DUNIA asuransi gonjang-ganjing. Dikabarkan, tak kurang dari 59 perusahaan asuransi di mancanegara telah mengurangi kapasitas pertanggungannya sebagian lagi gulung tikar akibat kerugian yang cukup besar. Bahkan Llyod, sebuah perusahaan terkemuka, tak luput dari bencana ini. Separuh dari anggota sindikasi perusahaan ini telah mengundurkan diri akibat tak tahan menanggung rugi. Bencana itu menyebarkan dampak ke Indonesia. Perusahaan pertanggungan di sini mulai bersikap tahan harga. Pekan lalu, mereka menyatakan akan melakukan seleksi ketat atas sembilan objek asuransi, yakni tekstil, kayu, kertas, sepatu, sawmill, stok barang elektronik, stok cengkeh, department store, dan shopping center. Tapi, itu bukan berarti sembilan objek tersebut tidak mendapat tempat di dunia asuransi seperti yang diberitakan berbagai media. ''Kami hanya membatasi,'' kata Yas Budiman, Dirut PT Reasuransi Umum Indonesia. Menurut B. Munir Sjamsoedin, Ketua Dewan Asuransi Indonesia Bidang Kerugian, perusahaan-perusahaan asuransi internasional itu belakangan terpaksa harus membayar klaim yang cukup besar akibat berbagai bencana, seperti gempa, tabrakan kapal, dan kebakaran. Biasanya, setiap risiko yang direasuransikan ke perusahaan asing tak pernah ditolak. Tapi kini, ''Mereka selalu meminta kami merinci objek yang ditanggung,'' kata Munir. Dan jika ternyata yang ditanggung itu adalah satu dari sembilan objek tersebut, maka asuransi asing langsung menolaknya. Tapi kalaupun diterima, pengusaha yang mempertanggungkan harus menanggung biaya lebih besar. Persentase premi akan naik, begitu pun deductible (nilai kerugian yang harus ditanggung nasabah), biasanya hanya 5% naik menjadi 25%. Contohnya, jika terjadi kebakaran di sebuah pabrik tekstil dengan nilai kerugian Rp 10 miliar. Sebelumnya, rugi yang harus ditanggung pemilik pabrik hanya Rp 500 juta. Sekarang, menjadi Rp 2,5 miliar. Sebelum ini pihak asuransi asing juga menolak untuk menanggung asuransi pasar. Tapi akhirnya bisa dipecahkan, ''Dengan membentuk konsorsium untuk memperbesar kapasitas,'' kata Amir Imam Poero, Dirut PT Asuransi Jasa Indonesia. Bukan mustahil, cara serupa bisa pula diterapkan pada sembilan objek tersebut di atas. Apa kata pengusaha yang komoditinya tak laku untuk diasuransi? ''Kami belum diberi tahu,'' ujar Tjipto Wingnjoprajitno, Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia. Jawaban serupa datang dari Anton Lukmanto, Direktur Hero Group. Hanya, menurut Anton, kalau sembilan objek yang notabene merupakan leading sector tidak memperoleh pertanggungan, dampaknya akan sangat besar. Selain menghambat pertumbuhan sektor-sektor itu, juga akan melebar ke perbankan. Bank tentu tak akan mau mengucurkan kredit jika agunan yang diajukan debiturnya tidak diasuransikan. Selama ini sektor-sektor itu boleh dibilang merupakan penyumbang premi yang potensial. Dari Hero, misalnya, selain premi untuk pertanggungan kebakaran, juga ada premi dari asuransi kemungkinan perampokan di kasir atau perampokan uang yang sedang ditransitkan antar-cabang. Hero di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dipertanggungkan Rp 15 miliar. Besarnya pertanggungan mendorong pihak asuransi untuk ekstra hati-hati. Reasuransi Umum Indonesia, misalnya, kini bertekad memperkecil kerugiannya. Seperti diketahui, dari Januari hingga September 1993, Reasuransi telah merugi akibat klaim Rp 23,8 miliar 25% di atas kerugian yang dideritanya sepanjang tahun 1992. Budi Kusumah, Iwan Qodar, Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini