KUNJUNGAN kerja Wakil Presiden Adam ke Bali (5 Juni) memang
padat. Setelah membuka sidang ke-25 ICC-CAPA (KADIN Asia &
Pasifik Barat) di Hotel Bali Beach, dia langsung ke Nusa Dua,
melihat pembangunan hotel yang jumlah kamarnya sampai 6.000 itu.
Ia didampingi Dirjen Kebudayaan Pof. Mantra, juga bekas Dirjen
Pariwisata Prayogo yang dalam hal ini bertindak selaku Dirut
PT BTDC yang menhla daerah wisata baru ini. Di ini dia
mendengar dan menyaksikan betapa besar proyek Nusa Dua, yang
nantinya dirancang sebagai perkampungan turis paling modern.
Sejumlah 600.000 turis akan singgah di Bali dalam 1980 dan
sejuta turis akan tumpah memenuhi pulau ini pada akhir Pelita
III. Begitu kurang lebih gambaran yang diperoleh Bung Adam di
daerah nelayan miskin yang bernama Nusa Dua ini.
Sorenya, di ruang Pertamina Cottages Kuta, Wapres dan sejumlah
rombongan yang dibawanya dari Jakarta, berhadapan dengan
sejumlah pemilik hotel, biro perjalanan dan eksponen pariwisata
lainnya. Gambaran bahwa Bali perlu segera kamar hotel untuk
menghadapi ledakan turis, menjadi mentah lagi tatkala letua
PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) Komda Bali,
Kompyang melontarkan kepadanya bahwa "laporan perkembangan turis
ke Bali yan dibikin Diparda Bali ke Jakarta adalah
angka-angka bohong." "Statistik kedatangan turis di Bali yang
dilaporkan ke Jakarta tidak benar. Angka yang dilaporkan tiga
kali lebih besar dan statistik itupun dibuat pada musim turis
ramai," ujar Kompyang. Manager Segara Vilages Sanur yang
menyebut ucapannya sebagai suara resmi dari PHRI Bali
melanjutkan "karena laporan ke Jakarta itu palsu, dan dari
laporan bohong itu pemerintah lalu menambah jumlah kamar, sudah
sepantasnya pembangunan Nusa Dua dihentikan." Ida Bgs Dewangkara
menambahkan, "pembangunan dan penambahan hotel baru di Bali
lebih-lebih dengan mengundang modal asing, pertanda bangkrutnya
pengusaha pribumi." Dewangkara mengacungkan tangan: "Stop
pembangunan Nusa Dua, kami tidak setuju."
S. Yahya, pengusaha hotel di luar PHRI (dan ia punya kelompok
bernama BNHA-Bali National Hotel Association) memang sependapat,
bahwa statistik kedatangan turis di Bali yang dilaporkan ke
pusat sebagai "bohong besar," katanya. Tapi perkara Nusa Dua, ia
punya pendapat lain. Ia setuju proyek Nusa Dua dilanjutkan
terus, karena dengan pembangunan itu tenaga kerja di Bali
tertampung. "Tapi hendaknya modal luar negeri yang menanam
modalnya harus membawa uang sendiri dan tanpa fasilitas
berlebihan dari pemerintah. Pembangunan Nusa Dua, saya tidak
setuju menggunakan uang negara apalagi dengan kemanjaan
fasilitas," kata S. Yahya.
Lagu Lama
Ini sesungguhnya lagu lama saja. Tiga tahun belakangan ini,
suara pemilik hotel tertuju pada tidak tepatnya pembangunan
hotel besar-besaran di Nusa Dua. Karena hotel di sepanjang
pantai Sanur justru bangkrut, sementara hotel yang besar saling
jegal dengan perang tarif.
Tentang kisah bangkrutnya hotel pribumi di sepanjang pantai
Sanur, mengundang keharuan di ruang yang pernah jadi tempat
konperensi OPEC dan KTT ASEAN itu. Berkata Ida Ayu Mirah, nyonya
pemilik Mars Bungalows: "Saya orang pertama yang mendirikan
hotel di Sanur, tapi ketika pemerintah mendirikan HBB, hotel
kami kena gusur dan dibayar Rp 30 juta. Itu uang lama, beberapa
bulan kemudian menjadi Rp 300.000." Dengan nada sedih dan suara
tersendat, Ida Ayu Mirah menuturkan, bahwa pemerintah memang
berbaik hati, memberikan kredit membangun hotel baru. "Dari
sinilah awal penderitaan kami. Kami tak mampu bayar hutang,
dicekik dan dikejar bank, diancam akan di PUPN-kan dan dipaksa
untuk merger," air mata meleleh di pipi perempuan parobaya itu.
"Setelah bergabung, yang terjadi adalah lebih sial lagi. Merger
rugi karena salah urus. Dan habislah kekayaan kami." Suara itu
terhenti. Nyonya Mirah lemas di kursi, menangis
tersendat-sendat, tangannya dingin. Pertemuan jadi hening.
Dokter pribadi Adam Malik memeriksa denyut nadi perempuan ini,
lalu digotong ke luar. Petugas hotel Pertamina nampak sibuk
menghubungi suaminya, Ary Wijaya, yang petang itu jadi panitia
dalam sidang ICC-CAPA. Nyonya Mirah memang -- menurut koleganya
-- belakangan ini dalam pengawasan dokter. Ia menderita tekanan
darah tinggi dan jantung.
Namun pertemuan pelampiasan uneg-uneg tak terhenti lama. Ny.
Nuke, Direktris Gazebo Hotel, Ketua BNHA, giliran tampil. Ia
menyebut lika-liku kenapa hotel kecil di Sanur bangkrut.
Sejumlah permainan bank dibongkar dengan data dan angka yang
diucapkan di luar kepala. Srikandi dari Sanur ini menyebut suku
bunga bank, denda atas bunga, ancaman PUPN, penaksiran harta
kekayaan hotel dan pemaksaan merger, adalah kemelut yang
berangkai. "Merger katanya adalah jalan untuk mencegah
kehancuran. Nyatanya? Setelah 7 bulan merger (dengan nama PT
Bali Sanur Bungalows), tercatat kerugian Rp 38 juta," ucap Ny.
Nuke lantang. Dan Gazebo Hotels yang dipimpinnya telah keluar
dari merger. Kejaran hutang bank dan ancaman PUPN dapat
diselamatkan dengan menjual rumah warisan orang tuanya di
Bandung.
Melongo
Adam Malik petang itu tidak banyak bicara, dan rupanya cukup
jadi tukang tampung. Besok paginya, ia main golf ke Bedugul.
Acara selanjutnya yang barangkali lebih ramai telah menanti.
Berdialog dengan seniman pengrajin yang terhimpun dalam Koperasi
Kerajinan Sanggraha Kriya Astha. Begitu bertemu muka, Adam
langsung saja bilang: "Keluarkan uneg-uneg saudara, jangan takut
walau ada Gubernur." Tetapi seniman jadi melongo. Dan Adam
ketawa. "Seniman tidak seperti pengusaha hotel, ia tak banyak
bicara," komentarnya. Menteri Muda Urusan Koperasi Bustanil
Arifin, Dirjen Koperasi dan Gubernur Soekarmen yang
mendampinginya ikut mesem-mesem.
Yang berbicara dan sekaligus dianggap laporan, cuma pengurus
koperasi Alit Raka. Permintaannya tidak banyak. Seniman memang
tak wajar dan tak kuat mencari kredit bank, tapi tolong supaya
kredit candak kulak diberikan minimal untuk membeli 1 meter
kubik kayu atau 1 kg perak. "Atau cuma Rp 150.000 per orang per
tahun," kata Alit Raka. Permintaan kedua, koperasi ini sulit
memperkenalkan diri pada wisatawan. Sebabnya dana promosi kurang
dan tidak ada sistim komisi, sehingga komponen pariwisata
lainnya tidak mengarahkan tamunya ke koperasi ini, walau
harganya adalah standar dan mutu terjaga. Untuk itu koperasi
minta subsidi untuk promosi dan "arahkanlah tamu-tamu negara
supaya mengunjungi koperasi ini, karena ini toh proyek
pemerintah."
Atas permintaan itu, Adam Malik minta supaya dibuat perencanaan
yang matang untuk masa 5 tahun. Dan yang lain, "semuanya bisa
diatur."
Tetapi seniman pengrajin anggota koperasi ini nampak pesimis.
Terutama soal, bagaimana agar tamu-tamu pemerintah datang ke
koperasi ini. Karena jika tamu negara atau tamu yang penting
diatur perjalanannya oleh Pemda Bali, selama ini mereka selalu
singgah di Mas, di tempat mana Ida Bagus Tilem punya art shop.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini