Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Para Raksasa Tak Mau Ciut

Ada empat ganjalan yang membuat renegosiasi kontrak pertambangan sulit berjalan. Perusahaan tambang besar ingin semua wilayah konsesi tetap mereka kuasai.

9 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mana ada orang bisnis mau merugi? Prinsip ini dianut oleh sejumlah pemegang izin usaha pertambangan yang sampai kini masih enggan menyambut ajak­an pemerintah merundingkan ulang kontrak mereka. Hitungannya sederhana, dengan aturan baru yang jadi acuan, keuntungan yang bisa dipetik oleh para penambang itu bisa dipastikan menyusut drastis.

"Ini nature bisnis pertambangan, bukan soal minta keistimewaan," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia Syahrir A.B., Rabu pekan lalu. "Memangnya mau, para penambang (besar) ini hanya punya lahan 100-200 hektare? Enggak bakalan. It costs a lot of money."

Luas wilayah konsesi yang bakal menciut menjadi kendala utama ogahnya perusahaan untuk berunding. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, setiap perusahaan yang melakukan kegiatan eksplorasi akan dibatasi dengan luas konsesi minimal 5.000 hektare hingga maksimal 100 ribu hektare. Dan bila sudah menjalankan operasi produksi, luas maksimum buat tiap penambang adalah 25 ribu hektare.

Bandingkan aturan itu dengan kenyataan di lapangan saat ini. Perusahaan raksasa seperti Freeport menguasai area konsesi produksi hampir 213 ribu hektare di Papua, atau hampir tiga setengah kali luas Singapura. Kontrak karya yang dipegang Newmont Nusa Tenggara pun jauh di atas ketentuan dalam undang-undang baru, yakni 87,5 ribu hektare lebih area produksi.

Tak mengherankan bila bersama sekitar 30 pemegang kontrak karya lainnya, kedua perusahaan itu berada dalam daftar perusahaan yang secara prinsip belum setuju melakukan renegosiasi. "Batasan luas wilayah itu tak memenuhi skala keekonomian," kata Syahrir. "Ini belum ada solusinya."

Juru bicara PT Newmont Nusa Tenggara, Rubi Purnomo, mengatakan diskusi dengan pemerintah sebenarnya sudah dimulai sejak 2010, tapi belum ada titik temu. "Saat ini kami menunggu pemerintah, sehingga negosiasi bisa dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi semua pihak," kata Rubi. "Kami bersedia duduk bersama pemerintah untuk membicarakan rencana ke depan, termasuk kontrak karya," Ramdani Sirait, juru bicara PT ­Freeport Indonesia, menambahkan.

Adapun Direktur PT Bumi Resources Tbk Dileep Srivastava mengatakan sejauh ini belum ada diskusi tentang renegosiasi. Perusahaan milik Grup Bakrie ini adalah induk PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, yang memegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. "Saat ini tidak ada diskusi, apalagi negosiasi antara Bumi dan pemerintah tentang royalti atau soal lain."

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menyadari perlawanan yang dilakukan perusahaan tambang. Karena itu, pemerintah akan lebih dulu menggarap perusahaan yang lebih kecil. "Yang kecil-kecil sudah ada beberapa yang siap diteken hasilnya," kata Jero. "Kalau yang besar, maunya semua lahan tetap jadi milik mereka. Masalahnya, lahan sekian ribu hektare itu kapan mau dikerjakan. Kalau lama sekali, kurangi, dong."

Masalah lain yang juga mengganjal adalah ketentuan perpanjangan izin setelah kontrak karya habis. Pemerintah mengatur bahwa perpanjangan kontrak karya dan PKP2B akan diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. "Tapi ini dilawan oleh daerah, karena dalam undang-undang, seharusnya izin usaha pertambangan diberikan oleh pemerintah daerah," kata Syahrir. Dua urusan lain, tentang royalti dan kewajiban mengolah mineral di dalam negeri, juga belum disepakati.

Para penambang itu yakin, renegosiasi ini ibarat buah simalakama bagi pemerintah. Di satu sisi mereka harus menjalankannya karena diamanatkan undang-undang. Tapi, bila dipaksakan, akan berbuah banyak gugatan dan menabrak ketentuan lain yang lebih dulu berjalan. "Ini tak bisa diberlakukan untuk pemegang kontrak karya. Kalau dipaksa, bangkrut mereka. Pasti akan menggugat ke arbitrase internasional."

Y. Tomi Aryanto, Bernadette Christina, Jayadi Supriadin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus