SEJAK pagi sampai menjelang tengah hari, jalan-jalan di jantung Kota Jakarta tampak tidak seriuh biasanya. Kaum profesional ternyata sudah bisa menebak bahwa rombongan pengunjuk rasa akan membanjiri jalan-jalan itu selepas salat Jumat. Tebakan yang tepat, karena aksi demo menentang Amerika Serikat (AS) dan Inggris—yang melakukan serangan militer terhadap Afganistan—semakin menjadi-jadi. Dalam semangat solidaritas sesama muslim, mereka menuntut pemutusan hubungan diplomatik dengan AS. Seperti diketahui, tanpa bukti-bukti kuat, AS telah memvonis Usamah bin Ladin sebagai otak aksi teror yang meruntuhkan gedung World Trade Center, 11 September lalu.
AS memang belum berhasil menangkap Usamah, tapi hujan bom yang dijatuhkannya di atas beberapa kota di Afganistan telah menewaskan puluhan wanita dan anak-anak tak berdosa. Kenyataan tragis ini semakin menyulut aksi-aksi demo yang Jumat pekan lalu marak di lima kota: Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makassar. Puluhan organisasi yang melibatkan ribuan orang menyerbu ke jalan-jalan, membakar bendera Amerika, menyerukan aksi boikot produk made in USA, bahkan menuntut penghentian serangan militer terhadap Afganistan. Beberapa restoran secara simbolis disegel—seperti yang terjadi di Semarang dan Yogyakarta. Papan reklame McDonald's di Makassar bahkan dirusak massa. Namun, aparat keamanan—di Jakarta saja dikerahkan sekitar 4.000 orang—masih bisa mengendalikan para demonstran, sehingga tidak terjadi perusakan yang berskala besar.
Ledakan demonstrasi yang meluas sepanjang pekan lalu memang terkesan lebih keras dan lebih radikal. Sikap anti-AS diperlihatkan secara terang-terangan sehingga citra Indonesia di mata internasional bukan saja tidak bersahabat, tapi sudah dikategorikan "berbahaya". Apa boleh buat, gejala seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Kalangan dunia usaha dan pemerintahan kini mulai waswas karena demo anti-AS ini makin meluas. Demo di depan Kedutaan Besar AS di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, yang biasanya cuma diikuti ratusan orang, pada Jumat pekan lalu pesertanya mencapai hampir 5.000 orang.
Sejauh ini memang demonstrasi masih dilakukan dalam batas-batas yang normal. Protes lunak tersalur dalam aksi pembakaran boneka, sedangkan protes keras dimanifestasikan dalam pembakaran bendera. Belum terdengar perusakan fasilitas atau perusahaan milik Amerika Serikat di Indonesia. "Saat ini masih belum kelihatan dampaknya. Mungkin baru akan terasa 2-3 bulan mendatang atau mungkin tahun depan," kata Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Dampak yang langsung terasa adalah menurunnya nilai tukar rupiah pada perdagangan Senin pekan lalu. Rupiah sempat jatuh sampai kisaran Rp 10.400-10.500 sebelum akhirnya ditutup pada kurs Rp 10.125-10.200 atau melemah 285 poin dibandingkan dengan harga pada penutupan perdagangan Jumat pekan sebelumnya. Indeks Bursa Jakarta juga terempas 14,515 poin (3,8 persen) ke posisi 367,073. Trend memburuknya kinerja pasar uang dan bursa juga terjadi di seluruh dunia. Kini, untuk sementara, rupiah sudah tenang pada kisaran Rp 10.000 per dolar AS.
Menteri Keuangan Boediono juga mengingatkan para investor agar tidak terlalu cepat menanggapi demonstrasi anti-AS ini. Tapi imbauan Boediono ternyata tak bisa meredakan kekhawatiran orang-orang Amerika akan sikap bermusuhan rakyat Indonesia. Dampak buruknya mulai terlihat pada kinerja ekspor nonmigas Indonesia, yang selama ini menjadikan pasar Amerika sebagai tujuan utamanya. Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), Gusmardi Bustami, menceritakan ada pengusaha mebel di Yogyakarta yang mengeluh gara-gara 10 pembelinya asal Amerika membatalkan kunjungan ke bengkel (workshop) mereka.
Kabar buruk juga datang dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Menurut Ketua API, Natsir Mansyur, order tekstil dan produk tesktil (TPT) dari Amerika sudah mulai berkurang. Hal ini bisa dipantau dengan cepat karena order dari Negeri Abang Sam dilakukan setiap tiga bulan. Order untuk Desember, kata Natsir, seharusnya sudah dilakukan pada bulan-bulan ini, tapi permintaan ternyata jauh menurun. Padahal, pengiriman untuk November-Desember biasanya paling besar sepanjang tahun karena ada Natal dan Tahun Baru. API lalu memperkirakan ekspor tekstil dan produk tekstil tahun ini akan turun 10 persen dibanding tahun lalu, yang mencapai US$ 2,6 miliar. Penurunan diperkirakan akan lebih besar lagi untuk tahun depan. "Ekspor TPT ke Amerika Serikat mungkin akan turun 20-30 persen," kata Natsir.
Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gde Ardika, juga mengungkapkan angka-angka yang memprihatinkan. Menurut Ardika, sektor pariwisata akan kehilangan devisa sekitar US$ 1,6 miliar pada tahun ini. Target jumlah wisatawan 5,4 juta dan perolehan devisa sekitar US$ 5,3 miliar diperkirakan hanya akan tercapai sekitar 70 persen. Soalnya, pemerintah AS telah meminta warganya agar tidak berlibur ke luar negeri.
Tragedi WTC juga membuat banyak penduduk dunia mengurungkan rencananya melancong. "Banyak wisatawan AS yang meng-urungkan niatnya karena alasan keselamatan penerbangan dan masalah keamanan di Indonesia yang terkait dengan krisis di Afganistan," kata Ardika. Tak bisa dimungkiri, aksi sweeping yang sempat dilakukan pada awal bulan ini membuat banyak wisatawan takut ke Indonesia.
Kendati gambarannya mulai suram, sebetulnya masih terlalu dini untuk menganggap demo anti-Amerika sebagai biang penurunan ekspor dan menurunnya jumlah wisatawan. Perekonomian AS memang sudah memburuk sejak tahun lalu dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda perbaikan. Bank sentral AS, The Federal Reserve, sampai delapan kali menurunkan suku bunga menjadi 2,5 persen untuk mendongkrak perekonomiannya. Berbagai paket kebijakan dikeluarkan untuk merangsang perekonomian, tapi perkembangannya sangat lambat. Termasuk di antaranya paket kebijakan ekonomi senilai US$ 80 miliar yang diluncurkan Kamis pekan lalu. Resesi di AS itulah yang kemudian membuat kinerja ekspor Indonesia menurun.
Menurut Gusmardi Bustami, tanpa serangan Amerika Serikat ke Afganistan pun ekspor nonmigas Indonesia diperkirakan akan turun tiga persen. Namun, belakangan, penurunannya diperkirakan akan mencapai 4-5 persen. Tahun lalu, ekspor nonmigas Indonesia mencapai US$ 47,7 miliar. Besarnya dampak serangan AS ini terhadap kinerja ekspor Indonesia tak lain karena ekspor nonmigas Indonesia ke sana memang cukup besar, 18-20 persen dari total ekspor nonmigas. Yang terparah mengalaminya tentu saja sektor tekstil karena sepertiga produk TPT Indonesia dikirim ke negeri cowboy itu. Dan Natsir mengakui tidak mudah mencari pengganti pasar AS. "Sangat sulit kita masuk ke Eropa karena kebutuhan mereka dipenuhi oleh negara-negara di sekitarnya," ungkap Natsir.
Lalu, bagaimana jika demonstrasi tak bisa dikendalikan? Banyak kalangan meramalkan, dampaknya terhadap perekonomian Indonesia akan sangat berat. Direktur Ekspor Produk Industri Departemen Perindustrian dan Per-dagangan, Alexander Barus, mengungkapkan bahwa sejauh unjuk rasa masih berjalan seperti sekarang, tak banyak yang perlu dikhawartirkan. Tapi jika demonstrasi ini berlangsung lebih dari tiga bulan, dampaknya akan sangat besar. Dia mencontohkan industri tekstil. Kalau demonstrasi anti-AS ini berlangsung lebih dari tiga bulan, akan banyak pabrik tekstil yang mengurangi produksinya atau bahkan tutup. "Dan sektor ini menyerap paling tidak 1,2 juta tenaga kerja. Bayangkan kalau 20 persen saja pabrik tutup, berapa ratus ribu orang yang akan menganggur," kata Barus.
Ekonom senior Indef (Institut untuk Pengembangan Ekonomi dan Keuangan), Dradjad H. Wibowo, mengungkapkan bahwa demonstrasi anti-AS ini jelas akan membawa dampak buruk. Hanya, besar atau tidaknya dampak buruk itu tergantung beberapa hal. Pertama, apakah unjuk rasa itu proporsional atau tidak. Sepanjang empat tahun terakhir, terbukti bahwa perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor rupiah. Sementara itu, rupiah sering kali dipengaruhi oleh kejadian-kejadian jangka pendek yang membuat kejutan (shock) terhadap perekonomian. Contohnya adalah kasus 13-14 Mei 1998. "Kejadiannya cuma dua hari, tapi sejak itu investasi asing tak kunjung masuk ke Indonesia," ujar Dradjad, prihatin. Nah, jika demonstrasi anti-AS ini menjurus ke kondisi yang tidak proporsional, seperti perusakan dan sweeping, bukan tidak mungkin akan memberikan efek kejutan yang berakibat panjang.
Faktor kedua, kata Dradjad, adalah kemampuan pemerintah mengendalikan demonstrasi. Kalangan investor akan melihat bagaimana pemerintah mengatasi masalah yang timbul. "Jika masalah ini tak bisa diatasi, mereka juga akan meragukan kemampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah yang lebih fundamental seperti penjarahan, gejolak sosial, dan gangguan keamanan," tutur Dradjad, tanpa nada melebih-lebihkan. Itu pulalah yang akan menjadi ukuran apakah investor akan masuk atau tidak.
Dradjad menegaskan, jika pemerintah gagal mengatasi masalah ini, sukses pemulihan ekonomi juga akan makin jauh. Tampaknya para pengunjuk rasa harus mendinginkan gejolak hati agar bisa menyadari bahwa tidak sepatutnya Indonesia mengorbankan diri untuk pertikaian yang terjadi di negara lain. Lagi pula solidaritas dapat diungkapkan tidak hanya dengan perjuangan fisik, tapi juga melalui sumbangan darah, bahan pangan, dan obat-obatan.
M. Taufiqurohman, Dwi Arjanto, Gita W. Laksmini, IG.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini