak bulat Rp 4.000 atau bahkan Rp 5.000? Jumlah itu baru dua setengah dolar, hanya cukup untuk makan pagi di sebuah kantin sekolah di Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini