MUNGKIN karena sulit sekali meyakinkan ExxonMobil Indonesia agar beroperasi kembali di Aceh, dalam pertemuan di Gedung DPR pekan lalu, seorang anggota dewan mengusulkan agar mengganti staf Exxon dengan pasukan zeni tempur. ?Mereka toh sama-sama ahli teknik,? kata yang empunya usul. Meski sebagian peserta rapat tersenyum simpul, lebih banyak lagi yang tersenyum kecut memikirkan devisa yang terus hilang.
Sejak ditutup 9 Maret lalu dengan alasan gangguan keamanan, kisruh Arun membuka mata pemerintah terhadap kasus pertambangan yang membuat para investor enggan masuk, sementara yang bertahan terus-menerus diganggu (lihat boks). Lapangan gas ExxonMobil Indonesia (Emoi) di Arun, Aceh, memasok 1,6 miliar kaki kubik gas per hari, dan jumlahnya total meliputi lebih dari sepertiga produksi gas nasional. Menurut Direktur Utama Pertamina, Baihaki Hakim, sebulan saja mereka menutup operasi, 10 kargo LNG senilai US$ 100 juta tak terangkut. Bahkan, jika mereka masih tak juga membuka keran gas hingga Juli nanti, Rp 1 triliun penerimaan negara dipastikan amblas.
Selain itu, para pembeli gas terbanyak, seperti Jepang dan Korea, sudah pula mengalihkan pembeliannya ke pasar spot Malaysia, padahal negeri jiran ini akan menerima gas impor dari lapangan Natuna mulai tahun depan. Tiga perusahaan yang hidup-matinya bergantung pada pasokan gas itu?Pabrik Pupuk Iskandar Muda, Kertas Kraft Aceh, dan Aceh Fertilizer?juga sudah angkat tangan dan berhenti berproduksi karena tiadanya pasokan gas dari PT Arun. Untuk masyarakat Aceh, menurut hitungan Bappenas, provinsi paling barat itu bisa kehilangan penghasilan dari minyak dan gas sebesar Rp 1,079 triliun tahun ini. Buat Emoi sendiri, sejak terhenti dua pekan lalu, mereka sudah mencatat kerugian operasi sebesar Rp 315 miliar.
Dalam posisi terpojok seperti itu, alternatif terakhir sebelum membentur tembok ialah mengalihkan pasokan gas ke lapangan Bontang di Kalimantan Timur, sesuai dengan bunyi kontrak gas sales agreement. Tapi, tambahan dari Bontang cuma sekitar 875 ribu meter kubik per bulan, setara dengan tujuh kargo, dan hanya bertahan sampai Agustus. Karena situasi makin gawat, pekan lalu pemerintah lewat Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli mengusulkan agar Pertamina mengambil alih ladang itu sampai kontraktor siap bekerja kembali. Mendengar usul ini, mantan kepala BPPKA Pertamina, Drajat ?Jack? Sahar, menyatakan dapat menerima. ?Kontraktor dan Pertamina berhak menyelamatkan kepentingannya masing-masing,? kata Sahar. Artinya, jika Emoi sudah menyatakan keadaan di luar kendali (force majeure), padahal pemerintah sudah memberi jaminan, ladang gas itu bisa diambil alih demi kepentingan Pertamina, yang menerima kuasa penambangan dari negara.
Hal itu pernah dilakukan Pertamina pada tahun 1976, saat Arco tak juga mengembangkan lapangan gasnya di Laut Jawa untuk memasok Krakatau Steel. Lapangan itu akhirnya diambil alih Pertamina. Kali ini, di Arun, Pertamina tampaknya ragu-ragu. Iin Arifin Tachyan, direktur manajemen kontrak production sharing (KPS), mengaku sulit bagi Pertamina melakukannya. ?Harus seizin ExxonMobil, sesuai dengan bunyi kontrak KPS,? katanya kepada TEMPO. Tapi, meskipun sulit, Iin menambahkan bahwa tanggung jawab Pertamina yang mengendalikan manajemen kontrak masih memungkinkan. ?Wewenang manajemen ada di Pertamina, sedangkan mereka cuma membantu kita,? ia mengungkapkan.
Pertamina memang dapat mengoperasikan ladang gas dengan menyewa staf asing pengganti pegawai Emoi. Tapi, ada satu persoalan lain, yaitu jika Pertamina menjadi operator di Aceh, mereka akan kembali memakai pegawai Emoi, yang berjumlah 3.200-an orang itu. Padahal, kata Presiden Direktur Emoi, Ronald Wilson, 80 persen adalah orang asli Aceh yang justru paling ketakutan dengan serangan kelompok bersenjata. Tapi alasan ini pun dibantah Jack Sahar. ?Meski takut, orang Aceh juga butuh makan, sehingga mereka akan bekerja kembali,? tuturnya.
Kalaupun Pertamina tidak bertindak tegas sampai hari ini, rupanya masih ada yang mengganjal, yakni pernyataan force majeure dari Emoi yang dinilai mendadak dan memojokkan Pertamina. Kata Jack, sebelum surat pernyataan itu masuk ke Pertamina, Emoi mesti menjelaskan kepada Pertamina jauh-jauh hari kemungkinan untuk menerapkan force majeure. Apalagi, kata Iin Arifin, ibaratnya makan-minum, gangguan keamanan begitu sering terjadi di Aceh. ?Dari dulu ada gangguan keamanan, toh produksi jalan terus, sehingga kita tak mengira tiba-tiba mereka menyatakan tutup,? ujarnya.
Alhasil, akibat force majeure itu, Pertamina tersandera dan ragu masuk ke Aceh. Jika bersikeras masuk, akan bermasalah dengan Emoi. Sebaliknya, kalau ragu, malah kian menipiskan kantong negara. Emoi pekan lalu sempat diberi tenggat oleh pemerintah hingga 2 April untuk beroperasi lagi. Tapi, jaminan keamanan dari TNI belum membuat mereka tergugah untuk kembali ke lapangan.
IG.G. Mahaadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini