Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta-- Pedagang Kaki Lima atau PKL Koperasi Tri Dharma yang berada di sisi barat kawasan Jalan Malioboro menolak rencana penataan ungkur-ungkuran atau berjualan saling membelakangi yang disiapkan Pemerintah DI Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Senin 22 Juli 2019, para pedagang pun mendatangi Balai Kota Yogyakarta demi menyampaikan penolakan rencana itu. Konsep ungkur-ungkuran untuk PKL Malioboro dianggap pedagang koperasi Tri Dharma merugikan karena menggabungkan pedagang di luar anggota koperasi untuk berdagang saling membelakangi dengan pedagang yang tergabung dalam koperasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Jika ada pedagang yang di luar anggota koperasi, ditempatkan di belakang kami berjualan itu akan menimbulkan potensi permasalahan, kami keberatan, " ujar Ketua Koperasi Tri Dharma, Mujiyo.
Untuk penataan PKL Malioboro di sisi barat menyasar dua paguyuban, yakni Paguyuban Pemalni yang menempati selasar toko dan menghadap ke timur serta Paguyuban Tri Dharma yang menempati koridor terluar serta menghadap ke toko atau ke barat.
Dengan penataan itu, selasar toko terbebas dari PKL. Karena PKL dari Paguyuban Pemalni akan digeser saling membelakangi atau ungkur-ungkuran dengan PKL dari Paguyuban Tri Dharma.
“Rencana ungkur-ungkuran ini tidak menguntungkan dan akan mempersempit lapak PKL khususnya dari koperasi Tri Dharma. Jadi tidak maksimal saat menata dagangan maupun melayani pembeli, tidak nyaman,” ujarnya.
Mujiyo juga khawatir dengan berdempet saling membelakangi itu potensi perselisihan antar pedagang dan paguyuban juga tinggi.
Selain itu, pihaknya juga meminta kepastian bahwa lokasi selasar toko yang akan ditinggalkan pedagang tidak diisi PKL liar. Begitu juga pedagang yang ditata, juga pedagang lama bukan wajah baru.
Konsep penataan PKL sisi barat dengan ungkur-ungkuran sebenarnya sudah bergaung sejak tahun 2015.
Selama ini, selasar yang digunakan PKL berjualan merupakan milik pemilik toko. Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB pun menjadi beban pemilik toko. Sedangkan PKL sama sekali tidak dipungut biaya lapak melainkan hanya retribusi sampah dari pemerintah.
Wakil Walikota Yogya Heroe Poerwadi, sebelumnya mengungkapkan tujuan utama penataan menciptakan suasana pedestrian di Malioboro semakin nyaman dan tertata. Sebab Malioboro ikon wisata utama yogya. Hanya saja komunikasi dan pendekatan dengan pedagang terus dilakukan.
Penataan PKL Malioboro seakan memang menjadi pekerjaan rumah pemerintah Yogya yang belum selesai. Setelah rampungnya pegerjaan jalur untuk pedestrian sisi timur dan barat Malioboro, pemerintah DIY dan Kota Yogyakarta baru mulai bersiap lagi menata PKL.
Keluhan sempat datang dari pemilik pertokoan di Malioboro karena seringkali lapak-lapak PKL itu bertahun tahun menutupi ruang depan pertokoan mereka.
Sudah menjadi rahasia umum lagi, jika lapak depan pertokoan itu pun kerap diperjualbelikan atau disewakan oleh PKL yang satu ke PKL lain dengan harga fantastis. Meski lahan itu bukan lahannya.
Sekretaris DIY Gatot Saptadi sebelumnya mengungkapkan Pemda DIY akan menata kawasan Malioboro, terutama di bagian trotoar yang dipadati PKL agar Malioboro sebagai ikon wisata lebih rapi dan tidak awut-awutan.
Sebagai langkah awal, Gatot menuturkan PKL yang akan ditertibkan adalah di sisi barat yang selama ini memadati sepanjang jalur trotoar di depan pertokoan.
"Jadi nantinya tidak ada PKL yang menempel di depan pertokoan lagi. Posisinya berubah menghadap dan membelakangi pilar depan toko," ujar Gatot.
Penataan seperti itu dianggap mampu memberi ruang agar wisatawan lebih leluasa saat menyusuri lorong di sepanjang Malioboro. "Pedagang kaki lima juga dilarang menggelar lapak sampai jalur pedestrian. Kami akan menertibkan jika sampai dilanggar," ujar Gatot.