MEMELIHARA devisa itu ibarat mengurus anak kecil. Susah-susah gampang. Diperlakukan keras, salah. Dilonggarkan pun, salah. Coba lihat. Ketika bank dan berbagai perusahaan ramai-ramai menarik pinjaman dari luar negeri, pemerintah mendadak terjangkit rasa khawatir. Maka, dalam dengar pendapat dengan Komisi VII DPR Kamis pekan lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Adrianus Mooy berjanji akan mengeluarkan pedoman khusus, untuk mengendalikan pinjaman dari luar negeri. Setelah pernyataan Mooy di DPR itu, memang kemudian ada yang menduga-duga, BI akan menerapkan kembali rezim devisa. Artinya, meninggalkan rezim devisa bebas yang berlaku sejak awal Orde Baru sampai saat ini. Masalahnya, selama ini BI hanya mewajibkan bank melaporkan setiap pinjaman luar negerinya. Dengan pedoman itu, kini BI pun mewajibkan perusahaan nonbank melaporkan setiap pinjaman luar negerinya. Tapi juru bicara BI, Siswanto, membantah teori itu. Pembatasan devisa dianggapnya hanya akan mendorong pelarian uang ke luar negeri. Bahkan bisa-bisa cadangan devisa yang terkuras. Frans Seda, yang pernah menjabat Menteri Keuangan pada tahun 1966-1968, juga tidak sependapat jika pedoman itu dikatakan sebagai usaha menghidupkan kembali rezim devisa. Yang jelas, katanya, dengan pedoman itu orang akan lebih berhati-hati mengambil utang luar negeri. Mungkin ada benarnya juga. Sebab, jika emosi meminjam itu tidak cepat diredam, tentu akhirnya akan mengancam BOP (neraca pembayaran) kita. Tapi ini bukan berarti semua pihak setuju dengan rezim devisa bebas. Ketika terjadi ribut-ribut soal pelarian modal ke luar negeri tahun lalu, ada beberapa pengusaha dan pakar ekonomi yang menyarankan agar pemerintah menempuh rezim devisa terkontrol. Artinya, dolar dan yen tidak bisa keluar-masuk sembarangan di negeri ini. Memang, salah satu segi negatif dari devisa bebas adalah tidak adanya mekanisme kontrol. Padahal, di negara-negara NlCs (Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura) yang sudah maju, pengontrolan devisa masih tetap dilakukan. Namun, kata Frans Seda, jika rezim devisa dibuka kembali, yang terjadi adalah pengalokasian devisa pada sebagian kelompok. Apalagi, ujar Seda lebih lanjut, watak bisnis orang Indonesia sangat berbeda dengan orang-orang di negara NlCs. Di sini, rezim devisa berarti spekulasi dan uang panas. Sangat beralasan jika ia tidak setuju rezim devisa dihidupkan kembali di Indonesia, sekalipun nanti ekonominya sudah mapan seperti negara-negara NICs. "Saya akan menentang jika ada yang ingin menghidupkan kembali rezim devisa," ujar bekas menteri yang kini sukses sebagai pengusaha ini. Pula, pengalaman pahit tahun 1950 tampaknya belum hilang dari ingatan para pengambil keputusan. Ketika itu Lembaga Alat Pembayaran Luar Negeri berusaha mengendalikan pemakaian devisa, untuk menyelamatkan cadangan devisa yang sangat terbatas jumlahnya. Yang terjadi adalah sebaliknya. Karena itu, pada 1968 Pemerintah menerapkan devisa bebas. Ini berarti, setiap pelaku ekonomi bebas membawa keluar-masuk uang mereka. Terlepas dari semua hal tadi, yang jelas devisa bebas yang merupakan simbol keterbukaan Indonesia terhadap dunia luar sedikit banyak telah memberikan dampak positif. Di antaranya yang menonjol adalah masuknya investasi asing ke Indonesia. Sebelumnya, investasi asing masih US$ 13,4 milyar, sedangkan empat tahun terakhir (1987-90) jumlahnya menjadi US$ 19,3 milyar. Cadangan devisa pun setiap tahun menunjukkan kenaikan, dan angka terakhir cadangan devisa kita ditaksir sudah di atas US$ 11 milyar. Jadi, apa pun yang dilakukan Pemerintah untuk mengontrol devisa, tidak berarti memutar jarum jam ke masa lampau. "Ibaratnya ini hanya masuk ke persneling tiga," kata Siswanto enteng. Maksudnya, kendati tetap menganut devisa bebas, diharapkan pelaku ekonomi tidak jor-joran. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini