Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DANASTRI Rizqi Nabilah sering jengkel setiap kali membeli barang online. Soalnya sebagian besar toko online yang sering ia kunjungi hanya memiliki rekening bank tertentu, seperti Bank Mandiri dan BCA. Padahal rekening Danastri hanya Bank BNI.
Akibatnya, setiap bertransaksi di e-commerce, meski volume belanjaan tak seberapa, Danastri terbebani biaya transfer antarbank. "Kalau rekening kita kurang mainstream jadi terasa karena harus transfer beda bank," katanya saat ditemui Tempo, Sabtu dua pekan lalu. Biaya transfernya bisa sampai Rp 7.000-10.000.
Sempat terlintas di benaknya untuk membuat rekening baru, Bank Mandiri atau BCA. Namun Danastri mengurungkan niat karena takut rekening itu malah tidak terurus. Dia lalu memilih menggunakan layanan jasa keuangan berbasis aplikasi, Flip. Aplikasi yang bisa dibuka di situs https://flip.id itu punya tagline menarik: "Transfer Antar Bank Tanpa Biaya". "Begitu tahu ada Flip, aku terbantu meski harus transfer beda bank," ujarnya.
Flip merupakan sebuah aplikasi yang menjadi jembatan transaksi antarbank. Layanan ini menyediakan jasa transfer antarbank ataupun interbank tanpa biaya. Pengguna hanya perlu mentransfer ke rekening Flip di bank. Flip kemudian meneruskan uang tersebut ke rekening tujuan. Flip bisa memastikan transfer tanpa biaya ke 14 bank, antara lain Bank BRI, Mandiri, Bank BNI, BCA, dan Muamalat.
Layanan keuangan berbasis aplikasi seperti Flip semakin marak. Buktinya, jasa keuangan berbasis aplikasi atau financial technology (fintech) lain bermunculan. Misalnya UangTeman, Tunaiku, Investree, Modalku, Koinworks, dan Fidigo. Itu belum termasuk aplikasi sistem pembayaran seperti ePaymu, eWallet, dan GoPay. Layanan keuangan berbasis aplikasi yang berkembang di Indonesia ini dikelompokkan dalam payment system, digital banking, online insurance, peer-to-peer lending, atau crowdfunding.
UangTeman merupakan layanan pinjaman secara online. Karena berbasis aplikasi, UangTeman dapat diakses setiap saat. Dalam promosinya, layanan ini menyebutkan konsumen bisa mengajukan pinjaman kapan pun dan di mana pun. Mereka bahkan bisa melayani debitor tanpa jaminan.
Tak mengherankan bila layanan keuangan berbasis aplikasi itu disambut antusias karena memang mudah, cepat, dan murah. Flip, misalnya, berkembang sangat cepat. Dalam hitungan bulan, sejak akhir November 2015 hingga Juni lalu, pengguna aplikasi bikinan anak muda lulusan Universitas Indonesia ini sudah tembus 24 ribu user dengan 1.100 transaksi per hari. "Pengguna Flip juga telah tersebar di luar negeri," kata salah satu pendirinya, Rafi Putra Arriyan, Selasa pekan lalu.
Ternyata perkembangan layanan digital ini mengusik bank. "Aplikasi-aplikasi semacam ini di masa depan bakal mempengaruhi pendapatan perbankan," ujar Ahmad Ifham Solihin, pemerhati sektor keuangan dari Amana Sharia Consulting, kepada Tempo, pekan lalu.
Pendapatan dari biaya transfer antarbank, misalnya, berkontribusi signifikan terhadap fee based income perbankan. Besarannya bervariasi. Di Bank Mandiri, kontribusi fee based income terhadap total pendapatan mencapai 31,15 persen pada 2015. Sedangkan BRI hanya 7,7 persen dari total pendapatan tahun lalu.
Dalih perlindungan konsumen jadi alasan. Direktur Utama Bank Mandiri Kartiko Wirdjoatmodjo menyebutkan, setiap transaksi, sistem pembayaran—apalagi pembiayaan offline ataupun online—harus diatur ketat karena ada risiko hilangnya dana pihak ketiga.
Kartiko mengakui era teknologi tidak bisa ditolak, tapi jangan sampai kemajuan sistem digital hanya memindahkan fraud dari offline ke online. "Digital ini ngeri. Peer-to-peer sudah menjadi shadow banking," katanya. Ia mengusulkan pengaturan tegas masalah itu di forum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, beberapa waktu lalu.
Ultimatum datang dari Bank Indonesia pada 19 Juli lalu. Sebagai regulator sistem pembayaran, bank sentral mengultimatum Rafi Putra Arriyan dan seorang rekannya agar menutup Flip. Upaya konsultasi mereka mentok di tengah jalan. "Hari itu juga BI bilang harus ditutup sampai izinnya beres," ucap Arri.
Ini adalah kasus pertama layanan keuangan digital ditindak regulator. Arri mengatakan Flip tengah mengajukan izin kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU) ke Bank Indonesia. Pada April lalu, ia mendaftar ke situs resmi BI dan mengirimkan berkas yang diminta.
Sebulan kemudian, BI mengundang Flip memaparkan kegiatan bisnisnya. BI memberikan sejumlah catatan. Pada 19 Juli itu, alih-alih melengkapi berkas perizinan, Flip hanya datang untuk berkonsultasi. Dalam pertemuan itu, BI menilai Flip semakin mengkhawatirkan karena penggunanya berkembang berlipat-lipat.
Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni Panggabean membenarkan memanggil Flip pada 19 Juli lalu terkait dengan izin KUPU. Karena tak kunjung melengkapi dokumen yang disyaratkan, Arri dan rekan-rekannya dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Konsultasi Flip dianggap sebagai upaya mengulur waktu. Menurut Eni, pelanggaran atas ketentuan bisa dikenai sanksi pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda maksimal Rp 3 miliar. "Saat ini sudah ditutup website-nya," ujar Eni.
Peneliti eksekutif senior Otoritas Jasa Keuangan, Hendrikus Passagi, menilai kegiatan menampung dana masyarakat hanya boleh dilakukan oleh bank, koperasi, dan lembaga keuangan mikro. Pihak yang menghimpun dana masyarakat di luar itu diancam penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal Rp 10 miliar. "Sepanjang kegiatanmu menyimpan dana masyarakat, walaupun hanya satu rupiah, kamu harus patuh," katanya pekan lalu. Hal yang sama, menurut Hendrik, berlaku untuk layanan keuangan berbasis aplikasi lain.
Untuk aplikasi peer-to-peer lending, regulasi yang harus diikuti lebih ketat lagi karena menjalankan fungsi intermediasi. Bank sentral mengkategorikan UangTeman dan sejenisnya telah menghimpun dana pihak ketiga dan menyalurkan kredit. "Karena crowdfunding, pengaturannya berasal dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan), bank sentral, dan pemerintah," ujar Eni.
Otoritas perlu waspada karena di negara lain muncul banyak kasus kredit macet peer-to-peer lending. Apalagi, kata Hendrik, banyak pelaku usaha fintech dan anak bisnisnya belum terpantau regulator di Tanah Air.
CEO UangTeman Aidil Zulkifli membantah jika layanan mereka disebut sebagai peer-to-peer lending. Ia berkilah UangTeman tidak mengumpulkan dana masyarakat. "Ini dana kami sendiri, ekuitas kami sendiri," ujarnya. Risiko kredit, kata dia, akan ditanggung perusahaan.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyayangkan anggapan fintech sebagai ancaman. Ia justru mengapresiasi model bisnis seperti peer-to-peer lending. Menurut dia, OJK harus segera meliriknya karena model bisnis ini adalah masa depan industri keuangan. "Sekarang ini kita sedang menghadapi revolusi industri keempat. Kita harus selalu memberi ruang untuk efisiensi," katanya. ANGELINA ANJAR SAWITRI, AGUS SUPRIYANTO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo