JANTUNG konsumen komputer, belakangan ini, suka dag dig dug mengamati perkembangan bisnis produk teknologi tinggi itu di Amerika. Sebuah merk komputer mendadak saja bisa hilang dari pasar, karena penghasilnya bangkrut, atau dikawin paksa perusahaan lain. Kalau itu terjadi, kelangsungan suplai suku cadang dan perawatan seluruh komputernya bisa terancam. Wajar kalau banyak konsumen merasa waswas ketika Sperry menyatakan menerima pinangan Burroughs. Sebagai pengambil inisiatif, Mei lalu, Burroughs setuju mengawini Sperry dengan imbalan emas kawin US$ 4,8 milyar, atau US$ 76,50 tiap saham. Pembelian sebesar itu tampaknya cukup memadai, mengmgat ketika pertama kali didekati, setahun lalu Burroughs hanya berani menawar harga saham Sperry yang diperdagangkan di bursa US$ 55 dengan US$ 65 saja. Upaya mengipas Burroughs kemudian dilakukan Sperry dengan menjajakan dirinya pada American Telephone & Telegraph, NCR, dan General Dynamic. Tapi para calon pembeli lain itu cuma memble. Sperry -- pendapatan kotornya tahun lalu US$ 5 milyar -- akhirnya lebih memusatkan perhatian pada Burroughs, yang memang kece: pendapatan kotornya tahun lalu US$ 5,7 milyar, meskipun hal itu ditentang sejumlah pemegang sahamnya. Ketika semuanya beres, lembaga keuangan Lazards Freres segera mengumpulkan uang lebih dari US$ 3 milyar untuk Burroughs guna memenuhi transaksi itu. Kata Michaei Blumenthal, Presiden Komisaris Burroughs, "Salah satu tujuan penggabungan itu adalah untuk menghemat biaya." Di tahun pertama penggabungan itu, perusahaan diperkirakan akan bisa menghemat sekitar US$ 150 juta melalui pembelian bersama, pengolahan, dan usaha menekan biaya tetap. Tapi ada yang menduga, penghematan sebesar itu akan dilakukan Blumenthal menteri keuangan di zaman Presiden Carter, dengan memangkas 4.000 pegawai Sperry. Yang merisaukan konsumen bukanlah pada rencana PHK itu, melainkan pada kelangsungan pelayanan purnajual dan penggantian suku cadang, karena keduanya menghasilkan komputer berbeda program. Soedarpo Corp., penjual komputer besar (main frame) Univac dari Sperry, cepat-cepat bertindak dengan mengirimkan pemberitahuan kepada para pelanggannya bahwa kendati pemegang merknya di Amerika sudah diambil alih, induk perusahaan yang baru sudah menjanjikan akan tetap menjamin kelangsungan pemasokan suku cadang dan pelayanan purnajual. Sekalipun agen Burroughs dan Sperry di sini kelak akan bekerja sama melakukan pemasaran, keduanya tetap akan melakukan pelayanan kepada konsumen secara sendiri-sendiri. Penjelasan dari Soedarpo itu rupanya cukup menenangkan pihak Bank Niaga, yang menggunakan Univac secara bertahap sejak 1982, dengan perangkat kerasnya kini ditaksir bernilai hampir Rp 1 milyar. Pada umumnya, komputer besar Univac digunakan mulai dari menyusun penggajian sampai melayani kepentingan nasabah bank lewat teller machine. Tidak terkecuali di Bank Niaga, yang presiden komisarisnya adalah Soedarpo Sastrosatomo, pemilik Soedarpo Corp. Benar tidaknya jaminan agen tadi, tentu, tetap bergantung pada induk perusahaan yang baru. Kalau misalnya perusahaan gabungan tadi mendadak menghentikan pelayanan suku cadang Univac, maka kontrak perawatan komputer Bank Niaga Rp 80 juta-Rp 90 juta setahun bisa kacau. Juga kontrak perawatan komputer serupa milik Bulog senilai Rp 40 juta. Syukur, menurut Chrisman Silitonga, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Logistik Bulog, "Sejauh menyangkut suku cadang, pihak agen belum pernah menyatakan tidak ada." Mudah-mudahan kepentingan konsumen di sini tidak banyak dirugikan akibat perkawinan itu. Sebab, dari sejumlah usaha perkawinan sebelumnya, kepentingan konsumen acap kali dirugikan. Sementara perusahaan yang ingin menggelembungkan pasar malah tak dapat apa-apa. Usaha Burroughs mencaplok Memorex, pembuat disc drive dengan harga US$ 117 juta, misalnya, malah menyebabkan perusahaan baru itu rugi US$ 35 iuta tahun lalu -- karena kesalahan teknis. Kawin kalau dipaksa, memang suka menyebabkan konsumen jadi repot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini