MENGAPA belakangan ini buruh terlihat makin "militan"? Selain
latar belakang pendidikan mereka yang lebih baik pendidikan
perburuhan yang diberikan pada mereka rupanya berperan juga
dalam menyadarkan buruh pada hak-haknya.
Pendidikan perburuhan di Indonesia diselenggarakan beberapa
pihak: Pemerintah serta Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI)
dan AAFLI (Asian-American Free Labour Institute) bekerjasama
dengan FBSI.
Jumlah yang dididik belum begitu banyak, namun hasilnya tampak
lumayan. Pendidikan perburuhan yang diselenggarakan
Depnakertrans meliputi para buruh, pengusaha dan pejabat
pemerintah, dan sejak 1974 telah mendidik sekitar 20 ribu orang.
Sebelum itu, antara 1969-1974, suatu yayasan dari Jerman Barat
Friedrich Ebert Stiftung (FES) langsung memberikan pendidikan
pada tiga ribuan buruh. Sejak 1974, pendidikan itu
diselenggarakan YTKI bekerjasama dengan FES yang pada 1976
membentuk Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia (PPSM). Sampai
1980 YTKI telah menyelenggarakan pendidikan pada sekitar lima
ribu buruh.
Yang diselenggarakan YTKI bukan pendidikan perburuhan, tapi
pendidikan perserikatburuhan. Selain itu lemaa ini juga
menyelenggarakan non trade-union education mengenai
ketenagakerjaan pada pemuda, petani, wanita, nelayan, wartawan
serta koperasi.
"Pada tingkat pertama -- sampai 1976 -- pendidikan buruh ini
diarahkan pada konsolidasi FBSI," kata H.A. Gani Samil, 60
tahun, Direktur PPSM. Konsolidasi ini dianggap perlu, mengingat
sejarah kelahiran FBSI yang merupakan fusi dari berbagai
organisasi buruh. "Dengan pendidikan itu kami mencoba menyatukan
sikap dari unsur-unsur yang berfusi," ujar Samil.
Antara 1976-1978 diadakan program kilat untuk membina kader.
Antara 1978-1980 konsentrasi pendidikan diarahkan untuk membina
pemimpin serikat buruh di tingkat perusahaan dan juga membina
jururunding. "Supaya mereka mampu bicara setaraf dengan pimpinan
perusahaan untuk menentukan nasib buruh," kata Samil. Di atas
semua itu, dalam pendidikan itu, ditanamkan nilai-nilai Hubungan
Perburuhan Pancasila.
Namun di waktu mendatang PPSM akan mengarahkan pendidikan yang
diselenggarakannya pada pendidikan perburuhan, bukan hanya
perserikatburuhan. "Agar buruh nanti juga mengenal kewajiban
nasional dan sosialnya," kata seorang pimpinan PPSM.
Saat ini di PPSM ada lima tingkat pendidikan: tingkat dasar,
lanjutan, pendidik, perunding dan manajemen serikat buruh.
Kurikulum untuk masing-masing tingkat berbeda. Pada tingkat
dasar misalnya, meliputi antara lain Perserikatburuhan, HPP,
Kondisi kerja dan Hukum Perburuhan, Perjanjian Kerja Bersama dan
Penyelesaian sengketa perburuhan.
Di samping pendidikan selama 10 hari yang diselenggarakan di
beberapa kota di Indonesia, PPSM menyelenggarakan juga semacam
diskusi akhir pekan yang berlangsung sehari bagi para aktivis
buruh. Biaya pendidikan yang dikeluarkan PPSM sekitar Rp 260
juta setahun dari keseluruhan anggaran mereka yang Rp 550 juta.
Para buruh umumnya menganggap pendidikan tersebut bermanfaat.
Namun banyak juga kritik. "Pendidikan itu baru terasa manfaatnya
untuk mereka yang ikut dan belum bisa dikembangkan untuk anggota
yang lain," kata Soepono, staf Sekretariat PP SBPAR (Pariwisata)
yang telah beberapa kali mengikuti pendidikan perburuhan.
Menurut Soepono, banyak pimpinan SB yang telah mendapat
pendidikan namun tak sempat melakukan pembinaan pada anggota
basisnya karena kesibukannya sebagai buruh.
Soal peserta pendidikan? Ook Moedjoko, Wakil Ketua SB-PAR DKI
Jaya menyesalkan pihak penyelenggara pendidikan yang dianggapnya
kurang teliti menyeleksi peserta, sekalipun itu dilakukan atas
nama organisasi. "Karena kurang tenaga, yang dikirim biasanya
yang ituitu saja," katanya. Diusulkannya agar diselenggarakan
juga semacam kursus malarn agar tidak mengganggu kerja para
peserta.
Gani Samil sendiri mengakui adanya kelemahan itu. Antara lain
penggunaan pendidikan buruh tersebut guna mencari massa. Para
peserta pendidikan itu adalah mereka yang mendapat rekomendasi
dari FBSI, sedang FBSI walau merupakan fusi namun unsur asal
tampaknya masih tidak dilupakan. Hingga masih ada unsur suka dan
tidak suka dalam pemilihan peserta kursus. "Tapi ini hanya
sementara saja," kata Samil optimistis.
Alasan Samil: kini muncul generasi buruh baru dengan pemimpin
yang berusia sekitar 30 tahunan di tingkat basis dan mereka
tidak pernah mengalami keadaan sebelum 1965 yang terkotak-kotak.
Akibatnya timbul jurang kepemimpinan dan kepercayaan antara
pemimpin buruh di tingkat pusat dan daerah, yang merupakan
generasi "tua" dengan para pemimpin muda di tingkat basis.
Hingga di samping membuat melek buruh, pendidikan perburuhan
yang melahirkan pemimpin buruh baru tampaknya akan mempengaruhi
susunan FBSI kelak. Pada saat ini saja telah tampak adanya
semacam persaingan antara FBSI Pusat dan Daerah dengan SBLP
(Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan) yang merupakan anak
organisasinya.
Misalnya beberapa pengurus pusat SBLP menganggap DPP FBSI
menyelonong dan melangkahi kewenangan mereka dengan meresmikan
pembentukan Pengurus Daerah SBLP tanpa sepengetahuan Pengurus
Pusat. "Padahal yang punya buruh itu kan sebetulnya SBLP. Kalau
tak ada SBLP tidak mungkin ada FSI," kata seorang aktivis
buruh.
Saat ini FBSI mempunyai 276 cabang meliputi 21 SBLP dengan 9731
basis. Tampaknya FBSI masih perlu membenahi mekanisme
organisasinya lebih dahulu kalau tidak ingin memperlebar jurang
antara pimpinan pusat dan daerah dengan pimpinan basis. Sebab
tanpa persatuan kuat di antara buruh sendiri, bagaimana mereka
bisa membela dan meningkatkan nasib mereksendiri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini