Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Taspen milik siapa?

Sebesar rp 5 triliun dari kekayaan pt taspen ternyata merupakan titipan pemerintah. dan di sini pegawai negeri ternyata tak punya hak suara.

24 Juli 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COBA bayangkan uang sebanyak Rp 7,48 triliun. Kalau ditumpuk dalam lembar pecahan Rp 50.000 dengan ketebalan rata-rata satu milimeter, tumpukannya akan menggapai langit berkilo-kilometer tingginya. Dan itulah kekayaan PT Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) per 30 Juni 1993, sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad di DPR pekan lalu. Tapi, dari dana sebesar itu, ada sekitar Rp 5 triliun yang dititipkan Pemerintah untuk dikelola BUMN ini. Dalam kata lain, baru sekitar Rp 2 triliun yang bisa dikumpulkan Taspen dari iuran pegawai negeri selama puluhan tahun. Lalu, diapakan dana sebanyak itu? Menurut Menteri Keuangan, dana Rp 7,48 triliun tadi kini tertanam 51% dalam sertifikat Bank Indonesia, 18% dalam obligasi, 12% dalam deposito berjangka, 6% dalam saham-saham, dan yang menarik perhatian 13% diinvestasikan langsung pada belasan perusahaan swasta. Dalam penilaian Mar'ie, keuangan Taspen cukup baik. Hal ini tercermin dari laba perusahaan, yakni: Rp 73,23 miliar pada tahun 1990, Rp 101,2 miliar pada tahun 1991 (audit BPKP), dan Rp 75,54 miliar pada tahun 1991 (belum diaudit). Bandingkan dengan lima bank pemerintah terbesar, yang mempunyai aktiva sekitar Rp 20 triliun tapi labanya cuma Rp 100 miliar. Memang Taspen sedikit lebih aman karena tidak mengucurkan kredit yang sewaktu-waktu bisa macet. Namun, BUMN itu tetap menghadang risiko karena menyertakan modalnya ke swasta dan koperasi. Dalam investasi langsung itu, bekas Dirut Taspen, Ida Bagus Putu Sarga, tampak lebih berani dari pendahulunya, R.S. Rahardjo, yang dipensiunkan tahun 1987. Rahardjo mengelola dana Taspen, yang waktu itu baru Rp 600 miliar, dengan menanamkan sebagian besar kekayaan ke dalam deposito bank pemerintah. Sementara itu, investasi langsung, antara lain di gedung PT Arthaloka, ternyata bermasalah. Juga, investasi langsung yang dilakukan Direktur Keuangan Taspen, Anas Nawawi, dengan Wong Tjan Tjung alias Chan Ratulangi lewat PT Puri Asih Sejahtera di bisnis pembangunan rumah sederhana, ternyata gagal. Kedua orang itu dituntut ke pengadilan, sementara Taspen dirugikan sekitar Rp 3 miliar. Dengan latar sejarah seperti itu, PT Taspen,sebagaimana dijabarkan Kepala Bagian Sekretariat Nur Ali Indra, telah melalui proses yang cukup panjang. Persero ini didirikan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1963 dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada saat berdiri, statusnya adalah perusahaan negara (PN). Dengan UU No. 9/1969, Taspen naik peringkat menjadi perusahaan umum (perum). ''Perkembangan tugas-tugas yang diberikan menyebabkan Perum Taspen ditinjau kembali menjadi PT Taspen (persero),'' tulis Nur Ali Indra. Perubahan itu terjadi 4 Januari 1982, akibat PP No. 25 dan No. 26 tahun 1981. PP 25 menggariskan falsafah usaha tentang asuransi sosial pegawai negeri sipil, sedangkan PP 26 menetapkan pengalihan bentuk Perum Taspen menjadi persero. Selain itu, misinya dirumuskan dalam enam butir. Tiga butir pertama melandasi tindak-tanduk Taspen. Pertama, meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil. Kedua, melaksanakan program Pemerintah di bidang asuransi sosial. Dan ketiga, mengelola dana melalui penyertaan modal pada perusahaan atau badan lain. Jelaslah, butir ketiga menjamin investasi Taspen pada perusahaan swasta. Bahwa kepemimpinan Sarga telah mengembangkan peluang tersebut secara mencolok, itu mungkin mengejutkan. Apalagi menanamkan Rp 375 miliar ke PT Barito Pacific Timber, milik konglomerat Prayogo Pangestu. Menurut Benyamin Parwoto, Dirjen Anggaran Departemen Keuangan yang juga menjabat Komisaris Utama PT Taspen, Taspen bukanlah pengelola dana pensiun yang tunduk pada UU Dana Pensiun. ''Kalaupun sekarang Taspen mengelola dana pensiun yang Rp 5 triliun lebih, itu sifatnya hanya sebagai titipan (Pemerintah).'' Pengelolaan dana pensiun itu sendiri, menurut Benyamin, kelak akan dikembangkan menjadi suatu funded system. Dengan sistem dana ini, peserta bisa membicarakan berapa besar pensiun yang diinginkan. ''Sekarang, karena masih dari APBN, penghitungannya didasarkan pada gaji pokok pegawai negeri,'' kata Benyamin. Ditambahkannya, sistem itu baru akan terlaksana 20 tahun lagi. Sementara itu, Nur Ali Indra berpendapat, program Taspen bukanlah program tabungan seperti tabanas, melainkan program asuransi. Semua pegawai negeri wajib membayar iuran tabungan hari tua (Taspen) sebesar 3,25% dari gaji dan iuran kesehatan 4,75% dari gaji. Lalu, apa saja hak para peserta Taspen? Dalam berbagai peraturan yang berlaku, sama sekali tidak disebut-sebut bahwa mereka berhak ikut duduk dalam jajaran pengambil keputusan di Taspen. Hak peserta hanyalah mendapatkan santunan yang dari waktu ke waktu terus meningkat. Besar santunan hari tua dan kematian naik sejak April 1985, menjadi 140% dari besar santunan sebelumnya. Agustus 1991, santunan naik lagi, 17%. Kini agaknya layak dipertanyakan, apakah modal pegawai negeri yang Rp 2 triliun itu dianggap terlalu kecil sehingga mereka sama sekali tak boleh punya wakil di jajaran direksi maupun komisaris Taspen. Apakah perlakuan seperti itu bisa dianggap fair? Max Wangkar dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus