Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Air Mata Untuk Wapres

Dalam kunjungannya ke Bali, Adam Malik bertemu dengan para pemilik hotel & biro perjalanan. Mereka mengeluh tentang bangkrutnya usaha hotel kecil. Pengrajin koperasi kerajinan mohon bantuan kredit & promosi. (eb)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUNJUNGAN kerja Wakil Presiden Adam ke Bali (5 Juni) memang padat. Setelah membuka sidang ke-25 ICC-CAPA (KADIN Asia & Pasifik Barat) di Hotel Bali Beach, dia langsung ke Nusa Dua, melihat pembangunan hotel yang jumlah kamarnya sampai 6.000 itu. Ia didampingi Dirjen Kebudayaan Pof. Mantra, juga bekas Dirjen Pariwisata Prayogo yang dalam hal ini bertindak selaku Dirut PT BTDC yang menhla daerah wisata baru ini. Di ini dia mendengar dan menyaksikan betapa besar proyek Nusa Dua, yang nantinya dirancang sebagai perkampungan turis paling modern. Sejumlah 600.000 turis akan singgah di Bali dalam 1980 dan sejuta turis akan tumpah memenuhi pulau ini pada akhir Pelita III. Begitu kurang lebih gambaran yang diperoleh Bung Adam di daerah nelayan miskin yang bernama Nusa Dua ini. Sorenya, di ruang Pertamina Cottages Kuta, Wapres dan sejumlah rombongan yang dibawanya dari Jakarta, berhadapan dengan sejumlah pemilik hotel, biro perjalanan dan eksponen pariwisata lainnya. Gambaran bahwa Bali perlu segera kamar hotel untuk menghadapi ledakan turis, menjadi mentah lagi tatkala letua PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) Komda Bali, Kompyang melontarkan kepadanya bahwa "laporan perkembangan turis ke Bali yan dibikin Diparda Bali ke Jakarta adalah angka-angka bohong." "Statistik kedatangan turis di Bali yang dilaporkan ke Jakarta tidak benar. Angka yang dilaporkan tiga kali lebih besar dan statistik itupun dibuat pada musim turis ramai," ujar Kompyang. Manager Segara Vilages Sanur yang menyebut ucapannya sebagai suara resmi dari PHRI Bali melanjutkan "karena laporan ke Jakarta itu palsu, dan dari laporan bohong itu pemerintah lalu menambah jumlah kamar, sudah sepantasnya pembangunan Nusa Dua dihentikan." Ida Bgs Dewangkara menambahkan, "pembangunan dan penambahan hotel baru di Bali lebih-lebih dengan mengundang modal asing, pertanda bangkrutnya pengusaha pribumi." Dewangkara mengacungkan tangan: "Stop pembangunan Nusa Dua, kami tidak setuju." S. Yahya, pengusaha hotel di luar PHRI (dan ia punya kelompok bernama BNHA-Bali National Hotel Association) memang sependapat, bahwa statistik kedatangan turis di Bali yang dilaporkan ke pusat sebagai "bohong besar," katanya. Tapi perkara Nusa Dua, ia punya pendapat lain. Ia setuju proyek Nusa Dua dilanjutkan terus, karena dengan pembangunan itu tenaga kerja di Bali tertampung. "Tapi hendaknya modal luar negeri yang menanam modalnya harus membawa uang sendiri dan tanpa fasilitas berlebihan dari pemerintah. Pembangunan Nusa Dua, saya tidak setuju menggunakan uang negara apalagi dengan kemanjaan fasilitas," kata S. Yahya. Lagu Lama Ini sesungguhnya lagu lama saja. Tiga tahun belakangan ini, suara pemilik hotel tertuju pada tidak tepatnya pembangunan hotel besar-besaran di Nusa Dua. Karena hotel di sepanjang pantai Sanur justru bangkrut, sementara hotel yang besar saling jegal dengan perang tarif. Tentang kisah bangkrutnya hotel pribumi di sepanjang pantai Sanur, mengundang keharuan di ruang yang pernah jadi tempat konperensi OPEC dan KTT ASEAN itu. Berkata Ida Ayu Mirah, nyonya pemilik Mars Bungalows: "Saya orang pertama yang mendirikan hotel di Sanur, tapi ketika pemerintah mendirikan HBB, hotel kami kena gusur dan dibayar Rp 30 juta. Itu uang lama, beberapa bulan kemudian menjadi Rp 300.000." Dengan nada sedih dan suara tersendat, Ida Ayu Mirah menuturkan, bahwa pemerintah memang berbaik hati, memberikan kredit membangun hotel baru. "Dari sinilah awal penderitaan kami. Kami tak mampu bayar hutang, dicekik dan dikejar bank, diancam akan di PUPN-kan dan dipaksa untuk merger," air mata meleleh di pipi perempuan parobaya itu. "Setelah bergabung, yang terjadi adalah lebih sial lagi. Merger rugi karena salah urus. Dan habislah kekayaan kami." Suara itu terhenti. Nyonya Mirah lemas di kursi, menangis tersendat-sendat, tangannya dingin. Pertemuan jadi hening. Dokter pribadi Adam Malik memeriksa denyut nadi perempuan ini, lalu digotong ke luar. Petugas hotel Pertamina nampak sibuk menghubungi suaminya, Ary Wijaya, yang petang itu jadi panitia dalam sidang ICC-CAPA. Nyonya Mirah memang -- menurut koleganya -- belakangan ini dalam pengawasan dokter. Ia menderita tekanan darah tinggi dan jantung. Namun pertemuan pelampiasan uneg-uneg tak terhenti lama. Ny. Nuke, Direktris Gazebo Hotel, Ketua BNHA, giliran tampil. Ia menyebut lika-liku kenapa hotel kecil di Sanur bangkrut. Sejumlah permainan bank dibongkar dengan data dan angka yang diucapkan di luar kepala. Srikandi dari Sanur ini menyebut suku bunga bank, denda atas bunga, ancaman PUPN, penaksiran harta kekayaan hotel dan pemaksaan merger, adalah kemelut yang berangkai. "Merger katanya adalah jalan untuk mencegah kehancuran. Nyatanya? Setelah 7 bulan merger (dengan nama PT Bali Sanur Bungalows), tercatat kerugian Rp 38 juta," ucap Ny. Nuke lantang. Dan Gazebo Hotels yang dipimpinnya telah keluar dari merger. Kejaran hutang bank dan ancaman PUPN dapat diselamatkan dengan menjual rumah warisan orang tuanya di Bandung. Melongo Adam Malik petang itu tidak banyak bicara, dan rupanya cukup jadi tukang tampung. Besok paginya, ia main golf ke Bedugul. Acara selanjutnya yang barangkali lebih ramai telah menanti. Berdialog dengan seniman pengrajin yang terhimpun dalam Koperasi Kerajinan Sanggraha Kriya Astha. Begitu bertemu muka, Adam langsung saja bilang: "Keluarkan uneg-uneg saudara, jangan takut walau ada Gubernur." Tetapi seniman jadi melongo. Dan Adam ketawa. "Seniman tidak seperti pengusaha hotel, ia tak banyak bicara," komentarnya. Menteri Muda Urusan Koperasi Bustanil Arifin, Dirjen Koperasi dan Gubernur Soekarmen yang mendampinginya ikut mesem-mesem. Yang berbicara dan sekaligus dianggap laporan, cuma pengurus koperasi Alit Raka. Permintaannya tidak banyak. Seniman memang tak wajar dan tak kuat mencari kredit bank, tapi tolong supaya kredit candak kulak diberikan minimal untuk membeli 1 meter kubik kayu atau 1 kg perak. "Atau cuma Rp 150.000 per orang per tahun," kata Alit Raka. Permintaan kedua, koperasi ini sulit memperkenalkan diri pada wisatawan. Sebabnya dana promosi kurang dan tidak ada sistim komisi, sehingga komponen pariwisata lainnya tidak mengarahkan tamunya ke koperasi ini, walau harganya adalah standar dan mutu terjaga. Untuk itu koperasi minta subsidi untuk promosi dan "arahkanlah tamu-tamu negara supaya mengunjungi koperasi ini, karena ini toh proyek pemerintah." Atas permintaan itu, Adam Malik minta supaya dibuat perencanaan yang matang untuk masa 5 tahun. Dan yang lain, "semuanya bisa diatur." Tetapi seniman pengrajin anggota koperasi ini nampak pesimis. Terutama soal, bagaimana agar tamu-tamu pemerintah datang ke koperasi ini. Karena jika tamu negara atau tamu yang penting diatur perjalanannya oleh Pemda Bali, selama ini mereka selalu singgah di Mas, di tempat mana Ida Bagus Tilem punya art shop.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus