Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Parlindungan Simanjuntak & Mariel Sihotang masing-masing dijatuhi hukuman 4 1/2 tahun penjara di pengadilan kisaran. Keduanya terbukti menganiaya Hotman Pardede, hingga meninggal.(krim)

19 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKARA pembunuhan Hotman Pardede, yang nyaris ruwet selama setahun di meja pengadilan Kisaran, akhirnya putus juga awal bulan ini. Tertuduhnya, Parlindungan Simanjuntak dan Mariel Sihotang, masing-masing dihukum 4« tahun penjara. Setahun yang lalu perkara yang meletihkan ini dimulai. Simanjuntak dan Mariel Sihotang diajukan ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap seorang tukang becak, Hotman Pardede. Hotman Pardede diketemukan mati tergantung, dengan seutas tali dari batang pisang kering mengikat leher di atas jakunnya. Yang mula-mula menemukannya adalah perempuan-perempuan yang hendak mencuci pakaian di kali. Dari pemeriksaan di lapangan saja, polisi sudah meragukan cara kematian korban. Lidah korban tidak terjulur, sebagaimana lazimnya orang mati karena penggantungan - bunuh diri maupun digantung orang lain. Mayat segera diangkut ke rumah sakit. Namun, sayangnya rumah sakit - karena ketiadaan fasilitas -- tak melakukan pembedahan mayat lengkap. Sehingga pembuktian secara kedokteran kehakiman kelak merepotkan para hakim. Seminggu setelah diketemukan mayat Pardede, 30 Desember 1975, polisi menangkap tertuduh Simanjuntak dan Sihotang, masing-masing juga tukang becak. Ringkas cerita, kedua tertuduh itu oleh polisi dinyatakan telah mengakui perbuatan mereka membunuh Pardede. Simanjuntak (23 tahun), katanya, membunuh karena pertengkaran soal sebuah topi dengan Pardede. Sedang Sihotang, katanya, membunuh lantaran sakit hati. Ia, katanya di muka polisi, pernah dituduh oleh Pardede telah mencari rokok di kios Sitorus. Walhasil motif pembunuhan yang tersingkap itu sungguh sepele. Rekonstruksi dilakukan. Suatu hari ketiga tukang becak itu tidur-tiduran, berteduh di bawah sebatang pohom di dekat mesin-mesin penjernihkan air PAM Kisaran. Keadaan sepi: Suasana seperti itulah kata mereka kepada hakim, yang ditunggu untuk melepaskan dendam mereka terhadap Pardede. Ketika Pardede tertidur, Simanjuntak memungut sepotong kayu sebesar lengan, dan langsung menghantam kepala rekannya yang sedang tidur tertelungkup. Konon pukulan dilakukan dua kali dengan sekuat tenaga. Sihotang, katanya, juga ikut-ikutan memukul dua kali setelah Simanjuntak. Korban mati. Untuk menghilangkan jejak, keduanya menggantungkan mayat rekan mereka ke sebatang pohon bambu. Namun begitu sidang pengadilan dimulai, kedua tertuduh juga mulai membantah semua pengakuan mereka di muka polisi. Mereka menyatakan, pengakuan itu diberikan karena tak tahan lagi menghadapi berbagai penganiayaan selama pemeriksaan. "Sejak mulai ditahan, kami sudah disiksa", kata Simanjuntak. Karena sikap kedua tertuduh itu, para hakim jadi repot. Ada 7 Orang polisi, termasuk juru periksa Peltu Sulaiman Ginting, diajukan ke muka hakim. Namun kedua tertuduh tak juga menudingkan jari: siapa yang mereka anggap pernah menganiaya. "Kami tak ingat lagi siapa orangnya", kata keduanya. Kecik India Meski begitu, sidang bukannya tambah lancar. Rupanya hakim juga menemui kesulitan menemukan bukti yang memberatkan tuduhan. Beberapa kali hakim menyergah polisi yang maju sebagai saksi. Karena keterangan mereka simpang siur dan saling bertentangan. Satu pertanyaan hakim yang memojokkan polisi: Siapa yang memberi informasi atas keterlibatan tertuduh dalam pembunuhan Pardede? Ada deh, begitu kira-kira jawab polisi. Itu rahasia. "Kami sudah berjanji tak akan menyeret-nyeret informan dalam perkara ini", ujar Peltu Swarto. Walaupun keras mau hakim untuk menyeret sang informan sebagai saksi, namun keras juga sikap polisi menutupinya. Akhirnya yang diajukan saksi lain: Syukir dan Kecik India - dua-duanya teman setahanan tertuduh. Dua saksi ini diajukan, karena katanya pernah mendengar sendiri pengakuan kedua tertuduh dalam sel. Syukir membenarkan, tapi Kecik India merasa tak pernah mendengar pengakuan para tertuduh telah membunuh Pardede. Dua saksi dari pihak polisi ini agaknya menambah keraguan para hakim. Yang lebih menimbulkan keraguan, ialah keterangan dokter yang tercantum dalam visum. Di dalam visumnya, dr Darmansyah Harahap tak ada menyatakan ada bekas pukulan benda keras baik di belakang kepala maupun di tengkuk korban seperti yang dituduhkan jaksa. Yang ada hanya keterangan: pada leher korban diketemukan bekas ikatan tali persis di atas jakun. Darah yang tampak keluar dari telinga, bisa saja akibat ikatan di leher yang mematikan. Juga bekas biru-biru memar di badan korban, itu karena pembusukan saja. Dokter, yang juga dimajukan sebagai saksi, tak begitu dapat memastikan kematian korban, karena tak melakukan bedah mayat komplit. Keragu-raguan dalam mencari pembuktian, dimanfaatkan oleh pembela Aman Sinaga (dari Biro Bantuan Hukum FH-USU) untuk minta pembebasan bagi kliennya. Bahkan pembela juga menuduh polisi telah membuat skenario, yang menjebak para tertuduh masuk dalam perkara ini. Namun akhirnya hakimlah yang menentukan. "Setelah menghubungkan kesaksian-kesaksian di persidangan, dapat disimpulkan tertuduh jelas bersalah", kata majelis hakin dengan suara datar. Tak disinggungnya kesaksian, tak disinggungnya pula visum dokter sebagai petunjuk dalam membuktikan sebab-sebab kematian. Pokoknya terbuktilah perbuatan tertuduh: melakukan penganiayaan berat yang mengakibatkan melayangnya jiwa orang lain. Ini lebih enteng sedikit dari tuduhan jaksa: pembunuhan berencana, yang dituntut 9 tahun penjara. Akan tuduhan tertuduh terhadap polisi pemeriksa-perkara. Ia kini terpaksa mengenyampingkannya dari perkara. Tentu, karena tertuduh tidak mampu membuktikannya. Jangan lagi tertuduh - polisi yang juga perlengkapan pun kadang-kadang kesulitan mencari upaya bukti -- hingga masih sering terdengar keluhan tahanan karena diparas pengakuannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus