Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Salah satu ancaman yang paling serius adalah melonjaknya inflasi.
Bank Indonesia harus menaikkan bunga.
Investor di pasar finansial akan makin menjauhi Indonesia.
INDONESIA patut bersyukur, pertumbuhan ekonomi per kuartal I 2022 masih bisa mencapai 5,01 persen. Tapi ada satu hal yang perlu kita camkan saat membaca data pertumbuhan ekonomi tersebut: itu sejarah yang sudah lewat. Angka 5,01 persen itu merupakan catatan atas pertumbuhan yang sudah terjadi, antara awal April 2021 dan akhir Maret 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekor kinerja yang baik tentu penting. Namun yang lebih penting bagi pasar dan korporasi adalah bagaimana keadaan ekonomi besok, sebulan, atau setahun kemudian, bukan kinerja yang sudah lewat. Prediksi inilah yang lebih berguna sebagai dasar keputusan bisnis ataupun investasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mendapatkan prediksi yang baik, kita perlu menimbang berbagai indikator dan faktor risiko, termasuk kondisi politik dan pasar global. Jika kita periksa dengan saksama, terlihat bagaimana beberapa indikator menunjukkan peningkatan risiko bagi Indonesia dalam jangka pendek.
Salah satu ancaman yang paling serius adalah melonjaknya inflasi. Indonesia tak bisa menghindar dari inflasi karena ini gejala global dan ekonomi Indonesia terkoneksi kuat dengan ekonomi dunia. Per akhir April 2022, inflasi tahunan Indonesia sudah mencapai 3,47 persen, tertinggi sejak Desember 2017. Pasar cemas karena lonjakan inflasi besar mungkin akan berlanjut di bulan-bulan mendatang.
Pemicunya: harga minyak bumi yang makin tinggi. Perang Rusia-Ukraina yang terus berlanjut dan bisa berbuntut embargo minyak Rusia akan makin melejitkan harga minyak. Pada April lalu, harga minyak mentah Indonesia US$ 102,5 per barel, jauh di atas patokan pemerintah yang cuma US$ 63. Jika harga minyak tetap tinggi, pemerintah tak akan sanggup mencegah kenaikan harga jual bahan bakar minyak. Inflasi akan kian melonjak.
Risiko naiknya inflasi semestinya menjadi pertimbangan utama Bank Indonesia dalam memutuskan kebijakan moneter. Jika BI tak peduli dan terus menjalankan kebijakan moneter yang longgar, misalnya tetap mencetak rupiah untuk membiayai utang pemerintah seperti yang terjadi sejak 2020, ekonomi kita bisa kian kencang tercekik inflasi.
Lebih dari itu, BI juga harus menaikkan bunga. Politikus pasti tak setuju terhadap pilihan ini. Sebab, kenaikan bunga akan mengerem pertumbuhan ekonomi. BI akan menghadapi tekanan politis untuk mempertahankan bunga. Tapi, jika BI tunduk pada tuntutan itu, konsekuensinya sungguh berat. Investor di pasar finansial akan makin menjauhi Indonesia.
Sekarang pun itu sudah terjadi. Nilai rupiah melemah, sudah mendekati 14.600 per dolar Amerika Serikat. Cadangan devisa turun menjadi US$ 135,7 miliar per akhir April dari US$ 139,1 miliar sebulan sebelumnya. Posisi dana asing yang tertanam di obligasi pemerintah RI dalam rupiah tinggal Rp 813,2 triliun per 12 Mei 2022. Sejak awal tahun, secara neto dana asing yang keluar dari obligasi pemerintah mencapai Rp 80,39 triliun. Keyakinan investor asing pada Indonesia mulai goyah.
Selain itu, pasar global saat ini sedang bergejolak. Bunga naik di mana-mana dan likuiditas kian seret. Dalam situasi seperti ini, pemerintah akan makin sulit mencari utang baru lewat penjualan obligasi untuk memenuhi target anggaran 2022 senilai Rp 991,3 triliun. Kalau memaksakan penerbitan obligasi, pemerintah harus membayar bunga lebih tinggi agar investor tertarik.
Ketika utang untuk mengongkosi anggaran makin sulit didapatkan dan mahal harganya, pemerintah seharusnya lebih berhati-hati mengeluarkan uang. Proyek-proyek mentereng, baik yang berbungkus infrastruktur maupun pembangunan istana baru buat presiden, selayaknya ditangguhkan.
Presiden harus lebih realistis. Keadaan saat ini tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk memacu pertumbuhan dengan menggenjot belanja. Yang lebih mendesak adalah penyelamatan ekonomi. Prioritas pemerintah seharusnya penyiapan berbagai jaring pengaman sosial untuk mengurangi dampak lonjakan inflasi bagi masyarakat miskin.
Memaksakan pertumbuhan ekonomi dalam keadaan penuh gejolak adalah kebijakan yang berbahaya. Ibaratnya, bus yang tetap melaju kencang saat turun hujan lebat. Jika tak segera melambat, bus itu bisa tergelincir setiap saat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo