Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Ditimbun Syarat

Keluhan para pengusaha kecil terhadap KIK dan KMKP, yang dihadapkan pada rimba peraturan dan perizinan dan kebijaksanaan yang tidak seragam dari pihak bank pelaksana.(eb)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU pendekatan baru dalam pemberian kredit kepada pengusaha kecil kini sedang dirumuskan Bank Indonesia Karmadi Arief, Direktur Perkreditan Bl di depan Kongres GINSI ke V pekan lalu mengungkapkan di samping memberl bantuan keuangan, Bl juga akan memberi bantuan tehnis dalam cara penggunaan kredit tersebut kepada pengusaha kecil. Tenaga tehnis ini, menurut Karmadi akan diambil dari tertaga pensiunan BI dan juga dari beberapa konsultan yang dibiayai Bank Dunia. Langkah ini diambil menurut Karmadi karena ternyata pemberian kredit saja tidak cukup buat pengusaha kecil, terutama di bidang investasi. Di samping itu batas kredit yang sudah bisa diperoleh dengan Rp 10 juta dengan tingkat bunga 10,5% untuk KIK dan 12% untuk KMKP per tahun -- kalau masih kurang masih bisa ditambah lagi. Sekalipun itu berarti sudah bukan kredit kecil lagi. "Tapi sudah merupakan kredit investasi biasa yang memerlukan banyak syarat, di antaranya adanya modal sendiri," kata Karmadi. Perkembangan KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) memang cukup pesat akhirakhir ini. Jumlah yang diberikan pada 1978 sudah mencapai Rp 283 milyar satu kenaikan 50% dibanding akhir 1977. Sedang jumlah nasabah yang menerimanya naik 30% menjadi 475.000 orang. Kini pemberian KIK dan KMKP naik rata-rata Rp 7,8 milyar setiap bulan, satu kenaikan terbesar dibanding jenis kredit lain. Birokrasi Tapi perkembangan ini tak berarti keluhan terhadap KIK dan KMKP tidak ada. Yang paling sering dikeluhkan calon penerima kredit adalah persyaratannya yang terlalu ketat. Terhadap hal ini Ny. Djokosutono, pengusaha taxi Blue Bird yang juga salah seorang pimpinan Kadin Jaya, menghim bau: "Untuk pengusaha kecil tak perlu izin usaha, tapi cukup lewat pendaftaran yang direkomendasikan Kadin dan Pemda. " Memang soal izin mengizinkan itu selain menelan banyak waktu dan kertas, tak jarang bisa dianggap menghambat orang yang kepingin maju. Dalam kata-kata Ketua Umum Kadin Pusat Suwoto Sukendar, ketika membuka pertemuan Kadin se-Indonesia di Jakarta baru-baru ini, "kita ini dihadapkan pada rimba peraturan dan perizinan." Ada juga pengusaha kecil yang sudah mendapat kredit kccil tapi tak bisa menunakannya karena izin usahanya belum ada. Ini dialami 10 nelayan Deli Serdang, Sumatera Utara. Seperti dilaporkan koresponden TEMPO Zakaria M. Passe dari Medan Mereka mendapat kredit dari Bank Pembangunan Daerah Sum-Ut untuk beli mesin Yanmar seharga Rp 850.000, yang dicicil setiap 3 bulan Rp 23.000 selama 3 tahun. Celakanya, mereka belum mendapat izin ke laut hingga belum bisa memanfaatkan mesinnya -- sementara angsuran kredit sudah menunggu. Satu kekurangan lain dalam KIK dan KMKP ini adalah kebijaksanaan yang tidak seragam dari pihak bank pelaksana. Di kabupaten Asahan, Sumatera Utara, para penenun dan pengrajin yang menggunakan ATBM itu diharuskan menjadi anggota koperasi sebelum bisa menerima kredit, sedangkan ketentuan seperti itu tak terdapat dalam peraturan resmi dari BI. Di Irian Jaya memang hanya ada dua bank pelaksana: Bank Pembangunan Irja dan Bank Exim. Yang terakhir ini berwenang menyalurkan KIK/KMKP. Tapi menurut Ketua Kadin Irja Suwages NL, "jumlah yang disalurkan bank tersebut total jenderal baru Rp 10 juta, sedang dana KIK dan KMKP yang disediakan untuk Irja jauh lebih besar dari itu." Birokrasi dalam pemberian KIK dan KMKP juga belum hilang. Bank Bumi Daya di Karawang, Jawa Barat, yang kredit kecilnya sebagian besar tersalur ke pengusaha angkutan dan kelompok profesi, tidak diberi wewenang untuk memberi putusan dalam pemberian KIK dan KMKP, tapi harus diproses di Jakarta, yang bisa makan waktu lama. Tapi ada juga keluwesan di kabuparcn Karawang itu, kalau saja yang dikatakan kepala BBD cabang Karawang Sutrisno Tirtodihardjo kepada Helman Eidy dari TEMPO itu benar. Dia tak berpendapat urusan minta kredit kecil itu berbelit-belit, "Cukup ajukan permohonan ke bank berikut jaminan sawah, rumah atau kendaraan," katanya. "Dan nilai jaminan itu tak perlu sama dengan jumlah kredit." Alangkah bahagianya pengusaha kecil kalau setiap bankir yang dihadapi itu seperti Sutrisno. Tapi di Jakarta, di pusat penyaluran KIK dan KMKP itu, soalnya tak selancar seperti dikatakan bankir BBD dari Karawang itu. Adalah Hasmi, ketua Koperasi Pengrajin Tas & Sepatu di Jatibaru, Jakarta, yang menyatakan banyak anggotanya tak mengetahui persyaratan tehnis bank. Tapi kalaupun ada yang tahu, demikian Hasmi kepada Widi Yarmanto dari TEMPO, syaratnya tak terjangkau. Mereka umumnya diminta untuk menyerahkan sertifikat tanah dan rumah, suatu hal yang tak mereka punyai. "Mustinya, taksir saja kekayaan kami, kalau pantas diberi kredit Rp 1 juta, ya berilah jumlah itu," katanya. Koperasinya, yang dibina LP3ES, termasuk yang disamber angin Kenop. Berusaha sejak 1973, karyawannya sebelum Kenop-15 sudah mencapai 60 orang. Tapi kini yang tinggal cuma 21 orang. Koperasinya termasuk yang didatangi Gubernur DKI Tjokropranolo dan Menteri Nakertrans Harun Zain pekan lalu. Dan kedatangan Gubernur Tjokro yang disambut riuh itu, rupanya merupakan angin baru pula bagi para pengrajin di Jakarta. Selain menghadiahkan sebuah mesin di sebuah koperasi konpeksi, Hasmi melihat angin baik itu akan disalurkan Gubernur DKI itu lewat Bank Pembangunan Daerah DKI. "Semua data sudah kita berikan kepada BPD itu, tinggal tunggu saatnya saja," kata Hasmi penuh harapan. Tapi sementara para pengrajin Jakarta itu menunggu, di akhir pekail lalu 95 pengusaha di Jakarta boleh bersenang, karena masing-masing menerima sebuah bis mikro Metro Mini, hasil KIK massal tahap II dari BPD DKI. Sayang cuma 30 penerima kredit yang hadir pagi itu, di lapangan silang Monas sebelah utara. Ke mana yang lain? "Yah, selebihnya kan muka-muka baru yang bukan pengusaha kecil," kata seorang penerima KIK. "Praktek uang semirpun masih jalan." Kalau benar demikian, Guhernur Tjokro perlu lebih awas lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus