MASUK bursa yang kini sedang trendi, tidak selalu berujung pada pemasukan dana. Tapi sebaliknya, bisa juga mengusir laba. Setidaknya begitulah yang belakangan ini dialami PT Tigaraksa Satria, perusahaan distributor kedua terbesar di Indonesia. Selang tiga tahun resmi tercatat di Bursa Efek Jakarta, Tigaraksa kehilangan dualangganannya: PT Sinar Mas Agro Resources and Techonology (SMART) Corporation dan PT Goodman Fielder. Pekan lalu, produsen minyak goreng Filma dan mentega Meadow Lea itu mengalihkan kontrak distribusi pada PT Intermas Tata Trading. Perusahaan baru itu didirikan oleh Djoko Tata Ibrahim, mantan Presiden Direktur Tigaraksa. Ia nekat meninggalkan Tigaraksa, konon kabarnya karena tak cocok dengan kebijakan komisaris, terutama setelah perusahaan masuk bursa. Maksudnya? Begitu Tigaraksa menjadi perusahaan publik, susunan dewan komisaris, yang sebelumnya didominasi keluarga Widjaja, serta-merta berubah. Sejak tahun lalu, hanya Robert Budiarto Widjaja yang duduk dalam dewan. Dua posisi lainnya diisi Firdaus Siddik (mantan partner konsultan bisnis Price Waterhouse) dan Asikin Suryadhana(mantan direktur pemasaran Unilever). Perubahan ini disusul oleh pembentukan komisi internal audit yang diketuai oleh Firdaus. ''Semata-mata untuk kesehatan dan transparansi Tigaraksa sebagai perusahaan publik,'' kata Robert. Sebagai langkah pertama untuk mendiagnosis ''penyakit'' dalam tubuh manajemen Tigaraksa, komisi langsung mengaudit dewan direksi. Sebenarnya soal ini wajar-wajar saja (''Saya juga diaudit,'' kata Robert). Tapi, nyatanya, tak semua bisa menerima. Djoko Tata Ibrahim termasuk yang berkeberatan diaudit. ''Komisaris ingin masuk sampai ke dalam. Ini artinya, mengebiri kewenangan eksekutif,'' katanya kepada wartawan TEMPO, Kukuh Karsadi. Soal kompensasi untuk direksi, misalnya. Menurut Djoko, seharusnya ditentukan secara musyawarah. Hasil audit komisi ini sendiri ditudingnya sebagai penilaian sepihak yang dapat menimbulkan masalah bersifat pribadi. ''Saya tak setuju disebut one man show selama ini,'' protes lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya (1976) ini. Djoko boleh kecewa, tapi bisa jadi komisi pun tak salah seratus persen. Bagaimanapun juga, sukses Tigaraksa lima tahun terakhir ini tentu tak lepas dari peran mantan direktur pemasaran Johnson & Johnson Indonesia tersebut. Alkisah, pada tahun 1986, Robert menarik Djoko. Pertimbangannya jelas: pengalaman Djoko dua belas tahun bekerja di Johnson & Johnson yang juga salah satu prinsipal Tigaraksa itu akan bisa diandalkan. Terutama menyangkut niat keluarga Widjaja untuk melebarkan sayap grup perusahaan yang bermula dari perkebunan karet dan jual beli hasil bumi ini. Di samping itu, ''Kami ingin serius menangani bisnis distribusi barang konsumsi,'' kata Robert suatu kali. Saat itu Tigaraksa Satria masih terhitung distributor kelas dua dengan omzet sekitar Rp 25 miliar. Tiga dari lima prinsipalnya adalah perusahaan dalam grup sendiri, yaitu Tira Fashion (garmen), Sugizindo (susu bayi) dan Alphfa Austenite (peralatan industri). Hanya lima tahun setelah Djoko masuk, omzet Tigaraksa menggelembung. Apalagi setelah masuk bursa pada bulan Mei 1990. Omzetnya kini mencapai Rp 130 miliar dengan untung sekitar 25 persen per tahun. Berjajar di belakang distributor terbesar Wicaksono Overseas International, Tigaraksa menangani pemasaran ensiklopedia sampai gas kompor untuk berkemah dari hampir 20 prinsipal di luar grup. SMART, yang mempercayakan distribusi minyak goreng dalam botol Filma, adalah langganannya kedua terbesar. Berpalingnya SMART ke Intermas, tak pelak, sempat mengundang kecurigaan. Jangan-jangan kelompok Sinar Mas berada di balik kepergian rombongan Djoko yang terdiri dari 74 karyawan (dari tingkat sopir sampai manejer) dan dua direksi Tigaraksa itu. Apalagi, Djoko dan rekan-rekan bisnisnya kini berkantor di Jakarta International Trade Center. Gedung perkantoran yang terletak di kawasan Jakarta Barat itu adalah milik grup Sinar Mas yang memproduksi Filma. Djoko sendiri melihatnya sebagai konsekuensi logis dari pekerjaannya selama ini. ''Bisnis distributor dasarnya adalah people oriented. Dengan jaringan relasi dan kepercayaan, bisnis ini jalan,'' katanya enteng. Setengah dari Rp 10 miliar modal Intermas, ia akui didapat dari ''teman-teman''. Katakanlah, Sinar Mas tergoda pada Djoko dkk, ditinjau dari kaca mata bisnis, ya, mungkin itu pun wajar saja. Akhir tahun lalu, penerimaan kotor dari pemasaran Filma mencapai Rp 14,1 miliar. Artinya, hampir lima kali lipat target yang dicanangkan Sinar Mas sendiri. Meledaknya hasil penjualan Filma ini, di lain pihak, ternyata juga berarti pelonjakan piutang Tigaraksa pada Sinar Mas. Dua tahun lalu, fee pemasaran Filma hanya Rp 111 juta. Namun Desember lalu, jumlahnya membengkak sampai Rp 1,2 miliar. Merekrut langsung Djoko dan timnya adalah pilihan logis untuk menekan biaya pemasaran Filma. Tapi agak mengherankan juga kalau pembelotan Djoko dan menyeberangnya SMART dan Goodman Fielder ke Intermas tidak menggelisahkan Robert. ''Paling-paling laba berkurang Rp 200 juta per tahun,'' ujarnya. Yang dikhawatirkan juga oleh konsultannya ialah kelesuan divisi jins Tira. Di luar itu, tak ada yang terasa berat, kecuali ''Suasana kerja yang menjadi tidak enak.'' Robert mengeluh tentang telepon teror dari ''pihak sana'' yang belakangan sering diterima karyawan Tigaraksa. Isinya, menggunjingkan siapa saja yang bakal dan ingin turut keluar. Lepas dari benar-tidaknya perkara teror telepon itu, ipar Martina Widjaja(pemilik klub tenis elite Supra Nugra) ini memang perlu mengamankan sisa pasukannya. Apalagi, Sabtu sore lalu, di lapangan tenis Sunter Podomoro Sport Center, Djoko masih bermain bersama karyawan Tigaraksa. Kalau diplomasi adalah bagian dari arena olahraga, siapa percaya main-main tenis ini sekadar cari keringat?Ivan Haris dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini