Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Utang pemerintah yang jatuh tempo satu hingga lima tahun ke depan Rp 2.606 triliun.
Sri Mulyani menargetkan rasio utang terhadap PDB bisa turun lagi ke level 38 persen pada 2024.
Pemerintah dinilai perlu meninjau kebiasaan menerbitkan SBN baru untuk membayar utang.
JAKARTA - Pemerintah terus berupaya mengendalikan dan menurunkan tingkat utang serta memastikan kapasitas pembayaran utang selalu terpenuhi. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, mengatakan pemerintah selalu berkomitmen mengelola utang secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam mengelola kewajiban utang yang jatuh tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemerintah terus memastikan untuk memenuhi seluruh kewajiban utang yang jatuh tempo secara tepat waktu dan tepat jumlah, serta pemerintah memiliki kapasitas untuk memenuhinya,” kata Suminto kepada Tempo, kemarin, 5 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah pada April 2023 mencapai Rp 7.848,89 triliun. Jika dirinci, jumlah utang pemerintah yang jatuh tempo dalam satu hingga lima tahun ke depan mencapai Rp 2.606 triliun, dengan posisi utang jatuh tempo dalam satu tahun naik 7,91 persen, tiga tahun naik 24,1 persen, dan lima tahun naik 42,1 persen.
Jika dibedah strukturnya, sebagian besar utang Indonesia dalam bentuk mata uang rupiah, dengan 73 persen utang berasal dari surat berharga negara (SBN) domestik. Hal ini diharapkan dapat menekan risiko pasar dari melambungnya nilai utang akibat fluktuasi kurs rupiah.
Suminto mengatakan, dari sisi upaya pengendalian utang, pemerintah akan terus berupaya meningkatkan kinerja APBN, baik dari sisi penerimaan maupun belanja, untuk menjaga defisit anggaran. “Selain itu, pemerintah terus mengembangkan skema-skema pembiayaan kreatif, seperti kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) serta blended financing, sebagai alternatif pembiayaan utang,” ucapnya.
Tingkat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) per April 2023 tercatat menurun menjadi 39,17 persen, dari posisi pada Desember 2022 sebesar 39,57 persen. Rasio ini terus turun dari posisi pada 2021 yang sempat menyentuh 40,7 persen karena tekanan pandemi Covid-19.
Karyawan menata tumpukan uang tunai di cash pooling Bank Mandiri, Jakarta, 13 April 2023. Tempo/Tony Hartawan
Di sisi lain, Kementerian Keuangan mengklaim tingkat risiko utang Indonesia menurun tajam, yang ditandai dengan penurunan debt-to-service ratio (DSR), dari 47,3 persen pada 2020 menjadi 34,4 persen pada 2022, kemudian menjadi 28,4 persen pada April 2023. Adapun DSR adalah rasio pembayaran pokok dan bunga utang dengan pendapatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berujar pemerintah menargetkan tren penurunan rasio utang terhadap PDB terus berlanjut. “Kami berharap rasio utang bisa turun lagi ke level 38 persen pada 2024,” ucapnya. Terlebih, konsolidasi fiskal Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini sudah mendekati normal setelah sempat melalui periode pandemi yang menantang. Pemerintah menargetkan rasio utang pada 2024 dapat berada di kisaran 38,07-38,97 persen dari PDB. “Angka ini masih cukup aman, mengingat batas maksimal rasio utang adalah 60 persen dari PDB.”
Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengungkapkan tingkat rasio utang pemerintah yang diklaim jauh lebih rendah dari negara-negara maju yang sudah menembus 100 persen dari PDB tidak bisa dijadikan pembenaran. Pasalnya, kapasitas fiskal antara negara maju dan Indonesia berbeda.
Dia menjelaskan, rasio pajak atau tax ratio negara-negara maju rata-rata berada di atas 30 persen PDB. Sedangkan tax ratio Indonesia sudah lama stagnan di 10 persen dari PDB, tepatnya 10,85 persen dari PDB pada 2014 dan 10,39 persen dari PDB pada 2022. “Jadi, klaim pemerintah bahwa utang berada di batas aman karena masih di bawah 60 persen dari PDB itu naif karena mengabaikan fakta besarnya beban utang pada APBN,” ujarnya.
Yusuf mengatakan cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan beban utang pemerintah adalah menurunkan stok utang. Hal ini membutuhkan reformasi untuk meningkatkan tax ratio dan efisiensi belanja negara yang signifikan agar stok utang tidak terus bertambah. “Penting juga bagi parlemen untuk memberikan batasan atas beban utang sehingga tidak mengorbankan kepentingan rakyat, di mana beban bunga utang pemerintah seharusnya dibatasi maksimal 10 persen dari penerimaan perpajakan,” kata dia. Adapun saat ini, pembayaran bunga utang pemerintah telah menembus Rp 400 triliun per tahun. Maka, jumlah itu lebih dari 20 persen total penerimaan perpajakan tahunan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan pemerintah juga dinilai perlu meninjau kembali pola dan kebiasaan berutang, seperti menerbitkan SBN baru untuk membayar utang jatuh tempo. Pasalnya, hal ini akan membuat beban bunga dan nominal utang terus terakumulasi. “Saat ini hampir seperempat belanja atau 19,6 persen dari total belanja pemerintah pusat habis untuk bayar kewajiban bunga utang,” ucapnya.
Menurut dia, beban bunga utang akan meningkat, apalagi terdapat kenaikan suku bunga global dan domestik. Walhasil, ruang fiskal yang seharusnya dapat digelontorkan untuk belanja sektor produktif akan menyempit. “Kalau berutangnya terus agresif, ke depan, bisa saja antara bunga utang dan anggaran perlindungan sosial juga subsidi menjadi lebih besar bunga utang,” kata Bhima.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo