Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Singgih Januratmoko mendesak pemerintah untuk menetapkan pemasukan atau impor sumber bibit ayam atau grand parent stock (GPS) yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 5 tahun 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menilai pengaturan alokasi atau kuota impor di Kementerian Pertanian sudah tidak relevan karena tidak sejalan dengan UU Cipta Kerja. Singgih meminta pemerintah segera menata ulang kebijakan yang ada untuk menciptakan keadilan berusaha di perunggasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Untuk itu kami mendesak Kementerian Perdagangan dan Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) segera memasukkan kebijakan impor sumber bibit atau GPS ayam broiler sesuai dengan PP 5 Tahun 2021,” ujar Singgih dalam keterangan tertulis, Sabtu, 20 Maret 2021.
Peraturan Pemerintah yang baru disahkan tersebut itu mengatur mengenai perizinan berusaha berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha yang merupakan bagian dari pada undang-undang Cipta Kerja.
Beleid itu juga mengatur norma standar prosedur dan kriteria dalam sistem pengolahan perizinan yang ada pada kementerian lembaga yang kesemuanya itu adalah berbasis Online Single Submission (OSS). “Dengan sistem OSS ini semua pengelolaan ada di BKPM sesuai dengan PP tersebut,” kata Singgih.
Mengacu kepada regulasi itu, maka perihal pemasukan atau impor sumber bibit ayam yang ada sekarang harus ditarik ke BKPM yang mengatur standar OSS.
Daging ayam ras dan telur, kata dia, sudah menjadi bahan pokok penting (Bapokting) maka sepatutnya dimasukkan dalam Peraturan Presiden tentang Neraca Komoditi. “Karena Peraturan Presidennya masih dibahas di Menko maka masih ada waktu utk memasukkan tentang impor GPS tersebut,” tutur Singgih.
Selain itu, Singgih menilai dimasukkannya ayam yang disesuaikan pada PP Nomor 5 tahun 2021 dapat memberi kesempatan berusaha yang lebih adil kepada semua pihak.
Untuk menyelaraskan ketentuan tersebut, Singgih juga minta Peraturan Menteri Pertanian No 51 tahun 2011 yang tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan dan Pengeluaran Benih dan Bibit Ternak tidak dikaitkan dengan alokasi atau kuota impor sumber bibit.
“Kementan seharusnya menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja dan tidak membuat kuota yang abu-abu. Dengan adanya UU Cipta Kerja maka pengaturan alokasi impor GPS itu sekarang sudah tidak sesuai,” kata dia.
Pasalnya, kata dia, saat ini hanya beberapa perusahaan saja yang mendapat alokasi impor bibit ayam dalam jumlah besar. Sedangkan yang lain, tutur Singgih, justru diperlakukan tidak fair, dikurangi impor sumber bibitnya sehingga usahanya terhambat. “Ini kan tidak senafas dengan UU Cipta kerja."