Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) tengah menggodok aturan pembelian rumah murah lewat skema sewa beli untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan cara ini, masyarakat bisa mencicil sambil menempati rumahnya. Kebijakan ini diharapkan bisa mengurangi kesenjangan kepemilikan rumah atau backlog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deputi Komisioner BP Tapera, Ariev Baginda Siregar, menjelaskan, sasaran program ini adalah para peserta Tapera yang memiliki kemampuan membayar pinjaman atau repayment capacity (RPC) rendah. Mereka bisa menyewa dengan biaya lebih rendah dibanding cicilan kredit perumahan. Seiring dengan meningkatnya kapasitas pembayaran peserta, biaya cicilannya bakal bertambah. Setelah lunas, rumah tersebut menjadi milik peserta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ariev menuturkan, saat ini skema sewa beli masih digodok bersama para pemangku kepentingan. Termasuk untuk memastikan kesiapan perbankan mendukung alternatif pembelian rumah ini. "Aturannya ditargetkan selesai tahun ini dan diharapkan bisa mulai berjalan pada 2023," kata dia kepada Tempo, kemarin 11 Juli 2022.
Selain itu, BP Tapera sedang mengkaji pengembangan properti low rise, hunian vertikal yang terdiri atas empat hingga lima lantai. Rumah susun ini akan disiapkan menjadi alternatif rumah tapak dengan target pembiayaan yang lebih murah. Penambahan suplai ini juga diharapkan berkontribusi mengurangi backlog.
BP Tapera tahun ini bertugas menyalurkan 109 ribu unit rumah lewat program pembiayaan Tapera. Selain itu, perusahaan harus membiayai 200 ribu unit rumah lewat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan total anggaran Rp 19,1 triliun. Sampai semester I lalu, penyaluran dana FLPP sudah mencapai RP 11,06 triliun untuk 99.557 unit rumah.
Pameran Indonesia Properti Expo di Jakarta Convention Centre, Jakarta, 17 Mei 2022. Tempo/Tony Hartawan
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kedua program ini merupakan salah satu upaya pemerintah membantu menyediakan rumah, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Dia mengakui program tersebut belum cukup. Sebab, permintaan rumah lebih tinggi dibanding kemampuan keuangan negara membantu pembiayaan rumah.
Merujuk pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2020 yang digelar Badan Pusat Statistik, terdapat backlog sebesar 12,57 juta unit. Angka tersebut belum menghitung pertumbuhan keluarga baru sebesar 700-800 ribu per tahun. "Kalau hanya menggunakan APBN, tidak akan mampu terkejar secara cepat," tuturnya.
Menurut Sri Mulyani, pembiayaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah ini bisa ditambah dengan memanfaatkan efek beragun aset. Dia mencatat bahwa rata-rata kredit perumahan berlangsung selama 15 tahun. Cicilan jangka panjang ini bisa dijadikan surat berharga yang keuntungannya dapat digunakan untuk menciptakan kredit jangka panjang yang baru. Artinya ada ruang untuk peserta baru yang ingin mencicil rumah.
Alternatif pembiayaan ini penting untuk mengurangi backlog, terutama di tengah ancaman kenaikan suku bunga. Sri Mulyani menuturkan masyarakat, khususnya generasi muda, akan semakin sulit membeli properti dengan kondisi tersebut, ditambah lagi dengan kenaikan harga lahan dan biaya konstruksinya.
Direktur Center of Economics and Law Studies, Bhima Yudhistira, mengatakan program pemerintah sudah membantu, tapi perlu ada evaluasi. Salah satunya dengan mempermudah syarat penerima bantuan subsidi rumah murah serta menyiapkan bank tanah agar harga lahan bisa dikendalikan. Dari sisi pengembang juga ada beberapa kendala yang perlu ditangani. "Mereka juga ada problem soal kredit konstruksi, bunganya masih relatif mahal," tuturnya.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo