Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Indonesia selalu mengalami defisit dari tahun ke tahun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pada akhir 2024, kas negara akan mengalami minus Rp 609,7 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Mei Susanto, mengatakan selisih kekurangan dalam anggaran memang diatur dalam regulasi. "Jadi politik hukum kita memang membolehkan defisit," ujarnya dalam diskusi publik RUU APBN 2025 di kanal Youtube Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Selasa, 30 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan defisit dibolehkan karena Indonesia negara berkembang, banyak pembangunan yang masih harus dikejar. Sehingga sangat mungkin keuangan negara masih kurang dalam konteks pendapatannya.
Utang, ia melanjutkan, menjadi salah satu hal logis dan pilihan yang bisa dijalankan. "Hampir tidak ada negara yang tidak berutang, negara maju sekalipun, sehingga dalam kacamata yang lumrah, ini sangat dimungkinkan," kata dia.
Mei mengatakan APBN mungkin saja berimbang atau bahkan surplus. Namun ia meyakini hal itu bisa diraih jika Indonesia telah menjadi negara maju.
Defisit merupakan selisih anggaran yang terjadi karena belanja lebih tinggi dibanding pemasukan. Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 12 defisit dibatasi maksimal 3 persen terhadap produk domestik bruto atau PDB. Sementara utang dibatasi 60 persen terhadap PDB.
Sebagai gambaran, pada 2019 anggaran mengalami kekurangan Rp 348,6 triliun. Pada 2020, menghadapi Covid-19, muncul peraturan perundang-undangan baru sebagai respons pandemi, sehingga defisit diperlebar dengan realisasi Rp 947,6 triliun. Pada 2021 minus APBN sebesar Rp 775 triliun; 2022 Rp 335,8 triliun; 2023 Rp 347,6 triliun; dan 2024 diperkirakan defisit Rp 609,7 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, mengatakan dalam periode pertama Pemerintahan Presiden Jokowi, defisit APBN terjaga rendah. Pada periode 2015-2019 ia mencatat belanja-belanja prioritas untuk infrastruktur, perlindungan sosial, dan sumber daya manusia meningkat signifikan. "Belanja yang lebih berkualitas dan targeted ini tentunya mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional," ujarnya kepada Tempo, Ahad, 28 Juli 2024.
Ia mengakui pemerintah melakukan utang untuk membiayai defisit APBN. Tapi itu dalam rangka pemenuhan belanja-belanja prioritas untuk kesejahteraan masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat dan seimbang.