Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Angin Segar Buat Bakrie

Total kerugian bencana lumpur Lapindo mencapai Rp 27,4 triliun. Sebagian besar ditanggung negara. Tak ada perjanjian yang mengikat Bakrie.

16 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR baik buat Bakrie berembus dari Istana Negara, Jakarta, 8 April lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari itu meneken surat keputusan terbaru tentang penanganan bencana lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur.

Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 14/2007 tentang pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo ini sekaligus mengakhiri berbagai "teka-teki" soal siapa yang akan menanggung semua beban kerugian akibat bencana di ladang pengeboran Lapindo Brantas Incorporated ini.

Dalam putusan itu telak-telak ditegaskan bahwa pemerintah turut memikul beban biaya penanganan bencana akibat muntahan lumpur panas yang kini mencapai 100 ribu meter kubik per hari itu. Disebutkan pula, biaya infrastruktur, termasuk prasarana untuk penanganan luapan lumpur, dibebankan ke APBN.

Lapindo Brantas? Memang masih ikut kebagian menanggung biaya. Tapi, perlu dicatat, yang jadi tanggungan salah satu unit usaha Grup Bakrie ini tinggal sebatas biaya sosial kemasyarakatan dan penanggulangan lumpur.

Lapindo adalah operator sekaligus pemilik konsesi 50 persen ladang minyak dan gas Blok Brantas. Sisanya 32 persen dimiliki PT Medco E&P Brantas dan 18 persen milik Santos Brantas Pty. Ltd., perusahaan minyak asal Australia. Lapindo dikendalikan oleh PT Energi Mega Persada Tbk., salah satu perusahaan energi terbesar di bawah bendera Grup Bakrie.

Isi peraturan terbaru itu jelas berbeda dengan keputusan Presiden sebelumnya, Nomor 13/2006, yang terbit pada 8 September 2006. Berdasarkan surat ini, saat itu dibentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, dengan masa kerja enam bulan.

Dalam putusan itu jelas disebutkan Lapindo harus menanggung penuh semua biaya akibat muntahan lumpur, yang semula diperkirakan Lapindo bakal menelan ongkos US$ 180 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun. Karena itu, wajar saja jika penolakan langsung terlontar dari sejumlah kalangan, ketika mengetahui dalam peraturan yang baru, sebagian besar beban justru jatuh ke tangan pemerintah.

Ketua Panitia Anggaran DPR, Emir Moeis, termasuk yang gerah dengan kebijakan itu. Menurut dia, tidak sepantasnya negara ikut memikul kesalahan yang dibuat oleh Lapindo. "Ini kan akibat ulah perusahaan, bukan bencana alam, kenapa pemerintah disuruh menanggung?" kata anggota DPR dari PDI Perjuangan ini, pekan lalu.

Buat ekonom Indonesia Bangkit, Iman Sugema, lahirnya kebijakan baru ini menandakan kemenangan bagi Grup Bakrie. "Enak sekali Bakrie," katanya. Seharusnya, konglomerasi ini dipaksa membayar semua kerugian, bukan malah ditanggung oleh negara.

Ia pun mempertanyakan kebijakan pemerintah yang terkesan mengamankan kepentingan grup bisnis ini dengan menunjuk Mayjen (Purn) Sunarso, staf ahli Menteri Koordinator Kesejahtera-an Rakyat Aburizal Bakrie, sebagai Kepala Badan Pelaksana Penanggulangan Lumpur Lapindo.

Di tengah hujan kritik pedas itu, Ketua DPR Agung Laksono justru menyatakan dukungannya. Anggota Dewan, kata kolega Aburizal di Partai Golkar ini, sudah menyetujui anggaran untuk relokasi infrastruktur dibebankan ke APBN Perubahan 2007.

Hal ini pun sudah dibicarakan DPR bersama pemerintah pada 5 Maret lalu. "Ini untuk kepentingan rakyat Jawa Timur," kata Wakil Ketua Partai Golkar ini beralasan, seusai berkonsultasi dengan Presiden di Istana Negara, Jumat lalu.

Tak bisa dimungkiri, pemerintah di satu sisi memang menghadapi situasi serba sulit. Kian meluasnya kerusakan akibat bencana lumpur mengharuskan pemerintah bergerak cepat memperbaiki keadaan di lokasi bencana.

Hingga awal Maret, saat keputusan presiden berakhir, jutaan meter kubik lumpur yang muntah dari sumur Banjar Panji-1 telah menenggelamkan kawasan permukiman seluas 200 hektare. Ribuan rumah terbenam, belasan ribu orang terpaksa mengungsi dan menganggur kehilangan pekerjaan, 20-an pabrik tutup, dan berbagai infrastruktur rusak berat.

Pemerintah pusat dan daerah pontang-panting. "Situasinya sudah menyeramkan, pemerintah tak bisa tinggal diam," kata Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Syahrial Loetan, pekan lalu. Kepala Bappenas Paskah Suzetta malah merekomendasikan agar pemerintah melakukan intervensi langsung. Sebab, ekonomi di wilayah itu boleh dibilang lumpuh total.

Dari hasil penghitungan Bappenas, total kerugian mencapai Rp 27,4 triliun. Dalam jangka panjang, jika semburan lumpur tak kunjung bisa dihentikan, kerugian malah ditaksir akan membengkak mencapai Rp 33,7 triliun.

Dari total biaya itu, pemerintah akan memikul beban Rp 3,7 triliun untuk relokasi infrastruktur. Sedangkan Lapindo, yang dianggap biang keladi luapan lumpur, hanya menanggung beban Rp 3,4 triliun, untuk ganti rugi tanah dan bangunan, serta biaya tanggap darurat.

Bakal membengkaknya nilai kerugian sebetulnya sudah disiratkan jauh-jauh hari oleh tim riset Danareksa. Dalam laporan yang dilansir pada November tahun lalu, lembaga investasi milik pemerintah ini menaksir kerugian Lapindo akan meningkat dari US$ 180 juta hingga US$ 3 miliar (sekitar Rp 27 triliun)-hampir sama dengan kalkulasi Bappenas.

Dengan beban segunung itu, banyak kalangan memperkirakan kelompok usaha ini bakal kesulitan menanggungnya. Modal Lapindo sudah minus puluhan juta dolar Amerika, setelah tersedot kebutuhan biaya penanganan lumpur dan kewajiban sosial-ekonomi kepada masyarakat.

"Biaya penanganan lumpur sudah di luar kemampuan keuangan Lapindo," kata Direktur Energi Mega, Yuli Soedargo, dalam laporan keuangan akhir 2006, yang terbit pada awal Maret lalu. Sampai 22 Januari lalu, duit yang sudah digelontorkan Lapindo bersama Santos sebesar US$ 85,9 juta (Rp 773 miliar).

Keluarga Bakrie sendiri, yang ditaksir majalah Forbes Asia memiliki kekayaan sekitar US$ 1,2 miliar (Rp 10,8 triliun), menurut seorang petinggi di kelompok usaha itu, tak bisa diandalkan sepenuhnya. "Menyiapkan duit tunai dalam waktu singkat tak gampang," ujarnya.

Itu sebabnya, tak mengherankan bila berbagai upaya dilakukan Grup Bakrie untuk memisahkan Lapindo dari Energi Mega Persada, agar tak menyeret karam kapal induknya. Kekhawatiran ini pula tampaknya yang akhirnya membuat Medco pun berusaha mati-matian menjual Medco Brantas (baca Skenario Damai di Ladang Bencana).

Yang jadi soal, sejak bencana terjadi pada akhir Mei tahun lalu, belum ada kesimpulan pasti apa penyebab bencana ini. Sebuah tim pakar independen yang disarankan banyak pihak agar segera dibentuk untuk menyelidiki kasus ini, hingga kini tak kunjung terwujud.

Pihak Lapindo tetap ngotot bahwa bencana disebabkan oleh gempa bumi di sebagian wilayah Jawa. Namun sejumlah bukti mengindikasikan telah terjadi kelalaian berupa kealpaan memasang selubung bor (casing) di kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter) saat dilakukan pengeboran. Diduga casing tidak dipasang demi penghematan biaya.

Nah, agar tak terus simpang-siur, ada baiknya pemerintah tak cuma menggelontorkan duit negara untuk menangani bencana ini, tapi juga segera menunjuk tim ahli independen untuk melakukan penyelidikan dan serius menangani kasus hukumnya "Dengan begitu, akan jelas sumber masalahnya, akibat kelalaian atau bencana alam," kata anggota Komisi Energi DPR, Wahyudin Munawir.

Jika terbukti karena faktor kelalaian, dana yang dikeluarkan pemerintah nantinya harus ditagihkan kembali ke Lapindo. Kalau mereka tak mampu melunasi, pemerintah bisa menalangi. Tapi tentu sang pemilik harus diikat dulu dengan perjanjian, seperti yang dialami para konglomerat pemilik bank ketika mendapat kucuran dana rekapitalisasi dari pemerintah.

Heri Susanto, Badriyah, Agus Supriyanto

Terbenam Lumpur Lapindo

SEPULUH bulan berlalu. Muntahan jutaan kubik lumpur panas dari ladang minyak dan gas Lapindo Brantas tak kunjung reda. Derita masyarakat di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur, sungguh tak terperi. Ribuan rumah terendam, puluhan pabrik terbenam, jalan dan infrastruktur lain ambrol. Nahasnya, ribuan petani kini tak bisa lagi mengecap manisnya hasil panen seperti di masa lalu. Menurut kalkulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), total kerugian hingga Maret lalu mencapai Rp 27,4 triliun. Melihat luasnya tingkat kerusakan, besar kemungkinan nilai kerugian akan terus membengkak.

HS

Kerugian dalam Berbagai Versi

Lapindo Brantas Inc. (taksiran Oktober 2006)US$ 180 juta (Rp 1,6 triliun)

UBS AG (taksiran 28 November 2006)US$ 750 juta (Rp 6,7 triliun)

Danareksa (taksiran 10 November 2006)US$ 180 juta-3 miliar (Rp 1,6-27 triliun)

Bappenas (taksiran 10 April 2007)*Rp 27,4 triliun

Greenomics Rp 33,3 triliun

Taksiran Bappenas

Biaya relokasi infrastruktur:Rp 3,7 triliun

Semua infrastruktur yang terkena dampak langsung atau memiliki risiko terkena dampak lanjutan semburan lumpur perlu direlokasi, seperti jalan tol, jalan nasional, rel kereta api, pipa air minum, jaringan listrik, telekomunikasi, dan pipa gas.

Kerusakan/kerugian langsung:Rp 7,3 triliun

Perumahan: Rp 2,1 triliun

Kerusakan pada 10.426 unit rumah hingga 5 Maret 2007. Memperhitungkan ganti rugi lahan Rp 1 juta per meter persegi dan bangunan Rp 1,5 juta per meter persegi.

Infrastruktur publik: Rp 3,7 triliun

Kerusakan pada sarana dan prasarana perhubungan darat, seperti jalan umum dan jalan tol, jembatan, rel kereta api, infrastruktur energi, telekomunikasi, air dan sanitasi, serta pengairan dan irigasi.

Aset-aset produktif: Rp 1,5 triliun

Kerusakan pada aset-aset produktif seperti pertanian, industri, prasarana dan sarana sosial (bangunan sekolah umum, pendidikan agama, dan peribadatan).

Potensi kerugian ekonomi:Rp 16,4 triliun

Lonjakan biaya transportasi: Rp 1,35 triliun

Terjadi akibat kemacetan dan tertutupnya jalan tol Porong-Sidoarjo oleh lumpur Lapindo.

Perusahaan kehilangan pendapatan: Rp 29 miliar

Perusahaan pelayan jasa infrastruktur, seperti pengelola jalan tol PT Jasa Marga dan PT KAI.

Pekerja kehilangan pendapatan: Rp 26 miliar

Pekerjaan lenyap akibat 20 pabrik ditutup dan investasi dibatalkan.

Petani gagal panen: Rp 15 triliun

Berdasarkan perhitungan Dewan Tani Indonesia. Potensi kerugian akibat gagal panen dan hilangnya kesempatan panen 2-3 kali setahun pada areal persawahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus