HAWA sejuk hari Sabtu itu tak terasa di Balai Banjar Penatahan,
Kabupaten Bangli, Bali. Di situ hadir sebagian peserta
Konperensi Internasional Keluarga Berencana Tahun 80-an. Tampak
kaum ibu sibuk menjahit, menganyam atau menimbang bayi. Semua
kegiatan itu berlangsung santai, sambil mereka membahas soal
keluarga berencana bersama para penyuluh KB setempat. Di Bali
kegiatan itu disebut sistem Banjar.
"Saya sungguh heran dan baru pertama kali melihat cara seperti
ini," kata Y. Gwayambadde dari Uganda. Ketua Departemen
Pelayanan Sosial, Universitas Makarere di Kampala itu semula
menduga bahwa kegiatan KB hanya layak dilaksanakan di klinik
saja. "Saya kagum melihat cara ini," katanya. "Mudah-mudahan
bisa saya menerapkan di negeri saya."
Selain Banjar Penatahan, juga Banjar Blumbang di kabupaten yang
sama dikunjungi rombongan. Konperensi mereka berlangsung di
Jakarta pekan lalu. Lebih 150 peserta yang mewakili lebih 90
negara membahas masalah KB.
"Keberhasilan pelaksanaan program Ks, menjadi kunci keselamatan
dunia di masa mendatang," tandas Presiden Soeharto dalam
pembukaan konperensi itu di Istana Negara. "Karena itu langkah
nyata yang makin terpadu harus dilaksanakan secara
internasional."
Pertambahan penduduk tampak merupakan keprihatinan sedunia.
Dirasakan kurang bermanfaat kalau per-KB-an hanya diusahakan
satu negara saja sedang yang lain tidak. Karena itu perlu ada
inventarisasi tingkat perkembangan program KB sedunia.
Konperensi semacam itu terakhir di Bukarest, tahun 1974.
Menurut laporan UNFPA (United Nations Fund for Population
Activities atau Dana Kegiatan Kependudukan PBB, tahun 1980 yang
diperhatikan konperensi Jakarta itu, laju pertumbuhan sudah
mereda hingga di bawah 2% setahun. Namun tahun 2000 penduduk
dunia -- kini 4,5 milyar -- masih akan bertambah dengan dua
milyar lagi. "Lebih sembilan puluh persen dari pertambahan ini
terjadi di negara berkembang," tulis Rafael M. Salas, Direktur
UNFPA.
Laporan itu memproyeksikan 59% penduduk dunia tahun 2000 itu
berada di Asia, 11% di Afrika, 13% di Amerika Latin dan hanya
17% di negara industri maju. Padahal sumber-daya dunia tidak
terbagi menurut rasio yang sama. "Mungkin sekali jumlah kaum
miskin bakal bertambah dan kesengsaraan semakin menjadi, kecuali
segera diambil tindakan . "
Tak mungkin ada kenaikan tingkat hidup yang berarti jika laju
pertambahan GNP (Produk Bruto Nasional) sebesar 34%, misalnya,
lenyap oleh laju pertambahan penduduk yang sama besarnya.
Seperti dialami Mesir ketika membangun bendungan raksasa Aswan.
Maka tepat sekali berkata Presiden Soeharto, "Laju pertambahan
penduduk jangan sampai melampaui pertumbuhan pembangunan
bangsa."
Dari program KB Indonesia, memang ada penurunan fertilitas.
Seperti pernah dikemukakan Menteri Kesehatan dan Ketua BKKBN Dr.
Suwardjono Suryaningrat, dari posisi di dekade 60-an sebesar 41
per 1000 penduduk, tingkat kelahiran menjadi 34-36 per 1000 di
dekade 70-an. Tidak seluruhnya hasil KB. Kecenderungan usia
kawin meningkat akibat adanya UU Perkawinan dan perbaikan
kesejahteraan ikut menurunkan tingkat kelahiran.
Pelayanan dan penyediaan fasilitas KB jadi masalah utama yang
dibahas konperensi itu. "Masalah KB secara internasional bukan
lagi bahan perdebatan," kata Dr. Fred T. Sai dari Ghana yang
mengetuai konperensi itu. "Yang diperdebatkan ialah cara
melaksanakannya, cara memperoleh dana dan bagaimana sikap kita
terhadap mereka yang membutuhkan keluarga berencana."
Dr. Sai juga memimpin World Hunger Program (Program Kelaparan
Sedunia) dari Universitas PBB. Ia mengatakan setiap program KB
harus melibatkan masyarakat secara aktif. Agaknya ini ditemukan
dalam program KB Indonesia. Seperti dikemukakan Ketua Steerin
Committee, Dr. George F. Brown darl I he Population Council
(Dewan Kependudukan), "Yang paling mengesankan ialah bahwa
program KB di Indonesia memasuki kehidupan banyak orang
Indonesia dan menjadi bagian dari struktur sosial."
Soetjipto Wirosardjono, Wakil Kepala Biro Pusat Statistik yang
juga Ketua Umum AKBI (Asosiasi Keluarga Berencana Indonesia)
mengatakan jumlah uang per kapita 20 - 30 sen dollar AS yang
tersedia untuk program KB di Indonesia tergolong tinggi,
walaupun tidak tertinggi. Tapi menurut Soetjipto, ada negara
yang bekerja dengan budget kecil tapi hasilnya menonjol.
Thailand, misalnya, punya anggaran per kapita untuk program KB
antara 15 dan 20 sen dollar AS, tapi negeri berpenduduk 46 juta
itu berhasil menurunkan angka kelahiran dengan 16,5%. "Itu kalau
mereka jujur menyatakan angkanya," ujar Soetjipto.
Manfaat konperensi itu bagi Indonesia? "Terus terang tidak
banyak hal baru," jawab Soetjipto sambil membalik-balik halaman
keputusan konperensi yang dinamakan Jakarta Statement. Tapi ia
mengaku Indonesia bisa belajar dan menilai posisinya dalam
perspektif global. Seperti dikemukakan Dr. Suwardjono dalam kata
perpisahannya, "Bangsa Indonesia menjadi lebih sadar dan
mengerti tentang problem kependudukan dan kami, pelaksana
program itu, memperoleh gagasan baru untuk menanggulanginya."
Seusai konperensi itu, sebagian besar resertanya meninjau
pelaksanaan program KB di beberapa daerah Indonesia. Termasuk
Bali yang disebut tadi. Guillermo Lopez-Escobar dari Columbia,
Amerika Selatan, dapat ide dari Lemujut, Sidoarjo (Jawa Timur).
"Saya lihat di situ program KB dikaitkan dengan arisan," ujarnya
kepada TEMPO "Ini akan saya bawa pulang untuk dicoba di
Columbia."
Angka pertumbuhan 2,34% di Indonesia, yang awal tahun ini pernah
mengejutkan banyak birokrat, tak jadi bahan pergunjingan para
peserta asing itu. "Keberhasilan total memang masih perlu
waktu," ujar Datin Nor Laily Aziz. "Saya sudah mengunjungi
banyak negara, tapi di Indonesia sistem KB-nya memang
sistematis," kata Direktur Jenderal Dewan Nasional Keluarga
Berencana di Malaysia itu lagi. Ia terkesan oleh suasana
disiplin dalam pelaksanaan program KB di Ja-Tim melalui
organisasi PKK.
Shankar Shah dari Nepal, tidak begitu antusias, "Di negara kami
juga digunakan sistem pendekatan masyarakat seperti ini,"
tuturnya. Tokoh utama Asosiasi Keluarga Berencana di Kathmandu
itu konon sudah memakai segala cara, mendekati tokoh masyarakat,
tokoh agama dan media masa. "Soalnya pelayanan petugas kurang
baik," ujarnya. Pertumbuhan penduduk di Nepal masih bertahan
2,7% -- pertanda program KB-nya kurang berhasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini