Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Akhirnya Menentukan Sikap

Menteri PPLH Emil Salim mengumumkan keputusan presiden untuk membatasi jumlah kapal pukat harimau. Para nelayan tradisionil akan dirugikan & yang bermodal kuat kebanyakan para pengusaha asing. (eb)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM 1960-an, trawler atau kapal pukat harimau masih asing di Selat Malaka. Tapi, karena konfrontasi 1963, banyak kapal kecil yang tadinya mengangkut barang dagangan barter Indonesia-Malaysia terpaksa ditambat. Para cukong di Malaysia dengan kapal-kapal yang menganggur itu kemudian mencari bidang usaha lain. Dan mereka melihat cara baru dalam penangkapan ikan di Muangthai sedang diperkenalkan ketika itu. Maka perahu barter dijadikan mereka untuk menangkap ikan, dan ternyata menguntungkan. Itulah asal mula trawler berkembang biak sampai menjadi industri yang subur di perairan sekitarnya. Belakangan ini trawler atau pukat harimau mejnjadi sumber konfrontasi di kalangan kaum nelayan Malaysia sendiri, merembet ke pantai Sumatera bagian Timur, malah sampai ke Cilacap. Di Cilacap timbul konflik yang membawa korban, sedang di desa nelayan Muncar, kabupaten Banyuwangi di tahun 1973 para nelayan tradisionil berdemonstrasi antara lain dengan membakar beberapa trawler. Trawler itu memang menguntungkan kaum pemilik modal tapi mematikan para nelayan tradisionil. Telah timbul dialog mengenai untung-ruginya tehnologi baru dalam perikanan di sini. Akhirnya minggu lalu Presiden Soeharto menentukan sikap. Menteri Pengawasan Pembangunan Nasional dan Lingkungan Hidup Emil Salim mengumumkan keputusan Presiden itu supaya jumlah kapal pukat harimau dibatasi, dengan pertimbangan bahwa perairan seperti Selat Malaka, Laut Jawa dan Cilacap sudah mengalami penangkapan ikan yang berlebihan. Jika jumlahnya tidak diciutkan, kata Menteri, akhirnya semua nelayan, terutama nelayan tradisionil akan dirugikan. Departemen-departemen bersangkuta, seperti Hankam, Pertanian dan Perhubungan telah ditugaskan untuk mengambil langkah seperlunya dalam hal ini. Belum diketahui berapa sisa kapal yang diizinkan. Tapi Menteri Salim menyebut di perairan Selat Malaka seharusnya boleh beroperasi 800 kapal, sedang jumlahnya sudah mencapai 1.200. Di perairan Cilacap ternyata ada 200, katanya, sedang seharusnya cuma 90 kapal saja. Mengapa jumlah trawler itu bisa berlipat ganda tanpa kontrol, salah satu sebabnya karena para pengusaha asing itu pudeking juga. Proyek PBB Dari keputusan resmi itu diperoleh kesan bahwa kehidupan nelayan tradisionil akan dilindungi. Ini memang sejalan dengan faham padat karya. Namun ini juga berakibat menunda pentrapan tehnologi baru -- padat modal -- dalam penangkapan ikan, yang pada hakekatnya memang hanya menguntungkan kantong kaum cukong. Banyak di antam kaum cukong itu berasal dari Taiwan dan Korea Selatan. Dalam kaitan ini akan menarik pula untuk mengikuti suatu proyek: South China Sea Fisheries Development Programme. Dana sebesar US$5.640.000 akan dipikul bersama oleh UNDP, satu badan pembangunan PBB, dan CIDA satu badan resmi Clanada untuk bantuan luar negeri. Pilipina, Indonesia, Republik Khmer, Malaysia, Singapura, Muangthai, Hongkong dan Vietnam -- semua itu akan terlibat dalam proyek tersebut. Adalah penangkapan ikan secara besar-besaran yang menjadi tujuan proyek itu. Potensi Perairan Cina Selatan ditaksir memiliki 8 juta ton ikan setahun, sedang jumlah penangkapan oleh negara-negara di sekitarnya kini masih sekitar 5,25 juta ton. Dengan tehnologi baru, demikian program itu, kaum nelayan diharapkan bisa meningkatkan produksi. Tapi nelayan mana? Satu seminar di Penang tahun lalu menarik kesimpulan bahwa nelayan tradisionil pasti tidak akan mungkin memperoleh manfaat dari proyek besar itu. Lagi-lagi mereka yang bermodal kuat akan menikmati kesempatan. Itu juga yang merupakan salah satu keputusan Lokakarya Nelayan Asia yang pertama kalinya diselenggarakan oleh FAO-Action for Development bekerja sama dengan Asian Cultural Forum on Development (22-26 Mei) di Bangkok. Lokakarya yang antara lain diikuti oleh wakil-wakil nelayan Asia Tenggara dan Jepang itu menyerukan agar pemerintah nasional masing-masing negara di kawasan Asia Tenggara meninjau kembali proyek perikanan raksasa itu, karena "di belakang proyek tersebut bercokol kepentingan dan modal perusahaan multinasional Kanada, yang akan mengeruk kekayaan laut Asia Tenggara serta mengorbankan kepentingan nelayan-nelayan kecil di sekitarnya. Jika kehadiran kapal pukat harimau sudah demikian merajalela di perairan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, maka proyek UNDP/CIDA itu mungkin akan menambah ketegangan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus