Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari tiga tahun sejak Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara disahkan pada 12 Januari 2009, praktis tak banyak kemajuan dalam proses renegosiasi kontrak pertambangan. Padahal beleid itu mengamanatkan penyesuaian pasal-pasal dalam kontrak pertambangan yang dibuat sebelum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut terbit. Penyesuaian dipatok harus selesai dalam waktu setahun.
Kenyataannya, pada Januari lalu pemerintah baru bergerak membentuk tim evaluasi penyesuaian kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Menteri Koordinator Perekonomian sebagai ketua tim evaluasi. Adapun ketua harian dijabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Sedangkan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi didapuk sebagai sekretaris.
Tim evaluasi melibatkan 12 menteri dan pejabat negara. Mereka adalah Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan. Ada pula Menteri Kehutanan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menjelaskan, pekerjaan mengamendemen kontrak pertambangan memang sempat terbengkalai. "Dulu memang tidak digarap. Saya dorong untuk segera jalan sejak saya menjabat Menteri Koordinator," kata Hatta kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Seorang pejabat sebuah kementerian menuturkan, tim teknis pemerintah sebenarnya telah bergerak sejak pertengahan 2010. Mereka mengajak bicara para pelaku industri. Hasilnya, sembilan perusahaan pemegang kontrak karya-dari total 42 kontrak karya yang masih berlaku- secara prinsip telah setuju melakukan renegosiasi. Adapun pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara yang menyepakati amendemen sudah mencapai 62 perusahaan, dari total 76 perusahaan.
Kontrak karya merupakan kontrak untuk semua pertambangan mineral. Adapun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) merupakan kontrak untuk kegiatan penambangan batu bara. Sumber Tempo tadi menambahkan, persetujuan yang dicapai sampai saat ini baru sebatas kesepahaman dan kesediaan perusahaan membahas ulang perjanjian. Pembicaraan belum masuk ke isi kontrak. Hasil kerja tim teknis ini telah disampaikan kepada tim renegosiasi pemerintah pada awal 2012. Namun satu semester berlalu, "Praktis tidak ada kemajuan. Mandek di tim renegosiasi."
Hatta menampik kabar macetnya perundingan kontrak pertambangan. Ia memastikan timnya terus bekerja di bawah koordinasi Menteri Energi. Jumat pekan lalu, kata dia, Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk (INCO) datang ke kantornya. Perusahaan tambang nikel yang memiliki konsesi di Sulawesi ini menegaskan kesediaannya duduk bersama pemerintah untuk merundingkan ulang materi perjanjian.
Menteri Energi Jero Wacik pun menegaskan, timnya terus bergerak tapi sengaja tidak dipublikasikan. "Kalau diekspos, nanti mengganggu," katanya. Sejauh ini, Jero menambahkan, telah ada pemahaman dari perusahaan tentang pentingnya renegosiasi. "Mereka sudah mulai mengerti."
Persoalannya, perusahaan tambang yang bersedia merundingkan ulang isi kontrak hanya perusahaan kelas menengah ke bawah. Sumber Tempo membisikkan, raksasa tambang, seperti Freeport Indonesia, Newmont Nusa Tenggara, Kaltim Prima Coal, Arutmin, Adaro, Berau Coal, dan Kideco, masih membandel.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Thamrin Sihite mengakui bahwa Freeport tidak termasuk perusahaan yang sudah menyetujui renegosiasi. "Freeport belum," katanya kepada Rosalina dari Tempo.
Keterangan berbeda datang dari Jero Wacik. Dia justru memastikan kesediaan Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara untuk berunding ulang. Diharapkan kesediaan kedua perusahaan itu akan membuat raksasa tambang lain ikut renegosiasi. Penanganan renegosiasi, kata Jero, dilakukan kasus per kasus. "Kalau dari yang gede-gede itu satu-dua mau bergerak, nanti yang lain akan ikut juga."
Thamrin mengatakan, sejak 2009, pemerintah telah menyiapkan renegosiasi. Dimulai dengan menginventarisasi pasal-pasal kontrak pertambangan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, penjelasan mengenai pasal kontrak pada kontrak karya dan PKP2B, serta renegosiasi kontrak. "Sejauh ini belum melibatkan Kementerian Keuangan."
Pemerintah amat berkepentingan menyesuaikan semua kontrak dan perjanjian di masa lalu dengan aturan baru yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4/2009. Soalnya, butir-butir kontrak lama dinilai kurang mencerminkan asas keadilan. Pemerintah berpedoman, kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, ada beberapa hal mendasar dalam kontrak yang mesti direvisi.
Ambil contoh tentang kedudukan pemerintah dan perusahaan tambang. Undang-Undang Nomor 4/2009 memposisikan pemerintah sebagai pemberi izin, yang kedudukannya di atas perusahaan yang meneken kontrak. Sebaliknya, dalam perjanjian lama, posisi pemerintah sejajar dengan perusahaan.
Dalam proses renegosiasi ini, pemerintah mengusung enam isu strategis. Isu yang harus dibicarakan ulang itu meliputi luas wilayah kerja, aturan perpanjangan kontrak, penerimaan negara dan royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
Ihwal penerimaan negara atau royalti, misalnya, selain untuk mengoptimalkan pendapatan negara, pemerintah menganggap ketentuan royalti dalam kontrak lama tidak mencerminkan keadilan. Pada butir ini, pemerintah akan menerapkan sepenuhnya Peraturan Pemerintah Nomor 45/2003 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku di Kementerian Energi terhadap badan usaha.
Hatta menegaskan, penerimaan negara merupakan bagian utama yang diperjuangkan untuk direvisi. Saat ini, menurut dia, ada ketimpangan sangat signifikan antara kontrak karya-yang cuma memungut 1-3 persen-dan perjanjian pengusahaan batu bara, yang mengatur royalti 13,5 persen. Ketimpangan ini, menurut Hatta, harus diperbaiki. "Bukannya memaksakan kehendak, tapi demi keadilan."
Pemerintah menetapkan bahwa penerimaan negara dan royalti yang berlaku di Kementerian Energi berdasarkan PP 45/2003 meliputi: iuran tetap, iuran eksplorasi/eksploitasi/royalti, serta dana hasil produksi batu bara. Ada pula penerimaan atas pelayanan, seperti jasa geologi dan sumber daya mineral, jasa teknologi/konsultasi eksplorasi mineral, batu bara, panas bumi, dan konservasi.
Persoalannya, ada perbedaan yang sangat signifikan atas perhitungan menggunakan rumus dalam kontrak, dibandingkan dengan PP Nomor 45/2003. Ambil contoh perhitungan tim teknis Kementerian Energi untuk Freeport Indonesia. Berdasarkan kontrak, perusahaan yang menghasilkan bahan galian emas, perak, dan tembaga di Papua itu cukup menyetor US$ 184.731.565 (sekitar Rp 1,72 triliun). Sebaliknya, jika PP Nomor 45 diterapkan, Freeport harus menyetor US$ 277.677.894 (sekitar Rp 2,59 triliun) ke kas negara.
Tengok pula kasus PT Koba Tin, perusahaan yang memproduksi bahan galian timah di Bangka Belitung. Bila merujuk pada kontrak lama, kewajiban yang harus dibayar perusahaan hanya US$ 4.599.221 (sekitar Rp 42,94 miliar). Angka itu meloncat tinggi bila mengikuti PP 45/2003, yaitu US$ 113.081.230 (sekitar Rp 1,05 triliun).
Contoh lain adalah PT Avocet Bolaang Mongondow, yang menghasilkan bahan galian emas dan perak di Sulawesi Utara. Penerimaan negara berdasarkan kontrak lama cuma US$ 324.421 (sekitar Rp 3,03 miliar). Padahal, bila mengacu aturan baru, seharusnya US$ 2.339.971 (sekitar Rp 21,85 miliar).
Selisih kewajiban pembayaran yang sangat signifikan, selain menyusutnya luas lahan, ini menjadi salah satu faktor yang membuat sejumlah perusahaan tambang menampik renegosiasi. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA), Syahrir A.B., meminta setoran ditetapkan berdasarkan aturan pajak yang berlaku pada saat penandatanganan kontrak.
Syahrir menjelaskan, pada kontrak karya generasi 1, 2, dan 3, pajak badan yang berlaku adalah 45 persen. Sedangkan generasi 4 dan 5 sebesar 35 persen. Padahal, kata dia, undang-undang yang baru menyebutkan 25 persen.
"Jadi, ada yang membayar 45, 35, dan 25 persen. Nah, sekarang mau ditambah lagi karena pemerintah merasa yang 25 persen ini terlalu kecil. Kan, enggak lucu, dong," ujar Syahrir. Toh, Menteri Jero Wacik berkukuh, mayoritas perusahaan tambang telah sepakat bahwa penerimaan negara harus ditingkatkan. "Pelan-pelan," katanya.
Ihwal renegosiasi, menurut pengamat pertambangan Kurtubi, sesungguhnya bergantung pada ketegasan pemerintah. Dia menegaskan, pengelolaan sumber daya alam adalah urusan kedaulatan negara. Selama ini setoran perusahaan tambang, dia menambahkan, kelihatannya besar. Tapi sebenarnya sangat kecil bila dibandingkan dengan produksi atau volume produk tambang yang diekspor. Jadi, kata Kurtubi, renegosiasi merupakan hal yang logis untuk memperoleh penghasilan lebih besar bagi negara.
Retno Sulistyowati, Bernadette Christina Munthe
Penerimaan Negara Bukan Pajak Pertambangan Umum
Tahun 2010 (kurs Rp 9.200)
Iuran tetap:
Royalti:
Penjualan hasil tambang:
Total:
Tahun 2011
Iuran tetap:
Royalti:
Penjualan hasil tambang:
Total
Tahun 2012 (RAPBN, kurs Rp 8.700)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo