Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRANSAKSI jual-beli online melalui platform e-commerce atau toko online semakin berkembang pesat di Indonesia. Kehadiran platform, seperti TikTok Shop dan Shopee, memungkinkan adanya barang impor cross border yang dikirim langsung dari luar negeri dengan harga lebih murah. Di sisi lain, praktik perdagangan cross border justru meresahkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) domestik. Lantas, apa yang dimaksud dengan barang impor cross border? Apa saja dampaknya bagi pelaku UMKM di Indonesia?
Pengertian Cross Border
Praktik perdagangan lintas batas atau cross border trading adalah masuknya barang impor ke dalam wilayah suatu negara tanpa melewati proses pemeriksaan pabean. Barang impor cross border umumnya dipesan melalui platform e-commerce, lalu dikirimkan secara langsung ke konsumen oleh penjual dari luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjualan barang secara cross border mengemuka sejak masa pandemi Covid-19. Kala itu, barang impor yang dipasarkan di e-commerce masuk deras ke dalam negeri tanpa adanya kontribusi terhadap penerimaan negara. Pada waktu itu, sejumlah platform e-commerce menyediakan layanan perdagangan lintas batas langsung dengan harga yang lebih murah dari penjual asal Cina kepada konsumen di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, pada 2021, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah secara resmi memutuskan untuk melarang 13 produk cross border masuk ke Indonesia. Tujuannya untuk melindungi produk-produk hasil karya pelaku UMKM dalam negeri dari persaingan produk asing.
Ilustrasi pengguna aplikasi toko online di Depok, Jawa Barat. Dok. TEMPO/STR/Nurdiansah
Setelah adanya kebijakan tersebut, salah satu platform e-commerce, Shopee, menutup akses penjualan terhadap 13 produk cross border yang terlarang itu. Dengan melarang produk-produk ini, pemerintah berusaha memberikan perlindungan kepada UMKM dalam negeri agar dapat bersaing lebih baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Adapun 13 produk yang dilarang mencakup berbagai jenis pakaian muslim, seperti hijab, atasan dan bawahan wanita maupun pria, dress, outer wear, serta mukena. Larangan juga mencakup pakaian muslim anak, aksesori pakaian muslim, peralatan salat, serta pakaian tradisional, seperti batik dan kebaya.
Namun belakangan kabar cross border trading kembali menyeruak seiring dengan munculnya Project S TikTok Shop. Pemerintah dan pelaku UMKM sempat menyoroti rencana implementasi Project S TikTok Shop. Pasalnya, proyek itu diduga dimanfaatkan perusahaan media sosial asal Cina tersebut untuk mengumpulkan data pengguna dan menghasilkan produk-produk yang laris di suatu negara, termasuk Indonesia, untuk kemudian diproduksi di Tiongkok.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki bahkan menyatakan kehadiran layanan tersebut bisa mengancam produk UMKM dalam negeri. Sementara itu, perwakilan TikTok Shop menegaskan bahwa tidak akan membuka layanan bisnis cross border melalui Project S TikTok Shop di Indonesia demi keberlangsungan UMKM.
Dampak Barang Impor Cross Border
Bagi UMKM Indonesia, fenomena ini memiliki dampak yang kompleks. Di satu sisi, cross border trading memberikan akses ke pasar global yang lebih luas. Namun, di sisi lain, UMKM dihadapkan pada persaingan yang lebih ketat. Berikut ini sejumlah dampak yang ditimbulkan dari adanya barang impor cross border.
1. Akses ke Pasar Global yang Lebih Luas
Barang impor cross border memberikan kesempatan bagi UMKM Indonesia untuk menjual produknya secara internasional. Dengan menggunakan platform perdagangan digital, UMKM dapat dengan mudah menjangkau konsumen di berbagai negara tanpa harus memiliki kehadiran fisik di luar negeri.
2. Menguntungkan Pedagang Asing
Praktik perdagangan cross border dinilai hanya menguntungkan pedagang asing. Hal itu disebabkan mereka menjajakan produk dengan harga yang sangat murah. Selain itu, perdagangan cross border mengincar pasar potensial di Indonesia sehingga persaingan dengan UMKM semakin ketat.
Gudang penyimpanan barang toko online di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan
3. Tidak Ada Kontribusi terhadap Penerimaan Negara
Barang impor yang dibeli melalui transaksi pembelian barang lintas batas atau cross border nilainya lebih kecil dibanding barang impor pada umumnya. Dengan demikian, perdagangan cross border dapat terbebas dari bea masuk impor. Hal itu tentu berbeda dengan praktik impor yang lazim dilakukan pedagang lokal. Pedagang lokal mengimpor barang dalam jumlah besar melalui prosedur bea-cukai dan penjualnya pun berasal dari Indonesia, sehingga berkontribusi terhadap penerimaan negara melalui pemenuhan ketentuan perpajakan.
4. Produk Lokal Kalah Saing
Adanya perdagangan lintas batas disebut bakal merugikan pelaku UMKM, mengingat daya saing produk UMKM Indonesia dengan negara lain, khususnya Cina, relatif rendah. Barang impor cross border dijual dengan harga yang lebih murah sehingga masyarakat memilih berbelanja lintas batas dibanding membeli lewat UMKM. Hal tersebut memberi dampak negatif untuk UMKM di Indonesia yang saat ini masing sangat membutuhkan pendampingan, penguatan, dan perlindungan dari serbuan produk impor.
RIZKI DEWI A.