MENGGENJOT ekspor ternyata tidak semudah memacu sepeda di velodrome. Lihat saja, ekspor si roda dua itu kini terancam macet. Dua pekan lalu, European Bicycle Manufactures Association (EBMA) melayangkan surat ke Masyarakat Eropa (ME) di Brusel. Isinya, tuduhan bahwa Indonesia telah menjual sepeda dengan harga dumping. Tuding-menuding semacam itu bukan hal baru. Tapi benar tidaknya, itulah yang belum jelas. Untuk menjernihkan masalah, Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI) melaporkan hal itu ke Direktur Hubungan Perdagangan Luar Negeri. ''Bahkan kami pun siap menyewa pengacara di sana,'' kata Ketua AIPI, Prihadi. Awalnya, menurut kantor berita Reuters, tuduhan datang dari para produsen sepeda di beberapa negara Eropa. Mereka merasa terpukul karena produknya tersaingi oleh sepeda impor dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sejak 1989, seperti yang dilaporkan EBMA, impor sepeda dari ketiga negara tersebut tumbuh hingga 400%. Nilai ekspor sepeda 1992, menurut Biro Pusat Statistik, adalah US$ 32 juta naik 6,5 kali dalam 3 tahun. Akibatnya, selama 1993, harga sepeda di Eropa melorot 40%. Dan produsen Eropa pun menuding bahwa sepeda dari tiga negara tadi dijual dengan harga miring. Benarkah? ''Ah, itu cuma alasan untuk melakukan proteksi,'' kata Direktur PT Wijaya Indonesia Makmur Bicycle Industries (WIM), Heru Wangsaharja. Dia membantah adanya dumping. Untuk jenis mountain bike 26 inci, harga jual WIM ke Eropa cuma US$ 150 (Rp 300 ribu lebih). Sedangkan di pasar lokal harganya Rp 50.000 lebih mahal. Perkara harga jual itu bisa lebih murah dari harga Eropa, menurut Heru, karena beberapa hal. Pertama, sepeda yang diekspor umumnya tanpa merek, sehingga tidak dibebani biaya iklan. Di samping itu, upah buruh relatif murah, juga ada fasilitas pajak ekspor 0% untuk komponen impor. ''Tapi kalau benar-benar ditutup, ya, bisa sesak napas juga,'' kata Heru. Prihadi, Presiden Komisaris PT Hima Mulia Sejati, melihat di balik tuduhan itu tersembunyi kelesuan berbagai industri di Eropa. ''Pertumbuhan ekonomi mereka kan cuma 2% per tahun,'' katanya. Prihadi mungkin benar. Soalnya, barikade yang dipasang ME bukan baru kali ini saja. Sejak Januari 1992, ME juga memberlakukan plafon GSP (Generalized System of Preference), yang menetapkan bahwa sepeda buatan Indonesia tak bisa lagi menikmati bebas bea masuk (17%) untuk ekspor di atas US$ 12 juta. Akibatnya, daya saing sepeda Indonesia berkurang. ''Tidak benar kita dumping. Malah Italia menjual sepeda yang sejenis dengan kita dan harganya juga murah,'' kata Prihadi. Indonesia mengekspor sepeda ke lima negara Eropa dengan harga US$ 82,20 per unit, sedangkan harga Italia US$ 82,40 per unit. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kamarulzaman Algamar menegaskan, tudingan EBMA sulit dibuktikan. Alasannya, harga eceran rata-rata sepeda Indonesia di Eropa saat ini US$ 140 per unit (Rp 280.000), sedangkan di pasar lokal cuma Rp 135.000 per unit. ''Karena itu, pengusaha kita harus siap menangkis tudingan itu,'' kata Algamar kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Menangkis saja agaknya tidak cukup, apalagi kalau protes EBMA itu berbuntut pada kerugian besar di pihak Indonesia. Terlebih- lebih 80% ekspor sepeda Indonesia selama ini diserap oleh pasar Eropa.Bambang Aji, G. Sugrahetty Dyan K., dan K. Candra Negara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini