Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dilema Swasta

BUMN masih maju mundur melakukan swastanisasi. Di luar negeri dengan berbagai motif hal itu sudah lumrah. Berkembangnya swasta masih bergantung pada pemerintah.

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAPA bisa dihemat kalau dinas pemadam kebakaran di kota Anda dikelola swasta? Pengelola Kota Grants Pass di Oregon, Amerika, ternyata hanya perlu mengeluarkan 2 persen dari anggaran perlindungan bahaya kebakaran yang dicadangkan US$ 750 ribu setahun. Padahal, jika kota itu berambisi memiliki unit pemadam kebakaran sendiri, sedikitnya perlu US$ 125 ribu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Contoh menarik dalam majalah Time itu memang tidak dikemukakan Dr. J. Panglaykim ketika, pekan lalu, membawakan makalah mengenai peran dan usaha swastanisasi untuk memperingati ulang tahun TEMPO ke-15 di Jakarta. Tapi pembicaraan pemrasaran tunggal itu--"Era Proses Privatisasi dan Sektor Swasta Nasional: Tempat, Peran, dan Tantangan"--sudah kaya dengan contoh usaha swastanisasi di pelbagai negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewasa ini, kata Pang, hampir semua negara lihat saja Inggris, Jepang, Malaysia sudah mulai jenuh melihat penampilan perusahaan negara mereka. Selain dianggap kurang efisien, pada umumnya, perusahaan negara itu ternyata terlalu banyak menyedot uang pajak karena hampir senantiasa merugi dalam operasinya. Japan National Railways, misalnya, setiap hari rugi US$ 20 juta. Usaha menghemat pengeluaran dengan cara merampingkan karyawannya, yang berjumlah 300-an ribu itu, selalu mendapat tantangan para politikus.

Di Jepang, menurut Pang, Presiden Direktur Sejahtera Bank Umum, swastanisasi badan usaha milik negara dilakukan karena alasan ketidakseimbangan neraca perdagangan: Amerika menekan Jepang supaya membuka pasarnya lebih lebar untuk mengurangi surplusnya. Tindakan pertama yang dilakukan adalah menghapus monopoli pengelolaan telekomunikasi oleh Nippon Telegraph and Telephone (NTT). Kemudian secara bertahap, mulai April 1985 sampai 1989, separuh saham badan usaha milik negara itu dijual ke masyarakat lewat pasar modal. Dengan cara begitu, maka peluang bagi penghasil komponen dan alat-alat telekomunikasi dari Amerika menaikkan penjualannya di sana jadi lebih terbuka lebar. Apalagi konsumennya kini tidak lagi hanya NTT.

Sedikitnya sudah ada tiga usaha swasta yang menyatakan siap terjun memasuki bisnis jasa pelayanan itu. Dengan alasan serupa itu, Japan Tobacco kemudian juga diswastakan. Tapi di Inggris, usaha swastanisasi badan usaha milik negara seperti British Telecom lebih banyak dilakukan karena alasan politis. PM Inggris Margaret Thatcher tidak ingin melihat kedudukan serikat buruh kuat di negeri itu. Pemogokan panjang menuntut kenaikan gaji, kendati usaha perusahaan merugi, bisa mereka lakukan tanpa kendali pemegang saham, seperti dilakukan buruh tambang batu bara belum lama ini. "Dengan privatisasi itu, Thatcher jelas ingin menghantam kekuatan serikat buruh," ujar Pang.

Thatcher sendiri, seperti dikutip Pang dari penelitian majalah The Eeonomist, punya pandangan menarik dengan swastanisasi perusahaan negara. Menurut perdana menteri itu, bilamana perusahaan negara yang memegang monopoli menyerahkan pemilikannya kepada swasta, maka pihak swasta akan dapat beroperasi tanpa banyak intervensi politik, mengadakan perencanaan, dan pengeluaran tanpa menunggu keputusan instansi pemerintah. Singkat kata, demikian Panglaykim, usaha privatisasi pada umumnya bisa dilihat sebagai suatu proses yang dapat mengembalikan mekanisme pasar dan harga.

Tapi ada yang berpendapat, kalau seluruhnya diserahkan pada mekanisme pasar dan harga, malah akan menimbulkan ketimpangan dan ketegangan di sektor lain. Karena alasan itu, maka pemerintah sering merasa perlu "Mengadakan intervensi atau memberikan hak monopoli kepada usaha milik negara untuk mencegah meluasnya ketimpangan-ketimpangan itu."

Di Indonesia gambaran seperti itu terasa dekat sekali. Di hampir setiap pojok kegiatan ekonomi, baik yang bersifat setengah pelayanan umum maupun komersial penuh, pasti sudah ditongkrongi perusahaan negara. Bidang usahanya tidak hanya mengamankan kekayaan alam--seperti minyak dan batu bara--untuk dimanfaatkan secara luas, tapi juga sudah mencakup soal-soal sepele macam rumah potong hewan maupun pabrik es.

"Swasta tidak berkembang karena tidak diberi kesempatan," kata Jenderal (purnawirawan) Soemitro. Tidak aneh, kata bekas Pangkopkamtib dalam diskusi itu, karena yang melaksanakan pembangunan dan kegiatan ekonomi mayoritas adalah pemerintah. Sampai Pelita III, swasta hanya menerima pekerjaan dari pemerintah, sebagai pemilik proyek. Jadi, kalau sekarang muncul ekonomi biaya tinggi, katanya, sumbernya jelas dari pemerintah. "Penyederhanaan struktur pemerintah perlu dilakukan karena muatannya sekarang sudah tipis," tambahnya. "Pemerintah kini harus menciptakan banyak kesempatan kepada swasta."

Bisakah swasta mengambil alih peranan badan usaha milik negara (BUMN)? Di masa lalu, memang, sebagian besar swasta nasional menghadapi soal sama: lemah modal dan manajemen. Buktinya, seperti dituturkan Panglaykim mengutip majalah Far Eastern Economic Review, sebagian besar duit hingga 1982 lalu masih dikuasai bank sentral dan bank komersial. "Ini berarti pola pembiayaan di Indonesia masih didominasi atau bergantung pada dana-dana bank pemerintah," katanya.

Peranan pembiayaan bank pemerintah, yang menyalurkan kredit likuiditas bank sentral dengan bunga rendah, memang cukup besar. Hampir bisa dipastikan, sebagian besar yang kini mengalir di tubuh sektor swasta adalah dana murah dari pemerintah. Karena itu, Pang mempertanyakan apakah kelompok swasta yang menerima kredit ratusan milyar dari bank pemerintah, yang secara teoretis saham dan kekayaannya sudah dijaminkan itu, masih bisa digolongkan sebagai usaha swasta sepenuhnya. Swasta besar macam grup Indocement, yang semula disangka kukuh itu, ternyata malah gampang ditiup angin. Tahun lalu, pemerintah terpaksa masuk ke penghasil semen Tiga Roda itu dengan membeli 35 persen saham di situ seharga Rp 364 milyar.

Sejumlah bank pemerintah, secara "tanggung renteng" juga membantu operasi penyelamatan--dalam satu paket--itu dengan menyediakan kredit dalam bentuk club deal US$ 120 juta untuk menutup utang valuta asingnya, supaya perusahaan tidak lagi terpukul karena kenaikan dolar yang bisa mengakibatkan rugi kurs cukup besar. Tapi, ketika tiba giliran swasta nasional merasa cukup kuat mengambil alih sebagian saham perkebunan PT Perkebunan IV di Tor Gamba, pemerintah malah maju mundur.

Dari serangkaian peristiwa terakhir itu, tampak jelas, pemerintah boleh dibilang belum siap dengan soal swastanisasi. Usaha Jasa Marga dan Perumtel membiayai pembangunan mereka pun bahkan dilakukan dengan menerbitkan obligasi bukan dengan mengeluarkan sebagian saham pemerintah di situ. Dengan kata lain, pemerintah, untuk sementara ini, masih belum ingin ada pihak swasta masuk menambah modal, maupun ikut duduk di manajemen badan usaha milik negara. Alasannya bisa macam-macam.

Kalangan ahli sendiri juga punya pendapat cukup beragam. Dr. Sri Edi Swasono, peserta diskusi, misalnya, lebih suka jika pemerintah menciptakan iklim baik untuk menggerakkan kegiatan ekonomi daripada melakukan swastanisasi BUMN. "Yang penting sekarang bukan privatisasi, sebab baik BUMN maupun swasta sama-sama memiliki kendala," katanya. Pandangan seorang teoretikus seperti itu memang tidak keliru. Tapi iklim baik bagi pemerintah, ternyata, tidak selalu selaras dengan keinginan swasta.

Presiden Direktur Samudera Indonesia, Soedarpo Sastrosatomo, memberi contoh mengenai usaha pemerintah menyelamatkan perusahaan pelayaran Samudra Djakarta Lloyd yang merugi terus, dengan cara memberi subsidi. Sementara itu, swasta yang baik dan bisa memperoleh laba macam Gesury Lloyd tak memperoleh apa-apa. Sebagai sama-sama unit kegiatan ekonomi, pembedaan pemberian fasilitas seperti itu, tentu, menimbulkan iklim kurang enak. Susahnya, pemerintah menganggap dana yang dikuasainya harus sepenuhnya dimanfaatkan BUMN, sekalipun benar sebagian sumbernya berasal dari pajak perusahaan swasta. Seolnya tentu akan jadi lain jika kelak pihak swasta mampu menggalang dana dari masyarakat maupun sumber pembiayaan di luar negeri secara lebih baik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus