KASAK-kusuk tentang megaproyek alias proyek besar kembali mencuat ke permukaan. Pemicunya adalah pernyataan Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo pekan lalu. Ia menyatakan bahwa departemen yang dipimpinnya tengah meneliti beberapa megaproyek yang sempat tertunda. Tepatnya, Departemen Perindustrian tengah melakukan semacam kaji ulang untuk menetapkan proyek mana yang layak diteruskan dan mana yang tidak. Selain itu, menurut Tunky, pihaknya akan berupaya mempercepat beberapa proyek yang dianggap penting. Caranya, meniru Prajogo Pangestu dengan jurus mem-PMA-kan proyek. Langkah ini diperkirakan layak, terutama kalau mengingat banyaknya devisa yang bisa dihemat kelak. Seperti diketahui, selain olefin, departemen pimpinan Tunky juga membawahkan proyek Aromatic Center yang dijadwalkan Tim PKLN pada tahun 1996. Ini proyek senilai 1,24 miliar dolar yang akan dibangun di Arun, Aceh. Jika proyek aromatic (yang menghasilkan purified tehapthalic acid yang antara lain merupakan bahan baku pembuat kain dan benang ban) jadi berdiri, maka devisa yang bisa dihemat tak kurang dari 500 juta dolar per tahun. Bahkan salah seorang direksi Pertamina pernah mengungkapkan, tiap tahun selama tiga tahun pertama berdiri, industri ini bisa surplus sekitar dua juta dolar. Dan pada tahun keempat dipastikan akan melaba tak kurang dari 50 juta dolar. Laba sebesar itu akan tercapai jika industri tersebut bekerja penuh mengolah 90 ribu barel kondensat setiap hari. Itulah sebabnya Tunky cenderung melanjutkan proyek aromatic ini. ''Soalnya, bahan bakunya (berupa minyak dan gas) kita sudah punya,'' katanya. Yang belum jelas, siapakah pihak swasta yang akan tampil sebagai investor. Dulu Humpuss pernah berminat, begitu pula Risjad Salim(Branta Mulia), Astra, dan Grup Bakrie. Belakangan Humpuss kembali mendaftar, tapi kembali mundur lantaran Pertamina hanya mampu memasok kondensat 45 ribu barel sehari atau hanya separuh dari yang dibutuhkan. Jelas, tak menguntungkan. Sementara belum ada kepastian apa-apa, sebuah proyek mega lainnya, yang dijadwalkan April 1994, kini tengah membuat ancang-ancang. Dia adalah proyek perluasan pengilangan minyak Cilacap, yang diperkirakan akan menyedot investasi sebesar 650 juta dolar. Kalau tak ada aral melintang, pekan ini pemerintah Indonesia akan meneken pinjaman sebesar 18,6 juta dolar dari Citibank AS. Utang berjangka lima tahun dengan bunga 0,3% di atas LIBOR itu hanya diperuntukkan bagi pendanaan awal. Tepatnya, dana itu akan digunakan untuk membiayai jasa rekayasa (engineering services) yang diselenggarakan oleh Fluor Daniel Inc., kontraktor AS yang berpengalaman membangun pengilangan Cilacap I (1976) dan Cilacap II (1983). ''Jadi, tahun depan kami bisa langsung menjalankan proyek ini karena persiapan engineering-nya sudah selesai,'' kata Bambang Wiranto, Kepala Bagian Pendanaan Proyek Partamina itu. Setelah selesai dibangun, daya kilang Cilacap I akan naik dari 100 ribu barel menjadi 117 ribu barel per hari. Sedangkan Cilacap II, selain kapasitas mengilangnya naik dari 31 ribu barel menjadi 231 ribu barel per hari, juga akan mampu mengolah 15 jenis minyak mentah Indonesia (selama ini hanya mampu mengilang tiga jenis). Garuda Indonesia yang flag-carrier itu kini berancang-ancang pula memesan pesawat baru. Tapi megaproyek lainnya yang terkena penjadwalan kembali belum ada yang diubah atau dipercepat. Hal itu telah ditegaskan kembali oleh Menko Industri dan Perdagangan Ir. Hartarto pekan lalu. Budi Kusumah, Bambang Harymurti, dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini