KIAN hari, menebak harga minyak sama sulitnya dengan memasang taruhan porkas sepak bola. Aturan permintaan dan penawaran kini sudah tak berlaku lagi. Pemerintah dan DPR yang, pekan lalu, membahas RUU RAPBN 1986-1987 rasanya sulit memegang buntut minyak yang bergoyang dua bulan terakhir. Mungkin karena perubahan cuaca di Utara, tapi mungkin pula lantaran Menteri Perminyakan Arab Saudi Yamani mendadak meriang. Karena alasan itulah, DPR akhirnya menyetujui RAPBN 1986-1987, yang disusun berimbang pada angka Rp 21.422 milyar, disahkan menjadi undang-undang. Sasaran penerimaan pajak perseroan minyak dan gas alam, yang dibuat dengan perkiraan harga minyak US$ 25 per barel sepanjang tahun anggaran, tetap tak berubah: minyak Rp 8.145 milyar dan LNG Rp 1.593 milyar. Tidak diubahnya sasaran itu, tentu mengagetkan -- lebih-lebih mengingat harga minyak di pasar bebas sudah terjun jauh di bawah US$ 25. Ada dugaan, pemerintah akan mendevaluasikan rupiah atau mempercepat penurunan kurs rupiah terhadap US dolar, untuk menjangkau sasaran itu. Tapi, Menteri Keuangan Radius Prawiro dengan cepat membantah anggapan tadi, karena cadangan devisa yang dikuasai pelbagai bank pemerintah kini berjumlah USS 5,8 milyar "Saya kira nilai rupiah yang mengambang sekarang ini cukup realistis," kata Menteri di DPR. Sikap dalam memandang target itu jadi jelas setelah Menteri Menko Ekuin Ali Wardhana mengungkapkan rencana untuk menutup penurunan harga minyak itu dengan menaikkan produksinya. Pemerintah, katanya kepada Reuter pekan lalu, kini sedang berusaha menggenjot produk minyak harian dari 1,4 juta barel di bulan Februari, jadi 1,5 juta di bulan berikutnya. "Sejauh bisa menutup biaya produksi, kami akan melanjutkan untuk menambah produksi," tambahnya. Dengan demikian, kuota produksi 1.189 ribu barel, tampaknya, hanya akan tinggal sebagai catatan di laci. Pembatasan produksi, bagi OPEC yang berambisi merebut pasarnya kembali, kini bukan zamannya lagi. Sudah sejak beberapa waktu lalu, sesungguhnya, Saudi memelopori untuk menaikkan produksi minyaknya di atas kuota yang 4,2 juta barel: untuk menekan agar para produsen minyak Laut Utara, terutama Inggris, mau ikut mengendalikan produksi mereka-Saudi kini sedikitnya memompa 4,7 juta barel minyak. Baru Mesir, Meksiko, Malaysia, Oman, dan Uni Soviet yang menyatakan bersedia bekerja sama dengan 13 negara OPEC untuk mengendalikan produksi minyak mereka. Dari ladang Laut Utara itu, Inggris dan Norwegia kini menyedot 3,3 juta barel, dan dalam waktu dekat diduga akan mencapai 3,6 juta per harinya. Tentu ada alasan kuat bagi Inggris, penghasil terbesar di sana, untuk tidak berbaris bersama OPEC. Perang antara produsen Laut Utara dan Saudi itu, konon, sampai menyebabkan harga minyak Indonesia yang dijual di Jepang kini hanya laku US$ 13 sampai US$ 17 per barel -- di luar harga minyak resmi. Perkembangan yang kurang menguntungkan bagi APBN 1986-1987 itu, pekan lalu, banyak mendapat perhatian peserta diskusi TEMPO, yang menampilkan pemrasaran tunggal Ir. Wijarso, bekas Dirjen Migas yang kini Staf Ahli Menteri Pertambangan. Prof. Moh. Sadli, bekas Menteri Pertambangan, misalnya, mempertanyakan apakah usaha merebut pasaran 100 ribu sampai 200 ribu barel di Jepang bisa dilakukan dengan menaikkan produksi. Jepang, seperti diketahui, merupakan pasar terbesar minyak Indonesia selama lima tahun terakhir. Sampai 1982, Indonesia masih bisa mengapalkan minyak mentah di atas 500 ribu barel ke sana setiap hari -- nomor dua sesudah Arab Saudi. Tapi, setahun kemudian, posisinya mulai digeser Persatuan Emirat Arab, yang sejak dini menggenjot produksinya jauh di atas kuota. Tahun lalu, pengapalan minyak dari sini pukul rata tinggal 389 ribu barel setiap hari. Sudah banyak usaha dilakukan agar Jepang mau menaikkan pembelian minyaknya dari sini. Tapi, mungkin karena pihak penjual kurang luwes menanyani keinginan pembeli, usaha itu belum menunjukkan hasil. Atas nama pribadi Ir. Wijarso berkeyakinan, "Pihak Jepang sesungguhnya masih percaya pada Indonesia, asal kita dalam suplainya mempertahankan fleksibilitas harga." Fleksibel di situ, "Tidak berarti kita menjual minyak secara netback [harga jual minyak mentah ditetapkan berdasar harga hasil kilang dikurangi biaya pengangkutan]." Para kontraktor minyak tampaknya mau diajak bekerja sama, asalkan mereka masih bisa menutup biaya produksi. Jadi, usaha menaikkan volume produksi 100 ribu sampai 200 ribu barel bukan soal sulit. Apalagi, menurut Wijarso, di tahun 1977 produksi minyak Indonesia pernah mencapai rata-rata 1.685 ribu barel -- dengan produksi bulanan tertinggi 1.741 ribu barel per hari Maret 1977 itu. Dengan kata lain, jika dikehendaki, Indonesia sesungguhnya bisa dengan cepat menggenjot produksinya sampai 1,5 juta barel -- termasuk kondensat yang 140 ribu barel. "Tapi, kalau mau 1,6 juta barel sehari, perlu persiapan-persiapan karena sumur-sumur kita kecil-kecil," tambah Wijarso. Yang jadi soal kemudian tinggal pemasarannya. Sial, usaha menaikkan pemasaran ke Amerika, yang mulai naik dari 89,8 juta barel di tahun 1984 jadi 95 juta barel di tahun 1985, kini terancam oleh rencana penggunaan pajak impor US$ 5 per barel. Rencana itu, memang, belum diterima Kongres AS. Juga usulan agar harga minyak impor ditetapkan mempunyai harga dasar US$ 22 per barel, kendati tujuannya jelas, untuk melindungi agar harga minyak di AS macam West Texas Intermediate yang harganya jatuh bangun US$ 13 itu, bisa dijual di atas biaya produksi. Faktor-faktor semacam itu jelas bakal mempengaruhi harga ekspor minyak Indonesia yang, pada akhirnya, juga akan menggencet sasaran penerimaan pajak migas. Banyaknya kendala yang bisa mempengaruhi struktur harga minyak itu, tentu saja, cukup dipahami Hamzah Haz, Wakil Ketua Komisi APBN DPR. Karena itu, dia bisa menerima alasan pemerintah untuk tidak mengubah rencana penerimaan pajak migas untuk tahun mendatang. "Anggaran itu kami terima, karena masih terbuka jalan untuk memperbaiki -- minimal dalam waktu tiga atau enam bulan setelah pengesahan RAPBN I Maret, pemerintah harus segera memberi tahu untuk melakukan perubahan itu," katanya. Masa kritis itu, mungkin, akan dihadapi sejak Juni sampai Agustus, ketika biasanya konsumsi minyak di belahan Utara menurun karena musim panas. Dan, jika perang antara Saudi dan produsen Laut Utara itu sampai menyebabkan sasaran penerimaan migas tidak tercapai, Dr. Pande Radja Silalahi, ekonom dari CSIS, menganjurkan agar proyek infrastruktur di daerah tetap diprioritaskan. "Proyek .itu punya arti besar: sebagai penampung tenaga kerja dan jalur pemerataan ekonomi," katanya. Sebaliknya, baik Pande maupun Hamzah Haz sama-sama sependapat agar proyek nonekonomis macam pembinaan generasi muda dan sejenisnya itu, ditunda dulu. Jumlah anggaran pembangunan 1986-1987 untuk sektor itu, komponen rupiahnya saja cukup besar: Rp 830 milyar sendiri. Padahal, untuk pengadaan infrastruktur, termasuk pariwisata, hanya disediakan Rp 435 milyar, atau Rp 200 milyar di bawah tahun anggaran berjalan. "Untuk proyek-proyek semacam latihan kepemimpinan itu sebaiknya dicoret saja," kata Pande. Semua anjuran itu tampaknya baik dipikirkan kalau-kalau harga minyak jatuhnya jauh di bawah perkiraan. Beban APBN sendiri sebenarnya bisa dikurangi jika pelbagai badan usaha milik negara (BUMN), yang hingga kini masih mendapat suntikan penyertaan modal pemerintah (PMP), diminta mencari dana sendiri. Tahun 1986--1987 itu PMP yang dianggarkan, antara lain untuk industri pesawat terbang dan Garuda, berjumlah Rp 207 milyar lebih. "BUMN itu tidak harus selalu disuapi, melainkan harus dikelola seperti swasta," kata Dr. Iwan Jaya Azis dari LPEM UI. Suara-suara seperti itu sudah sering terdengar. Tapi, karena belum jelas kebijaksanaan di bidang industri, suntikan dari kantung pemerintah itu masih dipelihara kini. Yang jadi persoalan, kalau uang dari pengumpulan pajak makin terbatas, apakah tidak perlu BUMN itu disuruh belajar berjalan sendiri. Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini