Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

ATM Lebih Murah dengan ATM Bersama

Bank-bank mulai menyatukan ATM milik mereka. Langkah efisiensi yang tak terelakkan.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSATU itu murah. Ini "hukum baru" bank-bank besar yang mengoperasikan anjungan tunai mandiri (ATM). Maka, ketimbang sendirian mengucurkan investasi besar yang mahal, bank-bank besar mulai melakukan pengoperasian ATM bersama. Sebelum krisis, kata seorang bankir swasta, mengoperasikan ATM sendiri masih ekonomis. Jauh lebih murah daripada mendirikan kantor cabang baru, meskipun masih kalah murah jika diperbandingkan dengan internet banking. "Anda bisa mendapatkan "orang" yang kerjanya ngotot selama 24 jam penuh, tanpa minta naik gaji, tak perlu khawatir mereka akan unjuk rasa," katanya. Karena itu, menurut Harry Sasongko, Direktur Pelaksana Lippobank, banknya dulu mengembangkan jaringan ATM individual secara besar-besaran. Tapi, setelah krisis, ekspansi yang terus-menerus di ATM harus dipikir ulang. "Hitung-hitungannya jelas," kata Sasongko. Menurut dia, investasi pembelian ATM sudah tergolong mahal, yakni US$ 19,5 ribu sampai US$ 40 ribu atau Rp 195 juta-Rp 400 juta per unit. Itu belum termasuk biaya pengoperasiannya yang juga mahal. Semua biaya dihitung dalam dolar, mulai dari sewa tempat sampai sewa very small aperture terminal (VSAT). Belum lagi biaya listrik, ongkos operasi kamera tersembunyi untuk mengidentifikasi nasabah yang komplain atau yang "nakal". Menurut Elvin Masassya dari BNI, biaya pengoperasian ATM sekitar Rp 90 juta per tahun. Berarti, BNI mengeluarkan investasi sekitar US$ 22 juta untuk membangun 1.132 ATM dan mesti mengeluarkan biaya pengoperasian sekitar Rp 100 miliar setiap tahunnya. Angka ini berbeda-beda antara satu bank dan bank yang lain. BCA, misalnya, mengeluarkan investasi sekitar US$ 96 juta atau hampir Rp 1 triliun. Ini belum termasuk biaya operasinya. Jika memakai patokan BNI, biaya pengoperasian ATM BCA bisa mencapai Rp 200 miliar per tahun. Jelas bukan bilangan kecil, apalagi saat rupiah "mabuk" seperti sekarang. Biaya bisa terus bengkak. Terutama bank-bank yang memiliki jaringan ATM bejibun. BCA punya 2.400 ATM, BNI punya 1.132, Danamon 700, BII 600, dan BRI 585 buah. Adapun ATM bersama milik Lintas Arta, misalnya, baru punya sekitar 600 terminal. Jaringan bersama Alto baru punya 1.500-an. Apa sulitnya bank besar masuk jaringan bersama ini? "Karena bank-bank di Indonesia kebanyakan milik keluarga, sehingga mereka jalan dengan kepentingannya masing-masing," kata Sasongko. Dan harus diakui, pada zaman sebelum krisis, bank-bank memang harus melakukan berbagai trik untuk mendapatkan nasabah sebanyak-banyaknya. Salah satunya adalah dengan membuka ATM, kalau bisa di setiap sudut kota atau pusat belanja. Tujuannya sederhana, untuk mendapatkan kartu ATM, nasabah harus membuka rekening. Berarti ada duit masuk. Itu sebabnya, pengembangan ATM bersama pada zaman dulu sangat sulit. Bankir swasta tadi mengatakan bahwa dalam kondisi seperti sekarang ini, jaringan bersama harus jadi pilihan. Ego harus dibuang jauh. Dan rupanya bank-bank pemerintah mengikuti resep ini. Juni nanti, bank pelat merah akan menggabungkan sekitar 4.000 ATM miliknya. Begitu pula dengan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) yang akan menggabung ke ATM bersama. Sejumlah bank swasta juga menyinergikan pemanfaatan ATM-nya, seperti Universal, Mega, dan ANZ Panin ke BCA. Bagaimanapun, kata bankir tadi, membangun jaringan ATM bersama jelas jauh lebih murah. Hitungan di atas kertas menunjukkan itu. Bank Mandiri, misalnya, mengaku bahwa biaya operasionalnya sudah bisa ditutup jika saldo rata-rata nasabahnya mencapai minimal Rp 100 ribu. Tapi Bank BNI baru bisa meraup untung jika saldo rata-rata penabungnya minimal Rp 600 ribu. "Kami bisa rendah karena kita menggunakan infrastruktur bank-bank asal," kata Omar S. Anwar, Wakil Direktur Senior Produk dan Retail Banking Bank Mandiri. Selain itu, efisiensi pengelolaan kartu ATM tak hanya dibicarakan di tingkat bank, tapi juga di level regional. Misalnya Kota Semarang. Di kota terbesar di Jawa Tengah itu sekarang ada 500-an ATM. Padahal, jika dihitung lagi, Semarang hanya membutuhkan 200 ATM. Berarti, ada pemborosan yang sangat tinggi di sana. Bisa jadi ada ATM yang padat, tapi ada juga yang akhirnya cuma jadi pajangan. Seorang bankir menengarai fenomena kartu tidur (sleeping card). Orang punya kartu ATM tapi tidak pernah dipakai. Jumlahnya tidak kecil. Dia memperkirakan kartu tidur ini mencapai sekitar 30 persen dari semua kartu yang ada di Indonesia. Ini jelas akan membebani bank. Dengan banyaknya kartu tidur, ATM malah akan jadi beban (cost center), bukan profit center. Dampak buruk ini memang menjadi tak terelakkan karena pengembangan ATM sering tidak didasarkan pada kebutuhan. "Ada bank seperti BCA atau BNI yang memang butuh ATM banyak. Tapi ada pula bank yang tak perlu ATM banyak-banyak," kata bankir tadi. Dia mencontohkan bank-bank daerah (regional banking) dan bank perkreditan rakyat (community banking) yang tak perlu memiliki ATM sendiri. Karena itu, kini bank harus mencari akal untuk mengurangi tekanan biaya itu. Salah satunya adalah dengan memperbanyak mitra. Sebab, makin banyak transaksi yang bisa dilakukan melalui ATM, makin rendah biaya operasinya. Namun, mencari mitra itu juga tidak gampang. Keterjangkauan (aksesibilitas) merupakan salah satu pertimbangan calon mitra untuk memilih bank. Lagi-lagi ini menjadi dilema. Tapi semuanya bisa diatasi jika bank-bank itu menggunakan ATM bersama. Dan kini mungkin saat yang tepat. BPPN sebagai pemilik sebagian besar bank di Indonesia bisa memulai sinergi itu. M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus