Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengawinkan Si Jangkung

Perkebunan kelapa hibrida mempunyai prospek cerah. contoh, PT Multi Argo di Lampung. Memerlukan investasi besar & perawatan intensif. 6 perusahaan menjadi produsen benih. Harga masih di bawah kontrol. (eb)

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELAPA bakal menjadi primadona kalau benar konsumsi akan buah tanaman keras itu masih bergerak naik sekitar 7% setiap tahun. Sejak 1979 tanaman kelapa rakyat seluas tiga juta hektar tak mampu lagi menampung permintaan konsumen lokal terutama industri minyak goreng. Impor kopra karenanya terpaksa dilakukan, dan jumlahnya cenderung menggelembung, hingga pernah mencapai 500 ribu ton di tahun 1983. Gambaran bagus Menmud Tanaman Keras Hasjrul Harahap, yang dikemukakan ketika panen raya kebun induk kelapa hibrida PT Multi Agro di Lampung, pekan lalu, tampaknya tidak berlebihan. Apalagi jika diingat, produksi kelapa rakyat yang sebagian besar sudah berumur di atas 50 tahun itu makin menurun produktivitasnya dari tahun ke tahun: 1,8 juta ton di tahun 1982 jadi 1,5 juta ton tahun berikutnya. Nah, supaya kebutuhan lokal bisa dipenuhi dari kebun sendiri, pemerintah lalu mendorong perkebunan negara dan swasta agar berlomba menanam kelapa berumur pendek dan punya produktivitas tinggi. Ciri tersebut ternyata ada pada jenis kelapa hibrida (kacukan) -- hasil persilangan antara induk kelapa lokal seperti Genjah Kuning Nias (GKN) dan bapak luar negeri semacam Jangkung Afrika Barat (JAB). Tanaman dari hasil penyilangan ini, pada umumnya, sudah bisa dipetik hasilnya ketika berumur empat tahun. Produktivitasnya pun cukup tinggi: kacukan hasil persilangan GKN dengan JAB, misalnya, bisa menghasilkan kelapa lima sampai enam ton/ha/tahun. Tanpa persilangan, kelapa sini hanya menghasikan sekitar dua ton. Kulit buah kacukan juga tebal. Karena itu, untuk menghasilkan kopra satu kg, hanya dibutuhkan lima butir -- sedang dengan kelapa biasa perlu enam butir. Tapi, dari mana sumber benih hibrida itu diperoleh? Di tahun 1970-an baru PT Perkebunan X yang berusaha merintis pengadaan benih kacukan di Lampung. Karena masa depannya dianggap cukup bagus, 1977, Multi Agro yang tertarik ikut menyediakan benih itu mengikuti langkah PTP X dengan membuka kebun induk 160 ha di Gunung Batin, Lampung. Di kebun induk itulah, kegiatan hibridisasi antara induk GKN dan bapak JAB berupa penyerbukan buatan dilakukan sejak September 1984. Hasil penyerbukan buatan itu, pekan lalu, sudah bisa dipetik. Dan tahun ini, kebun induk tadi diharapkan bisa menyediakan bibit kacukan 1,5 juta-1,8 juta butir. William Soeryadjaya, Presiden Komisaris Multi Agro, jelas cukup gembira melihat panen raya itu. "Kalau saja sejak dulu masuk, sekarang kita pasti menang bersaing dengan kopra Filipina," katanya. Pihak Bank Bumi Daya dan Bank Dagang Negara, yang menyediakan kredit murah 12% setahun, juga senang menyaksikan keberhasilan perkebunan swasta itu. Bagusnya prospek kelapa kacukan itu, akhirnya, mendorong pula PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera membuka kebun induk di Bah Lias, Sumatera Utara. PT Patra Tani juga merintis usaha serupa. Dari pihak perkebunan negara sedikitnya tercatat ada lima perusahaan. Tapi yang kemudian ditunjuk pemerintah sebagai sumber benih kacukan hanya PTP VII, PTP XI, dan PTP XXVIII-di samping Multi Agro, London Sumatera, dan Patra Tani. Cukup banyak persyaratan harus dipenuhi enam perusahaan itu supaya bisa ditunjuk sebagai sumber dan produsen benih kacukan. Asal usul dari jenis kelapa yang mau dikawinkan, misalnya, harus jelas tingkat produktivitas dan masa panennya. Kebun induk itu sendiri harus terpisah letaknya, jauh dari tanaman kelapa lokal, hingga tak memungkinkan serbuk jantan kelapa lokal membuahi bunga betina kebun induk secara alam. Dan, yang penting, perkebunan yang disyaratkan punya laboratorium itu harus menguasai teknik hibridisasi. Singkat cerita, pengelolaan kebun induk itu harus dilakukan secara cermat dan hati-hati -- perhatian yang dicurahkan seolah-olah bagai merawat ratusan bayi yang harus dicatat setiap perkembangannya. Investasi di situ ternyata cukup besar. Menurut taksiran Menmud Hasjrul Harahap, untuk kebun induk 150 ha-200 ha, investasinya Rp 1 milyar sampai Rp 1,5 milyar -- lengkap dengan fasilitas infrastrukturnya. Karena itu, agaknya, pemerintah perlu membantu menyediakan kredit murah berjangka 12 tahun. Tapi, tidak seperti penyebaran kelapa lokal, pemasaran benih hibrida belum begitu besar dilepaskan ke masyarakat -- karena harganya mahal, ditambah lagi jumlahnya masih terbatas. Secara resmi, sebetulnya, harga jual benih kelapa kacukan ini berada di bawah kontrol pemerintah: Rp 500 untuk perkebunan rakyat dan Rp 1.200 untuk perkebunan swasta dan negara. "Kalau harganya tidak ditetapkan pemerintah, kami takut akan terjadi kelangkaan bibit," kata Hasjrul. "Tapi, kalau sudah cukup, harga bakal ditentukan mekanisme pasar." Campur tangan pemerintah dalam membantu penyebaran kacukan ini memang cukup besar. Lewat program keluarga berencana lestari saja, tahun 1984-1985 lalu, dua juta kacukan sudah disebarkan. Tahun anggaran berjalan ini, para peserta program itu akan menerima lagi lebih dari 600 ribu kelapa hibrida. Karena kebutuhan untuk peremajaan dan perluasan cukup besar, Menmud Hasjrul menaksir, suplai bibit dari kebun induk yang ada kini tidak akan mencukupi, sampai akhir Pelita IV 1989 nanti. Jadi, jumlah kebun induk yang kini 1.800 ha perlu diperluas hingga 4.500 ha. Kalau pihak bank merasa yakin prospeknya benar-benar bagus, pihak swasta, tampaknya, tak keberatan untuk memperluas kebun induk itu. Selain dijual untuk umum, benih hibrida itu biasanya juga ditanam sendiri di kebun produksi -- seperti dilakukan PTP XI di Tangerang dan Multi Agro di Lampung. Sampai tahun ketiga, setiap hektar kebun produksi biasanya membutuhkan investasi Rp 1,5 juta. Titik impas baru bisa dicapai setelah tanaman itu memasuki tahun kedelapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus