PERKARA pembunuhan Hotman Pardede, yang nyaris ruwet selama
setahun di meja pengadilan Kisaran, akhirnya putus juga awal
bulan ini. Tertuduhnya, Parlindungan Simanjuntak dan Mariel
Sihotang, masing-masing dihukum 4« tahun penjara.
Setahun yang lalu perkara yang meletihkan ini dimulai.
Simanjuntak dan Mariel Sihotang diajukan ke pengadilan dengan
tuduhan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap seorang
tukang becak, Hotman Pardede.
Hotman Pardede diketemukan mati tergantung, dengan seutas tali
dari batang pisang kering mengikat leher di atas jakunnya. Yang
mula-mula menemukannya adalah perempuan-perempuan yang hendak
mencuci pakaian di kali. Dari pemeriksaan di lapangan saja,
polisi sudah meragukan cara kematian korban. Lidah korban tidak
terjulur, sebagaimana lazimnya orang mati karena penggantungan -
bunuh diri maupun digantung orang lain. Mayat segera diangkut ke
rumah sakit. Namun, sayangnya rumah sakit - karena ketiadaan
fasilitas -- tak melakukan pembedahan mayat lengkap. Sehingga
pembuktian secara kedokteran kehakiman kelak merepotkan para
hakim.
Seminggu setelah diketemukan mayat Pardede, 30 Desember 1975,
polisi menangkap tertuduh Simanjuntak dan Sihotang,
masing-masing juga tukang becak. Ringkas cerita, kedua tertuduh
itu oleh polisi dinyatakan telah mengakui perbuatan mereka
membunuh Pardede. Simanjuntak (23 tahun), katanya, membunuh
karena pertengkaran soal sebuah topi dengan Pardede. Sedang
Sihotang, katanya, membunuh lantaran sakit hati. Ia, katanya di
muka polisi, pernah dituduh oleh Pardede telah mencari rokok di
kios Sitorus. Walhasil motif pembunuhan yang tersingkap itu
sungguh sepele.
Rekonstruksi dilakukan. Suatu hari ketiga tukang becak itu
tidur-tiduran, berteduh di bawah sebatang pohom di dekat
mesin-mesin penjernihkan air PAM Kisaran. Keadaan sepi: Suasana
seperti itulah kata mereka kepada hakim, yang ditunggu untuk
melepaskan dendam mereka terhadap Pardede. Ketika Pardede
tertidur, Simanjuntak memungut sepotong kayu sebesar lengan, dan
langsung menghantam kepala rekannya yang sedang tidur
tertelungkup. Konon pukulan dilakukan dua kali dengan sekuat
tenaga. Sihotang, katanya, juga ikut-ikutan memukul dua kali
setelah Simanjuntak. Korban mati. Untuk menghilangkan jejak,
keduanya menggantungkan mayat rekan mereka ke sebatang pohon
bambu.
Namun begitu sidang pengadilan dimulai, kedua tertuduh juga
mulai membantah semua pengakuan mereka di muka polisi. Mereka
menyatakan, pengakuan itu diberikan karena tak tahan lagi
menghadapi berbagai penganiayaan selama pemeriksaan. "Sejak
mulai ditahan, kami sudah disiksa", kata Simanjuntak. Karena
sikap kedua tertuduh itu, para hakim jadi repot. Ada 7 Orang
polisi, termasuk juru periksa Peltu Sulaiman Ginting, diajukan
ke muka hakim. Namun kedua tertuduh tak juga menudingkan jari:
siapa yang mereka anggap pernah menganiaya. "Kami tak ingat lagi
siapa orangnya", kata keduanya.
Kecik India
Meski begitu, sidang bukannya tambah lancar. Rupanya hakim juga
menemui kesulitan menemukan bukti yang memberatkan tuduhan.
Beberapa kali hakim menyergah polisi yang maju sebagai saksi.
Karena keterangan mereka simpang siur dan saling bertentangan.
Satu pertanyaan hakim yang memojokkan polisi: Siapa yang memberi
informasi atas keterlibatan tertuduh dalam pembunuhan Pardede?
Ada deh, begitu kira-kira jawab polisi. Itu rahasia. "Kami
sudah berjanji tak akan menyeret-nyeret informan dalam perkara
ini", ujar Peltu Swarto. Walaupun keras mau hakim untuk menyeret
sang informan sebagai saksi, namun keras juga sikap polisi
menutupinya.
Akhirnya yang diajukan saksi lain: Syukir dan Kecik India -
dua-duanya teman setahanan tertuduh. Dua saksi ini diajukan,
karena katanya pernah mendengar sendiri pengakuan kedua tertuduh
dalam sel. Syukir membenarkan, tapi Kecik India merasa tak
pernah mendengar pengakuan para tertuduh telah membunuh Pardede.
Dua saksi dari pihak polisi ini agaknya menambah keraguan para
hakim.
Yang lebih menimbulkan keraguan, ialah keterangan dokter yang
tercantum dalam visum. Di dalam visumnya, dr Darmansyah Harahap
tak ada menyatakan ada bekas pukulan benda keras baik di
belakang kepala maupun di tengkuk korban seperti yang dituduhkan
jaksa. Yang ada hanya keterangan: pada leher korban diketemukan
bekas ikatan tali persis di atas jakun. Darah yang tampak keluar
dari telinga, bisa saja akibat ikatan di leher yang mematikan.
Juga bekas biru-biru memar di badan korban, itu karena
pembusukan saja. Dokter, yang juga dimajukan sebagai saksi, tak
begitu dapat memastikan kematian korban, karena tak melakukan
bedah mayat komplit.
Keragu-raguan dalam mencari pembuktian, dimanfaatkan oleh
pembela Aman Sinaga (dari Biro Bantuan Hukum FH-USU) untuk minta
pembebasan bagi kliennya. Bahkan pembela juga menuduh polisi
telah membuat skenario, yang menjebak para tertuduh masuk dalam
perkara ini.
Namun akhirnya hakimlah yang menentukan. "Setelah menghubungkan
kesaksian-kesaksian di persidangan, dapat disimpulkan tertuduh
jelas bersalah", kata majelis hakin dengan suara datar. Tak
disinggungnya kesaksian, tak disinggungnya pula visum dokter
sebagai petunjuk dalam membuktikan sebab-sebab kematian.
Pokoknya terbuktilah perbuatan tertuduh: melakukan penganiayaan
berat yang mengakibatkan melayangnya jiwa orang lain. Ini lebih
enteng sedikit dari tuduhan jaksa: pembunuhan berencana, yang
dituntut 9 tahun penjara.
Akan tuduhan tertuduh terhadap polisi pemeriksa-perkara. Ia
kini terpaksa mengenyampingkannya dari perkara. Tentu, karena
tertuduh tidak mampu membuktikannya. Jangan lagi tertuduh -
polisi yang juga perlengkapan pun kadang-kadang kesulitan
mencari upaya bukti -- hingga masih sering terdengar keluhan
tahanan karena diparas pengakuannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini