Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Aku Jeremiah”—Kurt Vonnegut Jr.
Tak setiap negeri membutuhkan Jeremiah. Tapi kalaupun harus ada nabi seperti itu—yang memperingat-kan manusia bahwa Tuhan marah dan kiamat bakal segera datang—orang akan perlu satu hal lain: momen untuk ketawa.
Kurt Vonnegut Jr. memenuhi kedua keperluan itu sekaligus di Amerika kini—tapi ia meninggal 11 April pekan lalu di Manhattan, New York. So it goes….
Usianya 84. Penulis novel Slaughterhouse-Five itu, yang tak putus-putusnya mengisap rokok Pall Mall selama lebih dari 70 tahun, sudah siap mati, tapi ia pergi terlalu cepat. Seandainya ia hidup terus, kata-katanya yang mencemooh akan terus melubangi ruang kedap suara yang dibangun pemerintah Bush & Cheney, sebuah bangunan yang akhirnya hanya terdiri atas dusta & paranoia, ambisi & myopia. Di ruang sesak itu, dibutuhkan celah yang membiarkan masuk suara ragu, suara lucu.
”Aku Jeremiah,” katanya dalam wawancara dengan Douglas Brinkley di majalah The Rolling Stone. Tapi ia tak bicara tentang Tuhan. ”Aku bicara tentang kita yang sedang membunuh planet… dengan bensin.”
Lalu diutarakannya pesimisme yang kita kenal itu: bumi akan punah akibat karbon dioksida.
Dan Vonnegut bisa ekstrem. Ketika ditanya pendapatnya tentang gerakan pembela lingkungan yang kini kian keras terdengar, setelah orang menonton film dokumenter An Inconvenient Truth, sang Jeremiah menjawab, ”Tak ada yang bisa mereka lakukan. Permainan sudah habis, Bung. Kita kalah.”
”Kita-kalah”—itu juga tema yang di abad ke-6 sebelum Masehi disuarakan Jeremiah yang asli menjelang Yerusa-lem jatuh ke tangan Raja Nebuchadnezar dari Babilonia. Bagi Jeremiah, bangsanya, Bani Israel, tak punya harapan lagi. Tak urung ia dianggap khianat dan ditahan pemerintah Zedekiah. Tapi sang nabi benar. Nebuchadnezar menduduki Yerusalem, Kenisah Sulaiman dihancurkan, dan bangsa Yahudi dibuang. Konon Jeremiah kemudian diculik ke Mesir dan dibunuh kaumnya sendiri.
”Aku Jeremiah,” kata Vonnegut, meskipun ia tak disingkirkan. Hanya di awal tahun 1970-an, Slaughterhouse-Five dilarang di beberapa sekolah dan di sebuah kota di Dakota Utara novel itu dibakar.
Tapi tindakan itu sudah cukup jadi cacat yang serius di negeri yang konstitusinya menjaga kebebasan bersuara. Tampaknya, Amerika yang dibanggakan si Kurt kecil dulu telah hilang. Dan makin hilang. Setahun setelah AS menyerbu Irak, kata-kata Vonnegut brutal: ”Aku tahu sekarang, tak ada satu kemungkinan di neraka sekalipun Amerika akan jadi manusiawi dan memakai nalar.” Baginya para pemimpin Amerika seperti ”simpanse yang mabuk kuasa”.
Prosanya memang punya gaya tembak-langsung. Kata-kata yang dipilihnya terasa diulang dari amarah lama. Tapi Vonnegut memang tak punya pretensi membawa sastra yang ”tinggi”. Dalam wawancaranya yang terbit dalam Paris Review di musim semi 1977, ia anggap dirinya ”penuh berisi vulgaritas”; itu sebabnya ia dulu menulis buat majalah macam Cosmopolitan dan Saturday Evening Post.
Agaknya ia akan geli jika harus berbicara khidmat tentang proses kreatif. Ia lihat dirinya sendiri seorang ”teknokrat” yang ”barbar”. Ia memperlakukan cerita seperti mobil Ford: bisa dikotak-katik. Tujuannya: memberi kenikmatan kepada pembaca.
Dengan kata lain, Jeremiah Amerika ini ingin juga menghibur. Di masa tuanya ia merasa tak mampu melucu lagi, tapi ”yang sepenuhnya saya inginkan adalah mem-buat orang merasakan lega karena ketawa”. Humor seperti tablet aspirin, kata Vonnegut. Dan seperti Mark Twain yang dikaguminya, ia tangkas membagikan obat itu. Kata-katanya bisa cerdas, mencemooh, jenaka.
Cerita Harrison Bergeron, misalnya, dimulai dengan kalimat: ”Tahun itu 2081, dan tiap orang akhirnya setara sama rata. Mereka tak hanya setara di depan Tuhan dan hukum. Mereka setara dalam segala hal. Tak ada yang lebih pintar ketimbang yang lain. Tak ada yang lebih rupawan ketimbang yang lain….”
Kisah ini bisa seperti novel 1984 Orwell. Salah satu tokohnya, George, hidup dengan kuping yang dipasangi radio kecil. Pesawat ini dihubungkan dengan stasiun pemerintah yang tiap 20 detik mengirim suara untuk mengingatkan George agar tak menggunakan kecerdasannya yang lebih buat menang atas orang lain.
Cerita yang suram, tapi membuat kita terbahak-bahak, setidaknya ketika kita menemukan ada kantor yang bernama ”United Stated Handicapper General” alias ”Kantor Negara untuk Pengelolaan Perbedaan Kemampuan” yang para agennya selalu waspada mengawasi para warga.
Dengan kombinasi geli-dan-ngeri ini, hidup tergambar absurd—mungkin sebuah parodi atas masyarakat Amerika yang memuja kesetaraan tapi menyangka kesetaraan sama artinya dengan mediocrity. Sebab itu, orang seperti Bush, sibakat-kodian, tauladan mediocrity, dapat naik ke Ge-dung Putih. ”Jika kau orang yang terdidik dan berpikir, kau tak akan diterima di Washington, DC,” tulis Vonnegut da-lam A Man Without a Country: A Memoir of Life in George W. Bush’s America.
Tapi benarkah hidup akan mengikuti ramalan mendiang Jeremiah dari zaman Bush dan bumi-yang-memanas ini? Apa yang jadi penawar agar hidup layak dipertahankan? Vonnegut sendiri, pada umur lanjut, menjawab: ia menunggu janji pabrik rokok. Sejak dulu, Brown & Williamson Tobacco Company yang menghasilkan Pall Mall ”sudah berjanji akan membunuh saya”.
Humornya gelap di kalimat itu, tapi itu tanda bahwa Maut bukan satu-satunya penebus. Vonnegut masih memberi kita aspirin. Ia juga masih punya penawar lain: musik, terutama blues, ”satu-satunya bukti bahwa Tuhan ada”. Dengan kata lain: perlawanan kecil-kecilan terhadap apokalipse yang mendekat….
Kalau tidak, masih ada fantasi tentang planet Tralfamadore, yang menolong Billy Pilgrim di tengah ganas dan sia-sianya penghancuran Kota Dresden dalam Slaughterhouse-Five. Tralfamadore: alternatif bagi dunia para nabi yang bermuram durja.
Sebab Jeremiah toh tak melihat semuanya.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo