SEBUAH biro konsultan yang bergerak di bidang humas, mengirim
siaran pers untuk kepentingan kliennya, suatu perusahaan. Siaran
sudah disiapkan secara profesionil. Gaya dan struktur yang
dipakai sudah memenuhi syarat penulisan pers. Tapi maukah
suratkabar memuatnya? Tidak selalu. Lalu bagaimana supaya siaran
itu bisa diberitakan?
Ini masalah yang hidup di kalangan humas swasta di Indonesia
yang memakai nama Public Relatins (PR), baik ia konsultan
maupun pejabat suatu perusahaan. Mereka umumnya bergabung dalam
Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat). yang jumlah
anggotanya mencapai 110. Penyebaran siaran pers, menurut mereka
merupakan satu dari sekian kegiatan yang beraneka ragam itu.
Nah belakangan ini hubungan mereka dengan pers menimbulkan soal
siaran pers yang mereka kirimkan dikaitkan dengan amplop Rezeki
bagi wartawan tentunya, walaupun tidak semula kuli tinta suka
menerima amplop rupiah itu. Namun karena penyakit amplop lewat
siaran pers ini sudah sedemikian menular, beberapa suratkabar
yang kuat keuangannya, akhirnya mencurigai setiap siaran pers
--dan cenderung membuangnya. Celakanya kalau siaran pers itu
betul-betul punya nilai berita - dan tanpa amplop. Di sini
anggota redaksi toh seringkali kehilangan pertimbangan. Maka
keranjang sampahlah tempat siaran yang sudah disiapkan dengan
susah itu.
Banyak pengelola humas swasta tak merasa puas. Terutama karena
klien atau majikan biasa mendesak, bila siaran tentang mereka
ternyata tak muncul di koran-koran besar seperti Sinar Harapan
atau Kompas. Maklum kedua pers tersebut sedang merajai pasaran.
Dengan latar belakang inilah, di Madura Room Hotel Indonesia,
pekan lalu Perhumas mengadakan pertemuan minum kopi untuk para
anggotanya sambil bertukar fikiran dengan sejumlah redaktur
senior. Tujuannya untuk menjajagi kemungkinan dibinanya hubungan
dengan pers tanpa kecurigaan.
Sabam (Sinar Harapan) Siagian dalam kesempatan sore hari itu
mengatakan: "Dengan amplop atau tidak, sebuah company news dari
Public Relations pada akhirnya akan diputuskan oleh redaksi.
Dimuat, kalau memang ada nilai beritanya". Sekalipun kemudian
Sabam menambahkan: "kalau amplop ditolak, kami dianggap sok".
Faktor ada tidaknya nilai berita juga dikemukakan oleh Djafar
(Suara Karya) H. Assegaff, yang lalu menambahkan bahwa
sogokan akan "hanya merusak image kami". Tapi August (Kompas)
Perengkuan tetap berkeras untuk berprasangka pada "sebuah
company news, yang belum apa-apa sudah disertai amplop".
Beramplop-amplop
Ini tentu sembarang amplop. Karena itu seperti kata Fikri
(TEMPO) Jufri: "Amplop adalah pencerminan dari suasana di mana
kita berada". Ia barangkali ingin bersikap kompromistis:
sementara larangan menerima amplop di majalahnya amat keras, ia
tak ingin memproklamasikan diri sebagai orang anti amplop.
Walhasil perkara amplop ditutup dengan usul Assegaff, agar
sebaiknya Perhumas membentuk semacam dewan seperti Dewan
Kehormatan Pers pada PWI. Tommy Craciano, Sekretaris Perhumas,
menyambut usul ini. Ia menyerukan juga kepada segenap anggotanya
untuk menjauhi kegemaran beramplop-amplop. Graciano sebelumnya
memberi catatan bahwa humas non swasta sebenarnya jauh lebih
pemurah kepada wartawan. Mereka bahkan ada yang menyediakan catu
beras secara tetap. Jadi sebenarnya sama-sama tidak terpuji.
Persoalan kemudian kembali kepada siaran pers dari perusahaan.
"Kami sejak lama membuka pintu bagi PR", kata Fikri. "Company
news selalu kami sambut. Untuk itu pula sejak penerbitan nomor
lalu kami membuka rubrik baru: Bisnis". Tapi Fikri mengingatkan
bahwa siaran pers tersebut harus dikembangkan untuk mendapat
tambahan data dan keterangan. "Dan pengalaman kami adalah, PR
tak banyak bisa memberi", katanya lagi. "Mereka selalu
mengatakan itu wewenang direksi. Jadi kurang lebihPR swasta sama
dengan Humas Pemerintah yang takut membuat kesalahan. Ini yang
perlu dirubah".
Segede Caltex
Di samping itu prasangka terhadap pers juga ada pada fihak
humas. Setiap kali seorang reporter datang ke kantor suatu
perusahaan, humasnya menjadi curiga. Dikiranya sang wartawan mau
bikin ramai saja . "Kami mau low profile" demikian kerap
terdengar sambutan dari pejabat humas. Terutama yang dari
perusahaan besar maksudnya kira-kira mereka tidak mau
ribut-ribut. "Sikap lowprofile itu tak bisa terus-menerus
dipertahankan", komentar Sabam tentang bab ini. "Dalam
batas-batas tertentu, PR perlu memberi tahu masyarakat tentang
kegiatan perusahaannya. Bagaimana perusahaan segede Caltex.
Freeport Indonesia akan bersikap low-profile. Bukankah Caltex
mewakili sebagian besar produksi minyak Indonesia? Bagi
perusahaan sebesar itu, sikap ingin low profile bisa menimbulkan
tandatanya bagi masyarakat", masih dari Sabam.
Ada pula fihak humas yang mempersoalkan cara melayani seorang
wartawan yang belum dikenalnya. Soalnya humas ini khawatir kalau
wartawan tersehut memuat berita yang merugikan perusahaan dia,
sekalipun ia sudah memberikan keterangan untuk mengimbangi
informasi salah yang dimiliki si wartawan. Tentu saja, seperti
kata Fikri, wartawan yang tak dikenal humas tersebut jangan
ditolak. Tapi minta kepadanya supaya membikin pertanyaan
tertulis. Pada waktu memberi jawaban keesokan harinya, maka
"dengan suatu gentlement agreement, minta supaya jawaban
tertulis itu dimuat". Pada pokoknya pembicara ini mengingatkan
supaya PR lebih banyak mengenal wartawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini