Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Gabungan Pengusaha Industri Alas Kaki Nusantara mengusulkan supaya pemerintah kembali menerapkan larangan dan pembatasan (lartas) produk impor tekstil, guna menjaga daya saing industri dalam negeri.
Oleh karena itu pihaknya meminta Kementerian Perindustrian yang dalam hal ini sebagai lembaga teknis, untuk mempertahankan aturan soal lartas melalui pertimbangan teknis (pertek). "Karena itu salah satu cara untuk memastikan perlindungan negara kepada industri," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun API mencatat utilitas sektor tekstil saat ini mencapai 60 persen, dan akan terus menurun apabila relaksasi itu terus diberlakukan. Itu karena pihaknya memproyeksikan 1-2 juta pakaian impor bisa masuk ke pasar domestik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih lanjut Ketua Gabungan Pengusaha Industri Alas Kaki Nusantara David Chalik mengatakan, sebelum adanya relaksasi, pihaknya banyak mendapatkan permintaan pembuatan sepatu yang merupakan hasil buatan industri dalam negeri. Namun setelah pelonggaran diberlakukan, para konsumen lebih memilih untuk menggunakan produk impor.
Sebelumnya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan peningkatan pengawasan terhadap produk impor tekstil dan produk tekstil (TPT), termasuk kulit dan alas kaki bisa membuat kinerja sektor tersebut semakin meningkat. "Kami optimistis pertumbuhan industri tekstil, kulit, dan alas kaki akan berjaya, meningkat lebih besar lagi apabila bersamaan dengan itu persoalan penjagaan impor ilegal dan pengawasan pasar sesuai aturan berlaku terhadap impor lebih masif untuk ditingkatkan pengawasannya," kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Adie Rochmanto Pandiangan di Jakarta, Senin, 3 Juni.
Pihaknya berharap adanya pengawasan secara paralel yang mengawasi secara ketat aktivitas jual beli barang impor bekas (thrifting) di dalam negeri. Hal itu karena Kemenperin mengasumsikan adanya impor ilegal produk TPT yang tidak tercatat, mengingat adanya selisih data antara total impor yang dilaporkan dalam negeri, dengan biro statistik negara lain.