Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, JAKARTA - Pemerintah Indonesia tetap mengupayakan penggunaan rel sempit (narrow gauge) untuk proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. Hal itu diungkapkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi seusai pertemuan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan perwakilan Badan Kerja Sama Internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency/JICA) dan Duta Besar Jepang Masafumi Ishii terkait dengan proyek kereta cepat.
"Ada beberapa alternatif. Alternatif yang kami pilih tetap menggunakan narrow gauge," ujar Budi saat dicegat awak media di kompleks Istana Wakil Presiden, Rabu, 13 Desember 2017.
Simak: Kereta Cepat Tempuh Jakarta-Surabaya dalam 5,5 Jam
Untuk diketahui, narrow gauge adalah tipe rel dengan lebar di bawah 1,5 meter. Rata-rata lebarnya sekitar 1,1 meter. Di luar negeri, rel jenis ini tergolong populer karena banyak digunakan untuk layanan kereta cepat.
Di Indonesia, narrow gauge akan dibangun di sebelah rel yang sudah ada. Dengan begitu, ditambah dengan double track yang direncanakan di jalur kereta Jakarta-Surabaya, akan ada rel di sana.
Budi menjelaskan, pemilihan narrow gauge dalam pertemuan tadi atas beberapa pertimbangan. Pertama, jenis rel itu banyak digunakan untuk proyek kereta cepat alias bisa memfasilitasi kereta berkecepatan tinggi.
Selain itu, kata Budi, ditawarkan sejumlah fleksibilitas dalam pelaksanaan proyek. "(Berdasarkan) arahan Pak Wapres Jusuf Kalla, bagaimana project ini hasilnya (lama perjalanan) tetap di bawah enam jam dengan harga lebih murah," ucapnya.
Budi menambahkan, penggunaan narrow gauge tidak langsung diterapkan seluruhnya di jalur kereta cepat Jakarta-Surabaya. Penggunaannya, kata dia, akan bertahap mulai jalur Jakarta-Semarang lebih dulu.
"Sejauh ini, nilai investasinya Rp 51 triliun untuk Jakarta-Semarang. Kami tetap meminta nilai itu diturunkan, tetapi kecepatan ditambah," tuturnya.
Adapun Menteri Pekerjaan Umum Basoeki Hadimoeljono menyampaikan proyek kereta cepat ini diperkirakan akan groundbreaking pada awal 2019. Hal itu mengacu pada perkiraan selesainya feasibility studies pada April 2018.
Harapannya, ketika kereta mulai dibangun, kecepatan rata-rata yang disepakati di atas 115 kilometer per jam. Menurut Basoeki, kecepatan 115 kilometer per jam tidak membawa perubahan signifikan, hanya mengurangi dua jam perjalanan Jakarta-Surabaya, dari sembilan jam menjadi tujuh jam.
"Kan enggak kerasa kalau segitu. Sudah uangnya besar, tapi tidak terasa perbedaannya," katanya.
Dalam data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang diterima Tempo, tercatat berbagai kecepatan kereta yang dipertimbangkan dan berapa lama estimasi perjalanannya. Namun angka yang diperlihatkan baru untuk rute Jakarta-Semarang, belum sampai Surabaya.
Misalnya, dengan kecepatan rata-rata 115 kilometer/jam plus narrow gauge dan nilai investasi sekitar Rp 51 triliun, didapatkan lama perjalanan 6,5 jam.
Jika menggunakan yang kecepatan rata-rata 140 kilometer/jam, lama perjalanan akan terpangkas menjadi 5 jam 15 menit. Namun biaya bisa membengkak hingga Rp 80 triliun. "Jepang siap mempelajari keinginan kami," ujar Basoeki.
Terkait dengan sumber pendanaan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan akan mempelajari segala opsi yang tersedia.
"Ini memungkinkan concessional loan, berbunga murah dengan tenor pengambilan sampai 40 tahun," ucapnya. Dia menuturkan opsi public private partnership dan transit oriented development juga dibahas.
Terakhir, Dubes Jepang Masafumi Ishii menegaskan akan berupaya agar proyek kerja sama Jakarta dengan Jepang ini tidak sampai gagal. Sebab, dia memandang proyek kereta ini penting, baik bagi Jepang maupun Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini