Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Amplop, sambil Minum Kopi

Perhumas mengadakan pertemuan anggota bersama sejumlah redaktur senior di Hotel Indonesia. Tujuannya, membina hubungan baik dengan pers, masalah penyebaran siaran pers yang disertai amplop.

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH biro konsultan yang bergerak di bidang humas, mengirim siaran pers untuk kepentingan kliennya, suatu perusahaan. Siaran sudah disiapkan secara profesionil. Gaya dan struktur yang dipakai sudah memenuhi syarat penulisan pers. Tapi maukah suratkabar memuatnya? Tidak selalu. Lalu bagaimana supaya siaran itu bisa diberitakan? Ini masalah yang hidup di kalangan humas swasta di Indonesia yang memakai nama Public Relatins (PR), baik ia konsultan maupun pejabat suatu perusahaan. Mereka umumnya bergabung dalam Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat). yang jumlah anggotanya mencapai 110. Penyebaran siaran pers, menurut mereka merupakan satu dari sekian kegiatan yang beraneka ragam itu. Nah belakangan ini hubungan mereka dengan pers menimbulkan soal siaran pers yang mereka kirimkan dikaitkan dengan amplop Rezeki bagi wartawan tentunya, walaupun tidak semula kuli tinta suka menerima amplop rupiah itu. Namun karena penyakit amplop lewat siaran pers ini sudah sedemikian menular, beberapa suratkabar yang kuat keuangannya, akhirnya mencurigai setiap siaran pers --dan cenderung membuangnya. Celakanya kalau siaran pers itu betul-betul punya nilai berita - dan tanpa amplop. Di sini anggota redaksi toh seringkali kehilangan pertimbangan. Maka keranjang sampahlah tempat siaran yang sudah disiapkan dengan susah itu. Banyak pengelola humas swasta tak merasa puas. Terutama karena klien atau majikan biasa mendesak, bila siaran tentang mereka ternyata tak muncul di koran-koran besar seperti Sinar Harapan atau Kompas. Maklum kedua pers tersebut sedang merajai pasaran. Dengan latar belakang inilah, di Madura Room Hotel Indonesia, pekan lalu Perhumas mengadakan pertemuan minum kopi untuk para anggotanya sambil bertukar fikiran dengan sejumlah redaktur senior. Tujuannya untuk menjajagi kemungkinan dibinanya hubungan dengan pers tanpa kecurigaan. Sabam (Sinar Harapan) Siagian dalam kesempatan sore hari itu mengatakan: "Dengan amplop atau tidak, sebuah company news dari Public Relations pada akhirnya akan diputuskan oleh redaksi. Dimuat, kalau memang ada nilai beritanya". Sekalipun kemudian Sabam menambahkan: "kalau amplop ditolak, kami dianggap sok". Faktor ada tidaknya nilai berita juga dikemukakan oleh Djafar (Suara Karya) H. Assegaff, yang lalu menambahkan bahwa sogokan akan "hanya merusak image kami". Tapi August (Kompas) Perengkuan tetap berkeras untuk berprasangka pada "sebuah company news, yang belum apa-apa sudah disertai amplop". Beramplop-amplop Ini tentu sembarang amplop. Karena itu seperti kata Fikri (TEMPO) Jufri: "Amplop adalah pencerminan dari suasana di mana kita berada". Ia barangkali ingin bersikap kompromistis: sementara larangan menerima amplop di majalahnya amat keras, ia tak ingin memproklamasikan diri sebagai orang anti amplop. Walhasil perkara amplop ditutup dengan usul Assegaff, agar sebaiknya Perhumas membentuk semacam dewan seperti Dewan Kehormatan Pers pada PWI. Tommy Craciano, Sekretaris Perhumas, menyambut usul ini. Ia menyerukan juga kepada segenap anggotanya untuk menjauhi kegemaran beramplop-amplop. Graciano sebelumnya memberi catatan bahwa humas non swasta sebenarnya jauh lebih pemurah kepada wartawan. Mereka bahkan ada yang menyediakan catu beras secara tetap. Jadi sebenarnya sama-sama tidak terpuji. Persoalan kemudian kembali kepada siaran pers dari perusahaan. "Kami sejak lama membuka pintu bagi PR", kata Fikri. "Company news selalu kami sambut. Untuk itu pula sejak penerbitan nomor lalu kami membuka rubrik baru: Bisnis". Tapi Fikri mengingatkan bahwa siaran pers tersebut harus dikembangkan untuk mendapat tambahan data dan keterangan. "Dan pengalaman kami adalah, PR tak banyak bisa memberi", katanya lagi. "Mereka selalu mengatakan itu wewenang direksi. Jadi kurang lebihPR swasta sama dengan Humas Pemerintah yang takut membuat kesalahan. Ini yang perlu dirubah". Segede Caltex Di samping itu prasangka terhadap pers juga ada pada fihak humas. Setiap kali seorang reporter datang ke kantor suatu perusahaan, humasnya menjadi curiga. Dikiranya sang wartawan mau bikin ramai saja . "Kami mau low profile" demikian kerap terdengar sambutan dari pejabat humas. Terutama yang dari perusahaan besar maksudnya kira-kira mereka tidak mau ribut-ribut. "Sikap lowprofile itu tak bisa terus-menerus dipertahankan", komentar Sabam tentang bab ini. "Dalam batas-batas tertentu, PR perlu memberi tahu masyarakat tentang kegiatan perusahaannya. Bagaimana perusahaan segede Caltex. Freeport Indonesia akan bersikap low-profile. Bukankah Caltex mewakili sebagian besar produksi minyak Indonesia? Bagi perusahaan sebesar itu, sikap ingin low profile bisa menimbulkan tandatanya bagi masyarakat", masih dari Sabam. Ada pula fihak humas yang mempersoalkan cara melayani seorang wartawan yang belum dikenalnya. Soalnya humas ini khawatir kalau wartawan tersehut memuat berita yang merugikan perusahaan dia, sekalipun ia sudah memberikan keterangan untuk mengimbangi informasi salah yang dimiliki si wartawan. Tentu saja, seperti kata Fikri, wartawan yang tak dikenal humas tersebut jangan ditolak. Tapi minta kepadanya supaya membikin pertanyaan tertulis. Pada waktu memberi jawaban keesokan harinya, maka "dengan suatu gentlement agreement, minta supaya jawaban tertulis itu dimuat". Pada pokoknya pembicara ini mengingatkan supaya PR lebih banyak mengenal wartawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus