Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemenangan C&C sungguh di luar dugaan. Semula, orang menjagokan kongsi Newbridge dari Amerika Serikat, yang disokong penuh pendiri Astra, William Soeryadjaya dan kelompok usaha Nahdlatul Ulama, Harawi Sekawan. Kendati mengaku sudah menyapih Harawi, sosok Presiden RI sulit dipisahkan dari Harawi konon singkatan Haji Abdurrahman Wahid. Harawi digagas dan dijadikan tangan bisnis Gus Dur sebelum kiai Ciganjur itu didapuk menjadi presiden. Tapi ternyata kongsi Newbridge yang nyantol kekuasaan itu dengan gampang bisa ditaklukkan C&C. Walhasil, tender Astra pun terkesan fair dan adil.
Tapi, benarkah demikian?
Harus diakui, penawaran Astra penuh kepentingan dan maksud-maksud politik. Sukses-tidaknya penjualan Astra amat menentukan nasib keuangan negara. Dana hasil pelelangan salah satu aset terbaik pemerintah itu digunakan sebagai salah satu penambal kekurangan dana anggaran tahun lalu, yang jumlahnya sekitar Rp 50 triliun.
Selain itu, juga sulit dibantah, Astra merupakan salah satu perusahaan terbaik Indonesia. Dengan taksiran aset Rp 25 triliun, Astra bukan cuma pabrik mobil terbesar dengan jaringan pemasaran dan layanan pascajual yang paling komplet. Astra juga sekumpulan usaha mulai dari perkebunan, kehutanan, keuangan, hingga telekomunikasi. "Kalau mau pilih satu perusahaan Indonesia untuk investasi, ya, cuma Astra," kata seorang pentolan pasar modal. Gampang dipahami jika Astra diperebutkan begitu banyak kalangan.
Dilihat dari posisinya yang begitu sentral dalam menentukan nasib kas negara, pelelangan saham Astra tak bisa lain harus memilih kontestan yang memberikan harga tertinggi. Lalu mengapa konsorsium Newbridge yang pernah menawar Astra paling sedikit pada harga Rp 3.750 per saham, kok, malah keok?
Kekalahan kongsi Newbridge mulai terlihat sejak Kamis, 23 Maret. Di luar dugaan, konsorsium AS dan Indonesia itu cuma memberikan tawaran harga Rp 3.450, jauh di bawah harga minimal yang pernah ditawarkannya empat bulan lalu (lihat boks infografik). Menurut sumber TEMPO, jatuhnya harga Astra di mata Newbridge and the gang merupakan hasil wajar dari uji tuntas (due diligence) yang, "Agak mengecewakan."
Mengecewakan? Setelah isi perutnya diaduk-aduk, kata sumber TEMPO, Astra ternyata tak seindah warna aslinya. "Banyak bolongnya," katanya. Salah satu bolong terbesar adalah pinjaman Federal International Finance (FIF) kepada Bob Hasan senilai US$ 500 juta untuk membeli saham Astra yang pernah diramaikan beberapa bulan lalu. Selain itu, konsorsium ini juga menilai penjualan Astra Sekuritas, salah satu anak perusahaan Astra kepada Widari, tidak transparan. Belum lagi soal praktek perusahaan dalam perusahaan yang dikelola sebagian anggota manajemen puncak Astra.
Dengan pelbagai beban seperti itu, Astra diperkirakan bakal kesulitan arus-kas. Sekarang mungkin bisa ditangani dengan menjual aset, tapi, "Bagaimana kelak jika utangnya jatuh tempo?" Menurut kalkulasinya, Astra akan membutuhkan suntikan modal baru. Dan itu jelas akan merepotkan pemegang saham. Karena itu, katanya, harus ada koreksi harga penawaran ke Rp 3.450. Tapi, karena C&C berani memberikan penawaran lebih tinggi, "Ya sudah, kami kalah dengan fair," katanya enteng. Hm, kelihatannya memang masuk akal.
Namun, kalau dipikir-pikir lagi, semua "bolong" yang katanya ditemukan pada saat uji tuntas itu sebenarnya bukan berita baru. Kesulitan arus-kas yang mungkin akan dihadapi Astra juga cerita lama. Manajemen Astra bahkan sudah memutuskan untuk melakukan penjualan saham baru untuk menambah modal, selain menjual beberapa penyertaannya di sejumlah anak perusahaan.
Dan, ini yang penting, konsorsium Newbrigde yang dibeking penuh Keluarga Soeryadjaya dan sejumlah mantan direksi Astra itu sudah mengetahui pelbagai kebocoran itu sejak dulu. Tentu saja mereka juga sudah memperhitungkan tantangan arus-kas Astra, sejak sebelum mulai menawar akhir tahun lalu. Bahwa cerita kebocoran itu kemudian meletup di koran-koran, sedikit banyak itu karena andil para sumber berita dari Newbridge ini pula. Menurut perhitungan seorang pengamat pasar modal, semua borok Astra itu sebenarnya sudah diperhitungkan pada harga penawaran Newbridge yang Rp 3.750 itu.
Jadi, mengapa Newbridge harus membanting harga penawarannya? Benarkah untuk memberi jalan kepada kontestan lain agar bisa menguasai Astra dengan harga murah? Kalaupun benar demikian, untuk apa langkah ini dilakukan?
Wah, pertanyaan seperti itu mungkin terlalu jail, tapi bukan tak ada dasarnya. Ada sejumlah petunjuk yang, harus diakui, masih samar-samar. Beberapa hari menjelang tenggat penawaran, Gilbert Global Equity, salah satu anggota konsorsium Newbridge, tiba-tiba mengundurkan diri. Langkah surut Gilbert ini diikuti sejumlah investor lain dari AS (yang juga ikut membeking Newbridge). Menurut salah seorang sumber TEMPO yang dekat dengan konsorsium ini, langkah ini ditempuh beberapa investor setelah melihat hasil uji tuntas Astra yang banyak borok itu. Tapi sumber lain menduga, surutnya Gilbert dan kawan-kawan ini disebabkan karena lembaga investasi dari AS itu menolak "kartel harga" dalam lelang Astra.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang punya hajat dalam lelang ini, bungkam atas spekulasi semacam itu. Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto tak mau menjawab mengapa Astra cuma bisa laku dengan harga begitu murah. Beberapa bulan terakhir, saham Astra diperdagangkan pada harga Rp 3.600 hingga Rp 3.800 di pasar eceran bursa saham Jakarta, tak berbeda jauh dari harga borongan C&C. Padahal, biasanya dalam jual-beli saham porsi besar, harus ada tambahan premium sebagai imbalan atas posisi pengendali yang akan diterima pembeli. Menurut sejumlah analis, harga wajar 39 persen saham Astra yang dimiliki pemerintah itu paling sedikit Rp 4.000 per saham. Lalu mengapa cuma Rp 3.700? Cacuk, lagi-lagi, tutup mulut.
Sumber TEMPO di kalangan keuangan mengakui kemenangan C&C sudah diatur lewat lobi kelas atas. Selain didukung Soros, konsorsium C&C dibeking Rudy Tanoesoedibyo, saudara sekandung Harry Tanoesoedibyo pemilik Bhakti Investama. Rudy inilah yang terus menempel Presiden setiap kali Gus Dur ke luar negeri. Rudy jugalah yang menghubungkan Gus Dur dengan Ketua CITIC, perusahaan induk BUMN pemerintah Cina, Wang Yun dan Chai Zongzhi, dalam kunjungannya ke Negeri Tirai Bambu, awal Desember lalu. Berkat lobi Rudy jugalah, kabarnya, Gus Dur bersama Ibu Sinta Nuriyah mendapatkan pengobatan di RS Ophthalmological di Akademi Pengobatan Cina Tradisional.
Sukses C&C dan kawan-kawan, kabarnya, juga merupakan hasil pelobi tangguh kelompok Poros Tengah seperti bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier. Menurut sejumlah sumber di pasar modal, salah satu anggota konsorsium C&C, yaitu Lazards Asia, merupakan mitra bisnis Widari Sekuritas, perusahaan milik Fuadyang di perusahaan ini kabarnya berkongsi dengan bekas presiden direktur Astra, Rini M.S. Soewandi, dan Jenderal (Purn.) Wiranto. Namun kabar yang dipercaya banyak kalangan analis ini dibantah. Renee Zecha, Presiden Direktur Widari Securitas yang merupakan kongsi Fuad Bawazier, menafikan keterlibatan Rini Suwandi dan Wiranto di perusahaannya. "Mereka bukan pemilik saham, hanya teman pribadi," katanya. Adapun Fuad mengakui Lazards memang merupakan mitra dan penasihat Widari. Tapi bekas Direktur Jenderal Pajak ini tak mau menjawab apakah Widari benar-benar berada di belakang Lazards dalam menawar saham Astra. "Itu rahasia dapur," katanya kepada Dewi Rina Cahyani dari TEMPO.
Hanya, dalam sebuah perbincangan dengan TEMPO, Fuad mengakui harga saham Astra saat ini terhitung supermurah. Jika diukur dalam dolar, menurut perhitungan Fuad, harga Astra saat ini cuma seperlima dari harga puncaknya. Jadi, "Siapa pun yang masuk Astra akan untung besar," katanya.
Kalau benar demikian, lalu mengapa Gus Dur mengorbankan Harawi, dan kongsi Newbridge begitu rela memberi jalan pada C&C? Ini memang bagian yang paling sulit dijelaskan. Tapi seorang sumber TEMPO punya teori, Harawi sengaja "dibelokkan" untuk mengalihkan perhatian. Dan Newbridge? "Ah, mereka akan segera mendapatkan bagian," katanya santai.
Menurut sumber-sumber TEMPO, lembaga investasi raksasa dari AS itu sedang mengincar sejumlah aset besar seperti perusahaan penerbangan Garuda Indonesia dan Bank Niaga. Apakah mereka merupakan bagian Newbridge? Kita tunggu di tikungan berikut.
Dwi Setyo, M. Taufiqurohman, Agus H, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo