INILAH perjuangan penghabisan seorang taipan. Mohammad Amid, bos sekaligus pemilik Asia Permai Group (APG), Kamis pekan lalu sesudah melakukan berbagai upaya akhirnya harus melepaskan semua perusahaannya, yang berjumlah 17 buah. Itu bukanlah upaya yang pertama. Dua tahun lalu, Amid sudah merampingkan grupnya dengan memangkas 15 dari 32 anak perusahaan. Namun, tindakan itu tak banyak menolong. Masalah keuangan serta manajemen telah memaksa Amid menjual 17 perusahaan yang tersisa kepada Hutomo (Tommy) Mandala Putra. Pengalihan saham itu dilakukan melalui dua perusahaan, PT Gading Mandala Utama (GMU), 50%, dan PT Cipta Kharisma Nugraha (CKN), 45%. Sisanya dimiliki Soekaryo, bekas Presiden Direktur APG. Proses penjualan APG kepada putra bungsu Presiden Soeharto itu sudah dilakukan sejak enam bulan lalu. ''Tapi baru Oktober ini direalisasi,'' kata Soekaryo. GMU adalah perusahaan milik Tommy pribadi, sementara CKN adalah afiliasi antara Tommy dan sejumlah pengusaha muda. Dengan pengambilalihan itu, kini Tommy duduk sebagai Presiden Komisaris APG. Amid, meskipun sudah tak memiliki saham, dipercaya untuk duduk sebagai anggota komisaris APG, bersama- sama Soekaryo. ''Pak Amid diminta membantu mengembangkan APG,'' kata Direktur Pelaksana GMU, Bambang Redjeki. Syahdan, ketika rupiah sedang melimpah, Amid gencar melakukan ekspansi dan diversifikasi usaha. Dalam waktu singkat, perusahaannya menggelembung menjadi 32 buah. Selain di bisnis inti (elektronik), ia juga terjun di usaha sepatu, rotan, jamur, lateks, dan sarung tangan. APG, yang mempekerjakan 6.000 karyawan, ditaksir mempunyai kekayaan Rp 200 miliar. Dua perusahaannya, PT Textronik Permai Electronic dan PT Astrijati, sudah tercatat di bursa. Sayang, langkah ekspansi itu tak didukung oleh sumber daya manusia dan keuangan yang sehat. Pada saat Pemerintah menggebrak dengan kebijaksanaan uang ketat, jadilah APG ibarat pelari yang kehabisan napas. Kesulitan mencari modal baru dan tenaga yang andal menyebabkan usaha konsolidasi yang dilakukan manajemen APG tak membuahkan hasil. Dari 17 anak perusahaan APG, terbukti hanya lima yang masih memberikan prospek. Selebihnya merugi. Amid, pengusaha berperawakan kecil dan suka berkaraoke ini mengakui, penjualan dan likuidasi anak-anak perusahaan APG harus dilakukan karena kesalahan antisipasi yang dibuat olehnya dan manajemen. Akibatnya, APG harus menanggung beban utang yang tak sedikit. ''Sekarang saya sudah kehabisan napas,'' kata Amid, seperti dikutip harian Bisnis Indonesia. Mungkin karena itu, dalam pengambialihan, Tommy harus menanggung seluruh kewajiban APG kepada sejumlah bank dan lembaga keuangan. ''Saya memilih Mas Tommy karena saya tahu dia itu pengusaha yang idealis,'' kata Amid. Sayang, Amid tak bersedia menyebutkan jumlah uang yang telah disuntikkan Tommy ke APG. Menurut Amid, pembelian APG tidak dilakukan secara tunai. ''Tapi dicicil dari laba Asia Permai selama lima tahun,'' katanya. Ini terasa tak masuk akal. Soalnya, sebagian besar anak perusahaan APG dalam keadaan kritis. Nah, sebelum mereka bisa menghasilkan, Tommy tentulah harus menyuntikkan sejumlah dana. Bagi Tommy sendiri, akuisisi APG merupakan langkah bisnisnya yang penting sesudah ia belum lama ini melepaskan diri dari tata niaga cengkeh yang banyak merepotkan petani itu. Siapa tahu, di industri manufaktur seperti Asia Permai Group, Tommy akan lebih berhasil. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini