Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN pertama awal Juli lalu menjadi pekan yang padat buat Ersa Tri Wahyuni. Bukan soal urusan mengajar, dosen akuntansi Universitas Padjadjaran ini sibuk membalas beragam pesan yang masuk ke telepon selulernya. Pesan-pesan itu tak cuma memuji, ada juga yang mengkritik tulisannya berjudul "Goreng-Menggoreng Neraca PLN", yang beredar luas melalui pesan WhatsApp dan mailing list sejumlah akademikus.
Tulisan 800 kata itu mengupas ISAK 8, standar akuntansi dalam kaitannya dengan laporan keuangan PT Perusahaan Listrik Negara. Ahli International Financial Reporting Standards ini merasa perlu mengulik isu itu karena ada salah kaprah mengenai standar akuntansi tersebut. Ia mendengar ISAK 8 dapat menghambat kelancaran megaproyek kelistrikan 35 ribu megawatt. "Bagaimana bisa standar akuntansi menghambat? Justru standar akuntansi itu membuat semuanya transparan," kata Ersa kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Interpretasi Standar Akuntasi Keuangan Nomor 8 atau yang lazim disebut ISAK 8 adalah dasar akuntansi yang intinya memastikan bahwa perusahaan tidak lagi memiliki peluang melakukan pembiayaan terselubung. Dengan semakin rumitnya kontrak bisnis saat ini, sangat mudah bagi perusahaan membuat kontrak yang secara legal berjudul perjanjian jual-beli. Padahal substansi adalah sewa-menyewa aset.
Dalam proyek listrik 35 ribu MW, PLN menggandeng Independent Power Producer (IPP). Perjanjian jual-beli tenaga listrik itu pada prakteknya bukan sekadar jual-beli, melainkan kontrak PLN atas sejumlah volume, harga, dan jangka waktu. Terlepas dari nama perjanjiannya jual-beli, kontrak itu adalah janji untuk membeli sejumlah unit produksi dalam kurun tertentu. "Dalam ISAK 8, semua itu harus dicatat sebagai kewajiban di dalam neraca PLN," ujar Ersa.
Kegaduhan soal penerapan ISAK 8 atas laporan keuangan PLN mencuat selepas rapat terbatas tentang kemajuan proyek pembangunan infrastruktur listrik 35 ribu MW di Istana Negara, Juni lalu. Presiden Joko Widodo, kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, meminta Otoritas Jasa Keuangan mengkaji ulang penerapan ISAK 8 dalam laporan keuangan PT PLN. "Sebab, kerja sama PLN dan IPP adalah pembelian listrik, bukan menyewa pengadaan listrik," ucap Pramono kepada wartawan seusai rapat, 22 Juni lalu.
Seorang pejabat negara yang turut hadir dalam rapat terbatas mengatakan instruksi Presiden muncul karena perusahaan listrik pelat merah itu mengeluhkan dampak penerapan ISAK 8 terhadap kinerja perusahaan. PLN mengeluh penerapan ISAK 8 membuat laporan keuangan kurang kinclong. Akibatnya mendapat opini wajar dengan pengecualian. Gara-garanya, perjanjian jual-beli tenaga listrik antara PLN dan perusahaan pengembang listrik swasta dicatat sebagai kewajiban. Dalam rapat itu, PLN mendapat dukungan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara.
Keinginan PLN dikecualikan dari penerapan ISAK 8 sebenarnya cerita lama. Ersa, yang juga anggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan, mengatakan permintaan serupa disampaikan PLN pada 2009. Perusahaan pelat merah ini meminta agar penyajian laporan keuangannya tak menggunakan standar ISAK 8. "Setelah berbagai proses, akhirnya dikabulkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan," kata Ersa.
Sesuai dengan surat Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Nomor S-2366/BL/2009 tertanggal 30 Maret 2009, PLN dan anak perusahaannya dikecualikan dari penerapan ISAK 8. Tapi dispensasi tak berlaku selamanya. Bapepam-LK kala itu membuat catatan agar pengecualian ini berlaku hanya sampai Dewan Standar Akuntansi Keuangan dan Ikatan Akuntansi Indonesia menerbitkan interpretasi akuntansi yang secara spesifik mengatur pencatatan perjanjian jual-beli tenaga listrik di laporan keuangan.
Pada 2012, perusahaan setrum negara ini memutuskan menerapkan ISAK 8 dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 30 (PSAK 30). PLN bahkan bersurat kepada Kepala Bapepam-LK yang isinya menyatakan mengubah kebijakan akuntansi secara sukarela serta menerapkan ketentuan ISAK 8 dan PSAK 30 terhadap perjanjian jual-beli tenaga listrik terhitung 1 Januari 2012.
PLN sempat menggelar rapat umum pemegang obligasi dan rapat umum pemegang sukuk ijarah. Rapat ini digelar untuk mendapat persetujuan pemegang obligasi dan sukuk ijarah PLN atas perubahan ketentuan kewajiban keuangan dalam perjanjian perwaliamanatan menyusul penerapan ISAK 8, PSAK 30, dan ISAK 16. Dua standar akuntasi terakhir ini juga mengatur semua hal yang berhubungan dengan sewa.
Memasuki 2015, di bawah koordinasi Direktur Utama Sofyan Basir, PLN kembali mengabaikan standar akuntansi ISAK 8. Alasannya: perjanjian jual-beli listrik antara PLN dan pengembang listrik swasta tidak tepat diperlakukan seperti perjanjian sewa. Tanpa menerapkan ISAK 8, biaya pembelian listrik hanya diakui sebagai beban pada saat terjadi pembelian. Setelah ISAK 8 diberlakukan, pembelian listrik dari IPP dicatat sebagai aset sewa pembiayaan dan utang sewa pembiayaan sehingga berpotensi menggerus laba.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka mengatakan semestinya tak perlu ada ribut-ribut soal keinginan PLN mengabaikan ISAK 8. Sebab, produsen listrik swasta yang bekerja sama dengan PLN dalam bentuk purchasing power agreement sudah jelas-jelas menyebut kerja sama adalah pembelian listrik, bukan pembangunan pembangkit. "Artinya IPP yang membangun pembangkit dengan kemungkinan dana sendiri atau dana pinjaman. Itu poinnya," ucap Made saat dihubungi pada Kamis pekan lalu.
Made mengatakan PLN keberatan jika harus mencatatkan kerja sama jual-beli listrik itu sebagai kewajiban utang PLN. Salah satu alasannya, dalam komitmen melaksanakan pembangunan proyek 35 ribu MW, perusahaan membutuhkan pendanaan berupa pinjaman—selain modal sendiri ataupun penyertaan modal negara. "Nah, pinjaman dari luar negeri harus melihat rasio kesehatan keuangan PLN. Ibaratnya PLN harus bersolek, tapi disuruh pakai ISAK 8 nanti jadi bercak-bercak di muka," ujarnya.
Untuk mengantisipasi perbedaan audit dari akuntan publik, direksi PLN bersurat ke Otoritas Jasa Keuangan pada 2015. Isinya: memohon agar mendapat pengecualian penerapan ISAK 8. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida mengatakan permintaan PLN itu masih dalam pembahasan. "Presiden memberi arahan agar segera mungkin diselesaikan," kata Nurhaida, Kamis pekan lalu.
Meski belum ada restu dari OJK, PLN telah mendapat dukungan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Dimintai konfirmasi terpisah, Menteri BUMN Rini Soemarno menolak berkomentar banyak soal permintaan PLN itu. Alasannya, isunya sudah terlalu teknis. "Silakan tanya ke PLN," ujar Rini kepada Aditya Budiman dari Tempo di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu pekan lalu.
Penjelasan datang dari Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah. Edwin memastikan penerapan ISAK 8 berpotensi mempengaruhi rasio keuangan PLN sehingga mendekati batasan covenant dalam perjanjian kredit perusahaan. Meskipun ruang gerak PLN mendapatkan pendanaan sudah tersedia melalui Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, menurut Edwin, itu tidak cukup. "Tetap ada aturan main umum dalam menilai risiko investasi," ujarnya Rabu pekan lalu.
Efek penerapan ISAK 8 terhadap laporan keuangan tak dimungkiri akademikus lain. Ratna Wardhani, dosen akuntansi Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Indonesia, mengatakan rasio yang tecermin dalam laporan keuangan pasti lebih buruk ketimbang tidak menerapkan ISAK 8. Sebab, dengan standar akuntasi ini, PLN harus mengakui utang dari kontraknya dengan IPP, termasuk mengakui beban depresiasi aset sehingga laba berpotensi turun. "Tapi, secara kualitas, laporan keuangan ini lebih bisa dipercaya dan relevan bagi investor," kata Ratna, Jumat pekan lalu. AYU PRIMA SANDI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo