Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah akan mewajibkan kepemilikan asuransi kendaraan dan third party liability pada 2025.
Tingginya angka kecelakaan dan pertanggungan asuransi menjadi alasan pemberlakuan kewajiban.
Ada dugaan asuransi hanya akal-akalan untuk mengumpulkan dana publik demi menambal APBN.
RENCANA pemerintah mewajibkan asuransi kendaraan bermotor tahun depan membuat Lili Pujiati gundah. Perempuan yang menjabat Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia ini merasa kewajiban asuransi bakal menambah beban anggotanya, terutama para pengemudi ojek dan taksi online serta kurir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Lili, pendapatan mereka tak menentu dengan nilai nominal yang terhitung rendah sehingga tak ada ruang untuk membayar premi asuransi. “Akibat hubungan kemitraan, pengemudi angkutan online tidak mendapatkan penghasilan yang layak berupa upah minimum seperti para pekerja lain,” katanya pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan tengah merancang skema third party liability (TPL) atau asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mesti dimiliki semua pemilik kendaraan bermotor pada 2025. TPL atau tanggung gugat merupakan pertanggungan asuransi terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga yang disertai tuntutan pihak tersebut kepada pemilik kendaraan sebagai akibat risiko seperti tabrakan, benturan, dan insiden lain.
Polisi mengatur lalu lintas saat terjadi kepadatan kendaraan bermotor di Jalan Raya Margonda, Depok, Jawa Barat, 18 Juli 2024. Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan sedang merancang skema third party liability yang mesti dimiliki semua pemilik kendaraan bermotor pada 2025. Antara/Yulius Satria Wijaya
Kewajiban memiliki asuransi kendaraan bermotor dengan skema TPL adalah amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau PPSK. Pasal 39A ayat 1 Undang-Undang PPSK menyatakan program asuransi wajib terkait dengan kecelakaan lalu lintas, asuransi kebakaran, dan asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana.
Dengan skema tersebut, pemilik kendaraan bermotor ataupun publik seharusnya memiliki “perlindungan” dari insiden yang mungkin terjadi. Persoalannya, pembayaran polis asuransi tersebut menjadi beban baru bagi pemilik kendaraan bermotor, terutama mereka yang bekerja di sektor informal. Irwansyah, misalnya. Pengemudi ojek daring 37 tahun ini kebingungan jika diwajibkan membayar polis asuransi TPL. Dengan penghasilan Rp 4 juta per bulan, dia merasa biaya asuransi itu mahal. “Tidak tahu harus menyisihkan dari mana,” ujarnya.
Rencana penerapan kewajiban memiliki asuransi kendaraan bermotor juga menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, mengatakan komunikasi buruk pemerintah dalam menyampaikan gagasan ini ditambah tingkat literasi masyarakat yang masih rendah mengenai produk asuransi kian membuat runyam. Pemerintah, menurut dia, seperti tutup mata terhadap beban ekonomi yang bertambah jika kebijakan ini diterapkan. Jangankan asuransi, “Dari 120 juta sepeda motor dan 100 juta mobil di Indonesia, hanya 60 persen yang membayar pajak kendaraan,” katanya.
Agus berpendapat, pemerintah seharusnya membenahi dulu persoalan transparansi serta tata kelola dana publik seperti asuransi sebelum menggulirkan aturan yang bersifat wajib. Apalagi, dia menambahkan, citra industri asuransi kini memburuk setelah ada kasus gagal bayar dan fraud yang menimpa perusahaan besar seperti Asuransi Jiwasraya. “Aduan masyarakat soal asuransi masuk 10 besar laporan yang masuk ke YLKI setiap tahun,” ucapnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan Ogi Prastomiyono berkilah, produk asuransi TPL akan memberikan perlindungan finansial kepada publik apabila terjadi kecelakaan dan menghadapi tuntutan dari pihak yang dirugikan. Menurut Ogi, asuransi TPL berbeda dengan skema asuransi kendaraan yang dikenal masyarakat, seperti pertanggungan total loss only atau all risk. Melalui skema TPL, dana pertanggungan bisa cair tanpa harus membeli produk asuransi kendaraan dulu. “Ini akan mengurangi social cost yang ditanggung masyarakat ketika mengalami kecelakaan.”
•••
TINGGINYA angka kecelakaan lalu lintas berikut kerugiannya menjadi salah satu alasan pemerintah memberlakukan kewajiban asuransi pihak ketiga kendaraan bermotor. Berdasarkan data kepolisian, pada 2023 terjadi 150 ribu kecelakaan dengan nilai kerugian materi Rp 300 miliar. Nilai kerugian rata-rata akibat kecelakaan tersebut mencapai Rp 2 juta per kasus.
Sedangkan menurut data analisis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada produk asuransi TPL yang bersifat sukarela, nilai klaim atas risiko tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga 2017-2021 mencapai Rp 6-10 juta per kejadian. Dari hasil analisis demografi PT Jasa Raharja (Persero) terhadap kasus kecelakaan, hingga Juni 2024, sebesar 60 persen masyarakat yang terlibat kecelakaan adalah pelajar, mahasiswa, dan orang lanjut usia.
Di sisi lain, pangsa pasar asuransi kendaraan bermotor serta asuransi umum liabilitas atau tanggung gugat masih relatif kecil. Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), pangsa pasar asuransi kendaraan bermotor turun dari 20,1 persen pada 2022 menjadi 18,8 persen pada 2023. Demikian pula pangsa pasar asuransi liabilitas yang merosot dari 3,9 persen menjadi 3,8 persen pada 2022-2023.
Meski begitu, banyak kalangan mempertanyakan urgensi asuransi wajib kendaraan bermotor dan TPL. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, tanpa latar belakang yang jelas, asuransi wajib TPL tak ubahnya kebijakan mengada-ada yang mengindikasikan upaya penarikan dana publik dengan berbagai cara. “Ini serupa dengan wacana wajib Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) beberapa waktu lalu sehingga wajar publik menduga ada upaya penarikan dana lewat asuransi wajib untuk kepentingan pemerintah,” katanya pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Menurut Bhima, indikasi itu beralasan mengingat adanya Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2016 tentang Investasi Surat Berharga bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Merujuk pada peraturan tersebut, perusahaan asuransi umum yang menaungi perlindungan properti, kendaraan bermotor, dan TPL wajib menempatkan investasi pada surat berharga negara paling rendah 20 persen dari seluruh nilai investasi perusahaan.
Bhima menuturkan, premi asuransi yang ditarik dari masyarakat harus ditempatkan pada surat utang pemerintah atau surat berharga negara. “Bisa dibaca sebagai bagian dari upaya memitigasi sulitnya mencari pembiayaan anggaran, khususnya dari investor luar negeri di tengah gejolak ekonomi global, sehingga pemerintah menarik dana publik,” tuturnya.
Bagi produsen kendaraan bermotor, asuransi TPL wajib menjadi ganjalan untuk meraih target penjualan. Direktur Marketing PT Toyota Astra Motor Anton Jimmi Suwandi meminta pemerintah mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat ketika menetapkan premi asuransi wajib. Menurut dia, industri otomotif akan terganggu jika batas minimum premi yang ditetapkan relatif tinggi.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Yohannes Nangoi juga menyatakan asuransi wajib tak relevan di tengah kondisi penjualan mobil yang tengah menurun. Sepanjang Januari-Juni 2024, angka penjualan mobil baru mencapai 408.012 unit, anjlok dari periode yang sama pada 2023 yang sebanyak 505.985 unit. Persoalan lain, Yohannes menambahkan, lebih dari 70 persen penjualan mobil menggunakan skema kredit kepada perbankan atau lembaga pembiayaan yang telah mencakup biaya asuransi.
Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia, Irvan Rahardjo, mengatakan, ketimbang membentuk program asuransi baru, pemerintah seharusnya mengoptimalkan program asuransi penumpang kendaraan yang selama ini dikelola Jasa Raharja. Asuransi kecelakaan lalu lintas itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. “Seharusnya program ini saja yang diperluas pertanggungannya hingga mencakup jaminan pertanggungan terhadap pihak ketiga,” ujarnya.
Menurut Irvan, dengan program yang telah berjalan puluhan tahun itu, Jasa Raharja seharusnya leluasa memperluas penjaminan dengan memupuk dana kelolaan. Sekalipun angka kecelakaan naik terus setiap tahun, dia menambahkan, nilai premi yang dihimpun sudah jauh lebih besar dibanding klaim yang dibayarkan. Dengan cara ini, premi yang dibebankan kepada masyarakat bisa lebih terjangkau. “Kalau diserahkan ke industri, tidak semua perusahaan asuransi memiliki kemampuan dan kesehatan keuangan yang sama,” ucapnya.
Ketika pemerintah memaksakan asuransi TPL menjadi program tersendiri, Irvan mengungkapkan bahwa ada kepentingan lain berupa pendalaman pasar keuangan untuk mendorong penetrasi industri asuransi yang saat ini masih sangat rendah, yaitu hanya 2,67 persen. “Perlu diingat, untuk mendukung pembangunan, akan jauh lebih murah mobilisasi dana asuransi dibanding dari bank yang berasal dari dana pihak ketiga,” tuturnya.
Ihwal pemberlakuan skema asuransi wajib, Ogi Prastomiyono mengatakan sedang menunggu peraturan pemerintah sebagai turunan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang akan melengkapi aturan teknis OJK. Merujuk pada Undang-Undang PPSK, program asuransi wajib itu harus dilaksanakan paling lambat dua tahun sejak peraturan tersebut diundangkan, yakni pada 2025. Ogi menegaskan, tarif premi asuransi wajib TPL dihitung dengan mengukur kemampuan masyarakat.
Direktur Eksekutif AAUI Bern Dwyanto mengatakan kewajiban asuransi TPL dapat mengurangi beban keuangan pemerintah dalam memberikan kompensasi kepada korban kecelakaan lalu lintas. Kebijakan ini juga telah diterapkan negara-negara lain sebagai asuransi yang harus dimiliki semua pengendara. “Kami menyiapkan pelaku industri asuransi untuk mendukung TPL sebagai asuransi wajib serta meningkatkan literasi masyarakat akan pentingnya proteksi di tengah risiko lalu lintas,” katanya pada Rabu, 7 Agustus 2024. Rincian aturan teknis kebijakan ini, menurut Bern, masih dibahas bersama OJK.
Alih-alih bersifat komersial, Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengungkapkan, penerapan kewajiban asuransi TPL bagi kendaraan didesain sebaiknya bersifat nirlaba agar tak membebani masyarakat. AAUI, yang beranggotakan 82 perusahaan, pun berupaya merumuskan usul premi yang setidaknya dapat menutup biaya kerugian yang harus diganti dengan layak dan mencukupi bila terjadi klaim. “Bagaimana menerapkan premi agar tidak membebani masyarakat,” ujarnya.
Adapun skema pengelolaan, pembayaran, ataupun operator asuransi ini masih belum diputuskan. Salah satu opsi yang mengemuka adalah pembentukan sejumlah konsorsium asuransi.
Menurut Budi, AAUI mengusulkan pembayaran asuransi dilakukan sekaligus bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan serta perpanjangan masa berlaku surat tanda nomor kendaraan agar lebih memudahkan. Cara itu serupa dengan pembayaran sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan oleh pemilik kendaraan atau oleh penumpang ketika membeli tiket perjalanan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Vindry Florentin berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dalih Wajib Asuransi Tanggung Gugat"