Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penjualan Kebun Sawit ke Guthrie Transaksi Guthrie di Simpang DPR

Penjualan kebun sawit eks Salim kepada Guthrie diprotes banyak pihak. Tapi, transaksi itu sulit dibatalkan.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN antara pemerintah dan DPR tampaknya tak kunjung berhenti. Selain kasus dana Bulog yang berujung memorandum, DPR masih punya lagi peluru untuk menyerang pemerintah, yakni penjualan perkebunan dan pabrik minyak sawit mentah eks Grup Salim. Lembaga perwakilan rakyat ini menganggap penjualan aset yang dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu telah melanggar kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Memang, pada 22 Februari 2001, pemerintah dan DPR setuju untuk mengkaji ulang rencana penjualan kebun sawit eks Salim. Namun, dua pekan lalu, pemerintah mengesampingkan kesepakatan tersebut. Ternyata, BPPN telah menjual aset itu kepada Guthrie Malaysia seharga US$ 368 juta. Berarti, Guthrie resmi memiliki perkebunan seluas 220 ribu hektare plus 12 perusahaan minyak sawit mentah (CPO). Tentu saja DPR berang. Menurut Ketua Komisi IX DPR RI, Benny Pasaribu, transaksi itu tanpa sepengetahuan parlemen. "Untuk penjualan BCA dan Niaga saja, pemerintah minta izin DPR. Ini kok jualan bumi dan air, DPR malah dilewatkan," kata Benny. Karena itu, DPR akan mempersoalkan penjualan tersebut. Bagi Benny, banyak masalah yang masih gelap dalam penjualan itu. Di antaranya masalah pembatasan lahan maksimum 100 ribu hektare untuk perkebunan dan kehutanan, yang dipatok pemerintah sejak September 1998. Selain itu, penjualan kebun sawit dimaksud secara gelondongan juga membuat jatuh harganya. Perkebunan sawit Salim pun dibangun dengan subsidi. "Apa manfaatnya buat rakyat di sekitarnya?" ujar Benny. Menurut sumber TEMPO di DPR, beberapa anggota DPR juga sudah membicarakan masalah penjualan kebun sawit itu dengan kedutaan Malaysia di Jakarta. Dari pembicaraan itu ditengarai pula pelbagai kejanggalan dalam negosiasi kebun sawit tersebut. Sayangnya, sumber itu enggan menjelaskan apa saja kejanggalannya. Yang jelas, katanya, bukan soal Guthrie sebagai pemenang tender penjualan yang dipermasalahkan, melainkan lebih pada masalah transparansi transaksinya. Di luar Gedung DPR, ternyata Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) juga memprotes penjualan itu. Setelah menghadap Wakil Presiden Megawati, Senin pekan lalu, Ketua Umum HKTI Siswono Judohusodo menyatakan bahwa penjualan kebun eks Salim mestinya dijadikan momentum penting untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. "Masa, sebuah perusahaan bisa menguasai 220 ribu hektare?" tutur Siswono. Penjualan kebun sawit ketika harga CPO sedang rendah, menurut Siswono, telah menyalahi pakem bisnis. Dalam kondisi begitu, ia menambahkan, tidak mungkin memperoleh harga jual terbaik. Benar, kebun sawit itu dijual ketika harga CPO cuma US$ 180 per ton. Padahal, harga rata-rata CPO dalam 10 tahun terakhir ini sekitar US$ 600 per ton. "Anak kecil pun tahu, kalau jual barang ketika harganya mahal, dan sebaliknya beli barang waktu harga jatuh," kata bekas Menteri Negara Perumahan Rakyat itu. Meskipun demikian, Siswono mengakui bahwa proses transaksi dengan Guthrie telanjur terjadi. Yang bisa dilakukan, katanya, paling banter mengupayakan agar kontrak bisnis dengan Guthrie bisa diperbaiki. Misalnya, tutur Siswono, dengan menerapkan klausul adanya konsep pembangunan perkebunan inti-plasma yang menentukan kepemilikan perusahaan perkebunan sebesar 30 persen, dan selebihnya bisa dimiliki petani. Agaknya, penjualan kebun sawit itu bisa menimbulkan masalah panjang. Apalagi DPR tampaknya akan terus mempersoalkannya. Sementara itu, di lokasi perkebunan dan pabrik kelapa sawit itu, petani pun berunjuk rasa. Mungkinkah dalam kasus aset eks Salim ini angin baik lebih berpihak pada pemerintah? Soalnya, transaksi dengan Guthrie sudah didukung pemerintah Indonesia dan Malaysia. BPPN juga memang mesti mencari uang Rp 27 triliun untuk menambal APBN 2001, dan aset eks Salim tergolong salah satu aset terbaik BPPN yang masih tertinggal. Kalau transaksi ini masih diutak-utik, apalagi dibatalkan, bisa-bisa citra Indonesia di mata investor asing kian kusam. M. Taufiqurohman, Rommy Fibri, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus