Haruskah perusahaan asing ditakuti? Indonesia agaknya tak bisa menghindar dari serbuan asing. Sudah tak terhitung perusahaan asing, toko, atau merek asing yang menerabas batas Indonesia, seperti restoran, butik, sepatu, dan masih banyak lagi yang lain. Salah satunya yang kini diributkan adalah penguasaan perusahaan asing di industri semen. Cemex, perusahaan dari Meksiko, sekarang tengah berusaha meningkatkan sahamnya di Semen Gresik. Tapi muncul perlawanan sengit dari Semen Padang dan Tonasa, anak perusahaan Semen Gresik. Kedua pabrik semen ini bahkan sudah meminta "cerai" dari induknya.
Gelombang masuknya perusahaan asing ke industri semen, apa boleh buat, tak mungkin terhindarkan lagi. Selama tahun ini, perusahaan semen terbesar kedua dan ketiga di Indonesia sudah dicaplok asing karena persoalan utang. Indocement Tunggal Prakarsa, yang berkapasitas 16 juta ton, sekarang dimiliki Heidelberger, sedangkan Semen Cibinong dikuasai Holcim dari Swiss (dulu Holderbank). Sementara itu, Cemex, yang berada di peringkat kelima dunia, sudah memiliki 25,53 persen saham di Semen Gresik. Jika Cemex tetap memiliki saham Semen Gresik setelah spin off, perusahaan asing akan menguasai 80 persen pasar semen Indonesia. Jika tidak ada pemisahan, penguasaan asing malah akan mencapai 93 persen.
Kondisi itulah yang membuat petinggi Semen Padang dan Semen Tonasa khawatir pasar semen Indonesia akan berubah menjadi oligopolistik. Maklumlah, kapasitas kedua pabrik ini memang kecil. Semen Padang hanya punya kapasitas 5,57 juta ton, sedangkan Tonasa 3,5 juta ton. "Kalau semuanya dikuasai asing, apakah mereka peduli pada konsumen? Yang penting kan pasarnya tumbuh," kata Ikhdan Nizar, Direktur Utama Semen Padang. Menurut Nizar, pasar semen Indonesia pasti akan tumbuh membesar karena pemakaian per kapita di Indonesia masih sangat rendah: 100 kg per kapita. Bandingkan dengan Filipina, yang 150 kg, Thailand (350 kg), atau Malaysia (450 kg). Artinya, peluang tumbuhnya industri semen di Indonesia masih sangat besar.
Menurut Nizar, Indonesia harus belajar pada Filipina. Lebih dulu dari Indonesia, Filipina sudah sejak 1997 dikuasai asing. Di sana, produsen semen terbesar di dunia, Lafarge (Prancis), dan Cemex bersaing ketat. Namun, harga semen tetap saja tinggi. Sementara di Indonesia harga semen hanya US$ 38-40 per ton, di Filipina sudah US$ 70-80. Kondisi yang sama bisa saja terjadi di Indonesia. Dan yang akan terkena pertama kali adalah pemerintah, yang mengonsumsi 60 persen semen, dan berikutnya tentu saja konsumen.
Tetapi, Nizar lupa satu hal ini: pasar semen memang cenderung oligopolistik karena dia dibatasi oleh jarak. Sebelum asing masuk, pasar Indonesia juga sudah oligopolistik. Sehingga, meskipun pemerintah menetapkan harga patokan setempat (HPS), harga semen sering jauh berada di atas harga itu.
Selain itu, dengan kondisi pasar semen dunia yang kelebihan pasokan, sulit bagi siapa pun untuk menguasai dan mendikte pasar. Lagi-lagi, Filipina bisa dijadikan contoh. Di negara itu, produsen semen asing kelimpungan gara-gara masuknya semen impor dari Taiwan, yang harganya 35-40 persen lebih murah dari semen lokal. Kini, semen impor menguasai 30 persen pasar di Filipina. Padahal, tingkat kapasitas terpakai pabrik semen lokal hanya 50 persen dari kapasitas produksi 24 juta ton per tahun. Akibatnya, banyak produsen semen asing yang memangkas karyawannya. Cemex, misalnya, harus menutup satu dari tiga pabriknya dan mengurangi separuh dari 1.700 pegawainya. Pangsa pasarnya pun tergerus dari 18 persen menjadi hanya 12 persen.
Kondisi seperti itu bisa saja terjadi di Indonesia. Selama harga semen masih kompetitif dan perbedaan harganya (disparitas) tidak terlalu jauh dengan harga di pasar internasional, sulit bagi perusahaan mana pun untuk mendikte pasar. Seperti sekarang ini. Dengan harga hanya US$ 38-40 per ton, produsen semen di negara lain akan ngeri jika mau masuk ke Indonesia, meskipun tidak ada larangan impor semen. Sejauh ini juga belum ada produsen semen yang meneriaki kompetitornya karena kompetisi masih berjalan wajar dan harga paling hanya terpaut Rp 1.000 per 40 kg. Apalagi, Indonesia juga mengalami kelebihan pasokan. Dengan kapasitas sekitar 47 juta ton, industri semen Indonesia baru memproduksi 20 juta ton. Jika pertumbuhan konsumsi semen di Indonesia bisa 10 persen per tahun, kapasitas produksi baru optimal pada tahun 2008. Ini jelas bukan gambaran yang bagus buat pemain baru.
Jadi, apakah pasar akan menjadi oligopolistik—bahkan monopolistik—atau tidak, agaknya bukan bergantung pada pemainnya, melainkan pada bagaimana pemerintah mengatur dan menjamin berlangsungnya pasar yang kompetitif.
M.T.Q., Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini