KEHADIRANNYA sejak 1971 sudah dirasakan penting. Minggu lalu,
Indonesian Petroleum Association kelihatan makin tidak bisa
diabaikan. "Sekarang kita bisa mulai menulis sejarah, bukan
sekedar berbicara dalam hal fakta dan angka," kata ketua A.
Franchino dari AGIP, perusahaan Italia, ketika membuka konvensi
tahunan IPA yang ke-7.
Bukan hanya para peserta dari 30 perusahaan minyak yang menjadi
anggota IPA, melainkan juga mereka yang tidak beroperasi di
Indonesia telah mengikuti konvensi itu. Di Hotel Hilton,
Jakarta, mereka mendiskusikan berbagai segi teknis dan ekonomi
terakhir dalam bisnis perminyakan mereka, tentu saja,
memperhatikan pula kemungkinan untuk investasi baru. Dan
pemerintah RI kebetulan membuka luas kemungkinan itu, malah
membujuk mereka, seperti ternyata dari pilato Menteri
Pertambangan dan Energi Prof. Dr. Subroto.
Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya, iklim investasi di
bidang minyak kini menyenangkan. "Krisis Pertamina" dianggap
telah dilampaui. Maka Piet Harjono, Dir-Ut Pertamina, kelihatan
gembira melaporkan bahwa investasi di bidang eksplorasi minyak
tahun ini mencapai US$230 juta, naik dari US$145 juta pada tahun
1977. Jumlah kelompok seismik telah naik dari 2 menjadi 12,
sedang jumlah menara bor juga meningkat dari 12 ke 19.
Tetap Sumber Pokok
PT Caltex Pacific Indonesia telah mengumumkan pula rencana
investasi US$78 juta guna menggairahkan kembali sumur-sumur tua
di Minas, Riau. Ini menunjukkan, seperti kata Dir-Ut Harjono,
"iklim investasi di Indonesia belum pernah demikian cerah hingga
saya menganjurkan anda supaya benar-benar memperhatikan
banyaknya kesempatan yang menanti anda di sini."
Bahwa iklim itu memang cerah, terbukti lagi dari jumlah tender
melebihi 25 yang diterima Pertamina tahun ini untuk pembukaan
daerah baru. Diduga iklim itu akan terdorong lagi dengan adanya
keputusan pemerintah AS baru-baru ini untuk meniadakan pajak
berganda bagi kontraktor minyak AS di Indonesia.
Para peserta konvensi itu pasti menyadari sekali bahwa ekonomi
Indonesia banyak bergantung pada produksi minyak. Yaitu, 65%
dari hasil devisa berasal dari ekspor minyak, dan 55% dari
anggaran negara berasal dari penghasilan minyak. Sementara itu
hasil ekspor sedang terancam oleh meningkatnya konsumsi minyak
di dalam negeri sampai dengan 15% per tahun. Walaupun ada usaha
memperbaiki ekspor non-minyak, diakui Menteri Subroto, minyak
akan tetap menjadi sumber pokok penghasilan selama 15 atau 20
tahun mendatang.
Tadinya meluas kekuatiran orang bahwa mungkin 15 atau 20 tahun
lagi Indonesia tidak akan bisa mengekspor minyak sebagai akibat
tingkat konsumsi yang meningkat itu. Adalah ir. Wijarso, kini
Direktur pada Ditjen Migas, yang pernah meramalkan produksi
minyak di Indonesia tak akan naik selama 15 tahun. Dalam
pidatonya dalam sidang IPA di Jakarta tahun lalu, dia juga
berkesimpulan produksi minyak di Indonesia dalam 20 tahun ini
akan habis dipakai untuk konsumsi dalam negeri, dan tak ada
bahan bakar pengganti yang bisa menahannya. Kekuatiran itu
beralasan jika benar tingkat produksi yang sekarang 1,7 juta
barrel/hari itu tidak bisa ditinggikan lagi, dan jika sumber
energi pengganti tidak dikembangkan.
Tapi semua itu diharap bisa diatasi dengan investasi baru. Dan
mereka dari IPA itu merupakan investor yang berpotensi sekali.
Konvensinya diduga sur dah menjadi suatu lobby tersendiri.
Namun ketua Franchino merasa perlu menegaskan: "IPA bukan dan
tidak pernah bermaksud menjadi suatu lobby politik atau pressure
group."
Dengan atau tanpa politik, penilaian orang terhadap asosiasi
minyak itu bisa berbeda. Tapi kepentingan Indonesia kini jelas,
yaitu supaya minyak terus mengalir. Bukan minyak saja. Menteri
Subroto yang berpakaian stelan jas gelap dengan seperti biasa,
dasi kupuliupu mengundang partisipasi asing untuk membangun
sektor energi lainnya. Contoh:
Batubara. Di Sumatera Selatan saja terdapat cadangan sekitar 10
milyar ton, sebanding dengan 50 milyar barrel minyak. Juga ada
cadangan batubara di Sumatera Barat dan Kalimantan Timur.
Batubara bisa diharapkan bisa membangkitkan 750 megawatt di Jawa
Barat pada tahun 1984.
PLTA. Sejumlah kapasitas instalasi tenaga air sekarang ini 450
megawatt. Potensi sebenarnya ditaksir melebihi 31.000 megawatt.
Diharapkan dari sumber air ini bisa dibangkitkan 4.000 megawatt
pada tahun 2000.
Geothermal. Sekitar 8.000 megawatt semustinya bisa dibangkitkan
melalui sumber alam ini. Tapi pembangkitan sekitar 400 megawatt
saja direncanakan sampai dengan tahun 2000.
Uranium. Kalimantan dan Sumatera mengandung mineral radioaktif
yang cukup komersiil untuk membangkitkan tenaga listrik.
Sumber tenaga pengganti itu, jika dibangun, diharapkan akan
mengurangi konsumsi minyak di dalam negeri. Dan harapan itu
rupanya diletakkan pada investasi asing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini