SATU pendekatan baru dalam pemberian kredit kepada pengusaha
kecil kini sedang dirumuskan Bank Indonesia Karmadi Arief,
Direktur Perkreditan Bl di depan Kongres GINSI ke V pekan lalu
mengungkapkan di samping memberl bantuan keuangan, Bl juga akan
memberi bantuan tehnis dalam cara penggunaan kredit tersebut
kepada pengusaha kecil. Tenaga tehnis ini, menurut Karmadi akan
diambil dari tertaga pensiunan BI dan juga dari beberapa
konsultan yang dibiayai Bank Dunia.
Langkah ini diambil menurut Karmadi karena ternyata pemberian
kredit saja tidak cukup buat pengusaha kecil, terutama di bidang
investasi. Di samping itu batas kredit yang sudah bisa diperoleh
dengan Rp 10 juta dengan tingkat bunga 10,5% untuk KIK dan 12%
untuk KMKP per tahun -- kalau masih kurang masih bisa ditambah
lagi. Sekalipun itu berarti sudah bukan kredit kecil lagi. "Tapi
sudah merupakan kredit investasi biasa yang memerlukan banyak
syarat, di antaranya adanya modal sendiri," kata Karmadi.
Perkembangan KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal
Kerja Permanen) memang cukup pesat akhirakhir ini. Jumlah yang
diberikan pada 1978 sudah mencapai Rp 283 milyar satu kenaikan
50% dibanding akhir 1977. Sedang jumlah nasabah yang
menerimanya naik 30% menjadi 475.000 orang. Kini pemberian KIK
dan KMKP naik rata-rata Rp 7,8 milyar setiap bulan, satu
kenaikan terbesar dibanding jenis kredit lain.
Birokrasi
Tapi perkembangan ini tak berarti keluhan terhadap KIK dan KMKP
tidak ada. Yang paling sering dikeluhkan calon penerima kredit
adalah persyaratannya yang terlalu ketat. Terhadap hal ini Ny.
Djokosutono, pengusaha taxi Blue Bird yang juga salah seorang
pimpinan Kadin Jaya, menghim bau: "Untuk pengusaha kecil tak
perlu izin usaha, tapi cukup lewat pendaftaran yang
direkomendasikan Kadin dan Pemda. "
Memang soal izin mengizinkan itu selain menelan banyak waktu dan
kertas, tak jarang bisa dianggap menghambat orang yang kepingin
maju. Dalam kata-kata Ketua Umum Kadin Pusat Suwoto Sukendar,
ketika membuka pertemuan Kadin se-Indonesia di Jakarta baru-baru
ini, "kita ini dihadapkan pada rimba peraturan dan perizinan."
Ada juga pengusaha kecil yang sudah mendapat kredit kccil tapi
tak bisa menunakannya karena izin usahanya belum ada. Ini
dialami 10 nelayan Deli Serdang, Sumatera Utara. Seperti
dilaporkan koresponden TEMPO Zakaria M. Passe dari Medan Mereka
mendapat kredit dari Bank Pembangunan Daerah Sum-Ut untuk beli
mesin Yanmar seharga Rp 850.000, yang dicicil setiap 3 bulan Rp
23.000 selama 3 tahun. Celakanya, mereka belum mendapat izin ke
laut hingga belum bisa memanfaatkan mesinnya -- sementara
angsuran kredit sudah menunggu.
Satu kekurangan lain dalam KIK dan KMKP ini adalah kebijaksanaan
yang tidak seragam dari pihak bank pelaksana. Di kabupaten
Asahan, Sumatera Utara, para penenun dan pengrajin yang
menggunakan ATBM itu diharuskan menjadi anggota koperasi sebelum
bisa menerima kredit, sedangkan ketentuan seperti itu tak
terdapat dalam peraturan resmi dari BI.
Di Irian Jaya memang hanya ada dua bank pelaksana: Bank
Pembangunan Irja dan Bank Exim. Yang terakhir ini berwenang
menyalurkan KIK/KMKP. Tapi menurut Ketua Kadin Irja Suwages NL,
"jumlah yang disalurkan bank tersebut total jenderal baru Rp 10
juta, sedang dana KIK dan KMKP yang disediakan untuk Irja jauh
lebih besar dari itu."
Birokrasi dalam pemberian KIK dan KMKP juga belum hilang. Bank
Bumi Daya di Karawang, Jawa Barat, yang kredit kecilnya sebagian
besar tersalur ke pengusaha angkutan dan kelompok profesi, tidak
diberi wewenang untuk memberi putusan dalam pemberian KIK dan
KMKP, tapi harus diproses di Jakarta, yang bisa makan waktu
lama.
Tapi ada juga keluwesan di kabuparcn Karawang itu, kalau saja
yang dikatakan kepala BBD cabang Karawang Sutrisno Tirtodihardjo
kepada Helman Eidy dari TEMPO itu benar. Dia tak berpendapat
urusan minta kredit kecil itu berbelit-belit, "Cukup ajukan
permohonan ke bank berikut jaminan sawah, rumah atau kendaraan,"
katanya. "Dan nilai jaminan itu tak perlu sama dengan jumlah
kredit."
Alangkah bahagianya pengusaha kecil kalau setiap bankir yang
dihadapi itu seperti Sutrisno. Tapi di Jakarta, di pusat
penyaluran KIK dan KMKP itu, soalnya tak selancar seperti
dikatakan bankir BBD dari Karawang itu. Adalah Hasmi, ketua
Koperasi Pengrajin Tas & Sepatu di Jatibaru, Jakarta, yang
menyatakan banyak anggotanya tak mengetahui persyaratan tehnis
bank. Tapi kalaupun ada yang tahu, demikian Hasmi kepada Widi
Yarmanto dari TEMPO, syaratnya tak terjangkau. Mereka umumnya
diminta untuk menyerahkan sertifikat tanah dan rumah, suatu hal
yang tak mereka punyai. "Mustinya, taksir saja kekayaan kami,
kalau pantas diberi kredit Rp 1 juta, ya berilah jumlah itu,"
katanya. Koperasinya, yang dibina LP3ES, termasuk yang disamber
angin Kenop. Berusaha sejak 1973, karyawannya sebelum Kenop-15
sudah mencapai 60 orang. Tapi kini yang tinggal cuma 21 orang.
Koperasinya termasuk yang didatangi Gubernur DKI Tjokropranolo
dan Menteri Nakertrans Harun Zain pekan lalu. Dan kedatangan
Gubernur Tjokro yang disambut riuh itu, rupanya merupakan angin
baru pula bagi para pengrajin di Jakarta. Selain menghadiahkan
sebuah mesin di sebuah koperasi konpeksi, Hasmi melihat angin
baik itu akan disalurkan Gubernur DKI itu lewat Bank Pembangunan
Daerah DKI. "Semua data sudah kita berikan kepada BPD itu,
tinggal tunggu saatnya saja," kata Hasmi penuh harapan.
Tapi sementara para pengrajin Jakarta itu menunggu, di akhir
pekail lalu 95 pengusaha di Jakarta boleh bersenang, karena
masing-masing menerima sebuah bis mikro Metro Mini, hasil KIK
massal tahap II dari BPD DKI. Sayang cuma 30 penerima kredit
yang hadir pagi itu, di lapangan silang Monas sebelah utara. Ke
mana yang lain? "Yah, selebihnya kan muka-muka baru yang bukan
pengusaha kecil," kata seorang penerima KIK. "Praktek uang
semirpun masih jalan." Kalau benar demikian, Guhernur Tjokro
perlu lebih awas lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini