Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Piet Harjono Tampak Gembira

Indonesian petroleum association mengadakan konvensi tahunan di hotel hilton. Menteri Subroto dalam pidatonya mengundang investor asing untuk membangun sektor energi yang lain: batubara, PLTA, uranium. (eb)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHADIRANNYA sejak 1971 sudah dirasakan penting. Minggu lalu, Indonesian Petroleum Association kelihatan makin tidak bisa diabaikan. "Sekarang kita bisa mulai menulis sejarah, bukan sekedar berbicara dalam hal fakta dan angka," kata ketua A. Franchino dari AGIP, perusahaan Italia, ketika membuka konvensi tahunan IPA yang ke-7. Bukan hanya para peserta dari 30 perusahaan minyak yang menjadi anggota IPA, melainkan juga mereka yang tidak beroperasi di Indonesia telah mengikuti konvensi itu. Di Hotel Hilton, Jakarta, mereka mendiskusikan berbagai segi teknis dan ekonomi terakhir dalam bisnis perminyakan mereka, tentu saja, memperhatikan pula kemungkinan untuk investasi baru. Dan pemerintah RI kebetulan membuka luas kemungkinan itu, malah membujuk mereka, seperti ternyata dari pilato Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Dr. Subroto. Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, iklim investasi di bidang minyak kini menyenangkan. "Krisis Pertamina" dianggap telah dilampaui. Maka Piet Harjono, Dir-Ut Pertamina, kelihatan gembira melaporkan bahwa investasi di bidang eksplorasi minyak tahun ini mencapai US$230 juta, naik dari US$145 juta pada tahun 1977. Jumlah kelompok seismik telah naik dari 2 menjadi 12, sedang jumlah menara bor juga meningkat dari 12 ke 19. Tetap Sumber Pokok PT Caltex Pacific Indonesia telah mengumumkan pula rencana investasi US$78 juta guna menggairahkan kembali sumur-sumur tua di Minas, Riau. Ini menunjukkan, seperti kata Dir-Ut Harjono, "iklim investasi di Indonesia belum pernah demikian cerah hingga saya menganjurkan anda supaya benar-benar memperhatikan banyaknya kesempatan yang menanti anda di sini." Bahwa iklim itu memang cerah, terbukti lagi dari jumlah tender melebihi 25 yang diterima Pertamina tahun ini untuk pembukaan daerah baru. Diduga iklim itu akan terdorong lagi dengan adanya keputusan pemerintah AS baru-baru ini untuk meniadakan pajak berganda bagi kontraktor minyak AS di Indonesia. Para peserta konvensi itu pasti menyadari sekali bahwa ekonomi Indonesia banyak bergantung pada produksi minyak. Yaitu, 65% dari hasil devisa berasal dari ekspor minyak, dan 55% dari anggaran negara berasal dari penghasilan minyak. Sementara itu hasil ekspor sedang terancam oleh meningkatnya konsumsi minyak di dalam negeri sampai dengan 15% per tahun. Walaupun ada usaha memperbaiki ekspor non-minyak, diakui Menteri Subroto, minyak akan tetap menjadi sumber pokok penghasilan selama 15 atau 20 tahun mendatang. Tadinya meluas kekuatiran orang bahwa mungkin 15 atau 20 tahun lagi Indonesia tidak akan bisa mengekspor minyak sebagai akibat tingkat konsumsi yang meningkat itu. Adalah ir. Wijarso, kini Direktur pada Ditjen Migas, yang pernah meramalkan produksi minyak di Indonesia tak akan naik selama 15 tahun. Dalam pidatonya dalam sidang IPA di Jakarta tahun lalu, dia juga berkesimpulan produksi minyak di Indonesia dalam 20 tahun ini akan habis dipakai untuk konsumsi dalam negeri, dan tak ada bahan bakar pengganti yang bisa menahannya. Kekuatiran itu beralasan jika benar tingkat produksi yang sekarang 1,7 juta barrel/hari itu tidak bisa ditinggikan lagi, dan jika sumber energi pengganti tidak dikembangkan. Tapi semua itu diharap bisa diatasi dengan investasi baru. Dan mereka dari IPA itu merupakan investor yang berpotensi sekali. Konvensinya diduga sur dah menjadi suatu lobby tersendiri. Namun ketua Franchino merasa perlu menegaskan: "IPA bukan dan tidak pernah bermaksud menjadi suatu lobby politik atau pressure group." Dengan atau tanpa politik, penilaian orang terhadap asosiasi minyak itu bisa berbeda. Tapi kepentingan Indonesia kini jelas, yaitu supaya minyak terus mengalir. Bukan minyak saja. Menteri Subroto yang berpakaian stelan jas gelap dengan seperti biasa, dasi kupuliupu mengundang partisipasi asing untuk membangun sektor energi lainnya. Contoh:  Batubara. Di Sumatera Selatan saja terdapat cadangan sekitar 10 milyar ton, sebanding dengan 50 milyar barrel minyak. Juga ada cadangan batubara di Sumatera Barat dan Kalimantan Timur. Batubara bisa diharapkan bisa membangkitkan 750 megawatt di Jawa Barat pada tahun 1984.  PLTA. Sejumlah kapasitas instalasi tenaga air sekarang ini 450 megawatt. Potensi sebenarnya ditaksir melebihi 31.000 megawatt. Diharapkan dari sumber air ini bisa dibangkitkan 4.000 megawatt pada tahun 2000.  Geothermal. Sekitar 8.000 megawatt semustinya bisa dibangkitkan melalui sumber alam ini. Tapi pembangkitan sekitar 400 megawatt saja direncanakan sampai dengan tahun 2000.  Uranium. Kalimantan dan Sumatera mengandung mineral radioaktif yang cukup komersiil untuk membangkitkan tenaga listrik. Sumber tenaga pengganti itu, jika dibangun, diharapkan akan mengurangi konsumsi minyak di dalam negeri. Dan harapan itu rupanya diletakkan pada investasi asing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus