SEBELUM 1960-an, trawler atau kapal pukat harimau masih asing di
Selat Malaka. Tapi, karena konfrontasi 1963, banyak kapal kecil
yang tadinya mengangkut barang dagangan barter
Indonesia-Malaysia terpaksa ditambat. Para cukong di Malaysia
dengan kapal-kapal yang menganggur itu kemudian mencari bidang
usaha lain. Dan mereka melihat cara baru dalam penangkapan ikan
di Muangthai sedang diperkenalkan ketika itu. Maka perahu barter
dijadikan mereka untuk menangkap ikan, dan ternyata
menguntungkan. Itulah asal mula trawler berkembang biak sampai
menjadi industri yang subur di perairan sekitarnya.
Belakangan ini trawler atau pukat harimau mejnjadi sumber
konfrontasi di kalangan kaum nelayan Malaysia sendiri, merembet
ke pantai Sumatera bagian Timur, malah sampai ke Cilacap. Di
Cilacap timbul konflik yang membawa korban, sedang di desa
nelayan Muncar, kabupaten Banyuwangi di tahun 1973 para
nelayan tradisionil berdemonstrasi antara lain dengan membakar
beberapa trawler. Trawler itu memang menguntungkan kaum pemilik
modal tapi mematikan para nelayan tradisionil.
Telah timbul dialog mengenai untung-ruginya tehnologi baru dalam
perikanan di sini. Akhirnya minggu lalu Presiden Soeharto
menentukan sikap. Menteri Pengawasan Pembangunan Nasional dan
Lingkungan Hidup Emil Salim mengumumkan keputusan Presiden itu
supaya jumlah kapal pukat harimau dibatasi, dengan pertimbangan
bahwa perairan seperti Selat Malaka, Laut Jawa dan Cilacap sudah
mengalami penangkapan ikan yang berlebihan. Jika jumlahnya tidak
diciutkan, kata Menteri, akhirnya semua nelayan, terutama
nelayan tradisionil akan dirugikan.
Departemen-departemen bersangkuta, seperti Hankam, Pertanian
dan Perhubungan telah ditugaskan untuk mengambil langkah
seperlunya dalam hal ini. Belum diketahui berapa sisa kapal yang
diizinkan. Tapi Menteri Salim menyebut di perairan Selat Malaka
seharusnya boleh beroperasi 800 kapal, sedang jumlahnya sudah
mencapai 1.200. Di perairan Cilacap ternyata ada 200, katanya,
sedang seharusnya cuma 90 kapal saja. Mengapa jumlah trawler
itu bisa berlipat ganda tanpa kontrol, salah satu sebabnya
karena para pengusaha asing itu pudeking juga.
Proyek PBB
Dari keputusan resmi itu diperoleh kesan bahwa kehidupan nelayan
tradisionil akan dilindungi. Ini memang sejalan dengan faham
padat karya. Namun ini juga berakibat menunda pentrapan
tehnologi baru -- padat modal -- dalam penangkapan ikan, yang
pada hakekatnya memang hanya menguntungkan kantong kaum
cukong. Banyak di antam kaum cukong itu berasal dari Taiwan dan
Korea Selatan.
Dalam kaitan ini akan menarik pula untuk mengikuti suatu proyek:
South China Sea Fisheries Development Programme. Dana sebesar
US$5.640.000 akan dipikul bersama oleh UNDP, satu badan
pembangunan PBB, dan CIDA satu badan resmi Clanada untuk bantuan
luar negeri. Pilipina, Indonesia, Republik Khmer, Malaysia,
Singapura, Muangthai, Hongkong dan Vietnam -- semua itu akan
terlibat dalam proyek tersebut.
Adalah penangkapan ikan secara besar-besaran yang menjadi tujuan
proyek itu. Potensi Perairan Cina Selatan ditaksir memiliki 8
juta ton ikan setahun, sedang jumlah penangkapan oleh
negara-negara di sekitarnya kini masih sekitar 5,25 juta ton.
Dengan tehnologi baru, demikian program itu, kaum nelayan
diharapkan bisa meningkatkan produksi. Tapi nelayan mana?
Satu seminar di Penang tahun lalu menarik kesimpulan bahwa
nelayan tradisionil pasti tidak akan mungkin memperoleh manfaat
dari proyek besar itu. Lagi-lagi mereka yang bermodal kuat akan
menikmati kesempatan. Itu juga yang merupakan salah satu
keputusan Lokakarya Nelayan Asia yang pertama kalinya
diselenggarakan oleh FAO-Action for Development bekerja sama
dengan Asian Cultural Forum on Development (22-26 Mei) di
Bangkok. Lokakarya yang antara lain diikuti oleh wakil-wakil
nelayan Asia Tenggara dan Jepang itu menyerukan agar pemerintah
nasional masing-masing negara di kawasan Asia Tenggara meninjau
kembali proyek perikanan raksasa itu, karena "di belakang proyek
tersebut bercokol kepentingan dan modal perusahaan multinasional
Kanada, yang akan mengeruk kekayaan laut Asia Tenggara serta
mengorbankan kepentingan nelayan-nelayan kecil di sekitarnya.
Jika kehadiran kapal pukat harimau sudah demikian merajalela di
perairan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, maka proyek
UNDP/CIDA itu mungkin akan menambah ketegangan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini