Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cerai Mahal, Rujuk Tak Mampu

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OTONOMI daerah ternyata dapat membuat badan usaha milik negara repot. Setidaknya bagi yang mempunyai aset di berbagai daerah seperti PT Semen Gresik. Rencana penjualan sahamnya ke pihak swasta terganjal karena keberatan pemerintah daerah. Penentangan yang cukup alot, karena mereka memilih aset daerah diceraikan dari pusat alias spin off ketimbang dimiliki swasta asing. Kealotan itu terlihat dari negosiasi pemisahan atau spin off PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa dari PT Semen Gresik, yang sampai memasuki tiga periode kekuasaan. Periode Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Sukarnoputri. Keinginan cerai itu muncul semenjak PT Cemex Indonesia—anak perusahaan Cementos Mexico (Cemex)—membeli saham PT Semen Gresik, September 1998. Masyarakat Sumatra Barat—tempat Semen Padang beroperasi—langsung mengangkat bendera protes. Mereka meminta agar Semen Padang, yang merupakan bagian dari PT Semen Gresik, segera di-spin-off dari induknya. Kemudian masyarakat Sulawesi Selatan ikut latah meminta PT Semen Tonasa juga di-spin-off. Upaya rujuk sudah bolak-balik dilakukan di antara ketiga perusahaan itu. Hasilnya? Hingga kini belum ada kesepakatan. Soalnya, bila perceraian dilakukan, nilai PT Semen Gresik tak lagi kinclong. Maklum, perkawinan ketiga perusahaan semen itu, yang berlangsung tahun 1995, memang dimaksudkan untuk mendongkrak kapasitas produksi dan sekaligus nilai perusahaan. Terbukti ketika badan usaha milik negara ini go public, tiga tahun kemudian peminatnya antre. Cemex Indonesia, misalnya, langsung memborong 14 persen atau sekitar 83 juta lembar saham Semen Gresik dengan harga US$ 114,60 juta. Bahkan, belakangan, Cemex Indonesia juga memborong 9,53 persen saham publik. Walhasil, komposisi saham menjadi 25,53 persen milik Cemex, publik 23,47 persen, dan 51 persen aman di kantong pemerintah. Sampai di sini, tak ada persoalan. Masalah muncul setelah pemerintah, antara lain karena tekanan IMF, memutuskan tak lagi menganggap industri semen harus dikuasai negara. Maka, semua saham pemerintah, sekitar 302 juta lembar, ditawarkan untuk dijual dengan perkiraan US$ 520 juta atau Rp 4,7 triliun akan masuk ke saku pemerintah. Bagi tim ekonomi pemerintahan Megawati Sukarnoputri, ini jumlah yang menggiurkan. Sebab, itu setara dengan dua pertiga dari target penerimaan privatisasi BUMN, yang dipatok pada angka 6,8 triliun. Tapi begitu pemerintah akan menggunakan hak put option alias hak melepas sebagian atau seluruh sahamnya di PT Semen Gresik, keributan muncul. Sebabnya? Ya itu tadi, Semen Padang malah meminta "cerai" dari Semen Gresik. Alasannya? Tanah di Sumatra Barat yang digunakan untuk mendirikan Semen Padang adalah tanah ulayat masyarakat setempat. Tanah itu "haram hukumnya" berpindah ke tangan pengusaha asing. Jika dijual, Semen Padang akan minta "cerai". Repotnya, tuntutan yang sama juga datang dari arah timur. Pemerintah Sulawesi Selatan juga menghendaki PT Semen Tonasa di-spin-off. Setelah bertemu Presiden Abdurrahman Wahid, 6 Februari lalu, Gubernur Sulawesi Selatan H.Z.B. Palaguna memastikan bahwa proses spin off itu tinggal menunggu waktu. "Ini adalah keinginan seluruh masyarakat Sulawesi Selatan," kata Palaguna kepada pers usai pertemuan itu. Lampu hijau dari istana itu jelas membuat PT Semen Gresik kebingungan. Sebab, jika nekat berpisah, sejumlah pemegang saham, semisal Cemex Indonesia, dan pemegang saham independen pasti protes. Cemex Indonesia bahkan pernah mengancam akan hengkang dari Indonesia jika proses "perceraian" dipaksakan. Kemelut perkara spin off ini pun akhirnya masuk Senayan. Komisi V DPR RI berkali-kali membicarakannya. Bahkan belakangan sebuah sumber menyebutkan beberapa anggota komisi ini menawarkan jalan keluar jika PT Semen Gresik memberikan uang jasa. Majalah TEMPO, dalam laporan utama edisi 10 Septermber lalu, sempat menulis bahwa guna menghambat laju tuntutan spin off itu, PT Semen Semen Gresik melayani permintaan sejumlah anggota Komisi V untuk menyetor sejumlah uang. Jumlahnya? Rp 280 juta. Adalah Suwandi, Kepala Humas PT Semen Gresik, yang menurut sumber TEMPO diutus ke Jakarta. Penelusuran TEMPO yang dilakukan setelah tulisan itu dimuat menyimpulkan keterangan sumber tersebut tidak sepenuhnya benar. Suwandi tidak pernah diutus ke Jakarta untuk menyetor fulus, bahkan tak tahu-menahu soal ini. Terlepas dari benar atau tidaknya isu "pemerasan" dari Senayan itu, persoalan PT Semen Gresik tetap saja memusingkan pemerintah. Jika menahan laju "cerai" ketiga perusahaan itu, pemerintah jelas kelabakan menjawab protes masyarakat Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan, yang sebelumnya telanjur ditaburi janji oleh Jakarta. Sebaliknya, jika harus cerai juga, pemerintah mesti merogoh koceknya sebanyak Rp 2,855 triliun. Fulus segunung itu wajib disetor untuk membayar saham Semen Gresik di Semen Padang dan Semen Tonasa. Soalnya sekarang adalah dari mana duit sebanyak itu. Bukankah saku negara juga sedang termehek-mehek. Wens Manggut, Zed Abidin (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus