Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Awal Yang Baik

Lembaga keuangan non-bank PT. Uppindo dimaksud untuk engisi kekosongan bank. Orientasinya lebih mengarah pada perusahaan menengah. Kenyataannya pinjaman dinikmati perusahaan kelas kakap. (eb)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA pemerintah melaksanakan ide pembentukan lembaga keuangan (LK) non-bank pada awal 70-an, itu dimaksudkan untuk mengisi kekosongan yang belum bisa diisi bank biasa. Kebutuhan pembiayaan bisnis di negeri ini sudah berkembang dari kredit bank biasa jangka pendek untuk modal kerja menjadi kredit jangka panjang dan bahkan modal penyertaan. Lembaga keuangan non!bank PT Usaha Pembiayaan Pembangunan Indonesia -- Uppindo -- atau yang dikenal dengan Indonesian Development Finance Company" (IDIC), didirikan pada 1972, merupakan salah satu LK perintis bidang baru ini. Minggu lalu LK yang berkantor di Jl. Abdul Muis, Jakarta, ini memperingati ulang tahunnya yang keenam, dengan hanya mencatat 80 nasabah yang dibantunya satu hasil kerja yang nampaknya kurang mengesankan untuk waktu selama itu. Namun satu awal yang baik sudah dimulai dan Uppindo punya beberapa alasan untuk diberi salut. Orientasinya kini lebih bergeser ke arah perusahaan kecil dan menengah. Dan pendekatan kepada nasabahnya sudah lebih menyeluruh, tidak melepaskan nasabah begitu saja begitu mereka menerima pinjaman. Mereka terus dibina dan dibimbing. Di Surabaya, anak perusahaannya, PT Bina Wiraswasta Konsultan (BWK) memberi bimbingan dan jasa konsultasi kepada nasabah yang menerima pinjamannya. BWK membantu ikut mengusahakan agar pengusaha besi dan logam di Surabaya itu mendapat tender dan kontrak dari PLN dan PT Nindya Karya. Itu ide segar dari Uppindo. Seperti dikatakan Direktur Uppindo Moerdyono Soemadyono "Uppindo membantu mereka memperoleh suplai bahan baku yang lebih murah dan kontinu, di samping mencarikan penyaluran bagi hasil produksinya, misalnya dengan menjadi sub-kontraktor perusahaan besar." Ini bukan hal yang susah bagi Uppindo karena koneksinya tentunya banyak sekali dengan perusahaan besar. Uppindo masih mengalami kekurangan tehnisi. Tapi ini tak menghalangi usahanya melebarkan sayapnya ke daerah lewat kerja sama dengan Bank Pembangunan Daerah setempat, seperti yang dilakukannya dengan BPD Jawa Tengah baru-baru ini untuk bisa menyalurkan hantuan jangka menengah dan panjang kepada proyek-proyek kecil dan menengah di sana. Separoh Orientasi kepada hldustri kecil lebih terasa sejak 1977. Dari 15 permohonan bantuan yang disetujui, 8 merupakan proyek kecil dan 6 proyek menengah. Memang sejak 1975 prioritas bantuan diberikan untuk usaha kecil dan menengah (menurut definisi Uppindo yang punya kebutuhan pembiayaan minimum Rp 20 juta dan maksimum Rp 100 juta). Pada 1975 proyek-proyek sebesar ini mewakili 39% nasabah Uppindo, tapi bagian mereka naik menjadi 68% pada 1978. Mereka ini menikmati kredit dengan jangka waktu antara 3 sampai 15 tahun deng.ln bunga berkisar antara 9,55-10% sampai 18%. Sekalipun demikian tak berarti pinjaman yang sudah disetujuinya sampai sekarang ini sebagian besar sudah dinikmati pengusaha kecil. Jumlah pinjaman yang sudah disetujui sampai akhir 1978 berjumlah Rp 11,5 milyar. Tapi lebih dari separoh tersalur pada pabrik-pabrik tekstil (integrated), pabrik bahan bangunan, dan pabrik farmasi. Pendek kata, lebih dari separoh kreditnya dinikmati sektor usaha yang tidak bisa dikatakan kecil. Begitu pula modal penyertaan Uppindo yang pada akhir 1977 mencapai Rp 978 juta sebagian besar masih dinikmati perusahaan kelas kakap seperti PT Intermasa, percetakan (Rp 248 juta), PT Aluminium Extrusion Indonesia (Rp 100 juta) dan PT Tubantia Kudus Spinning Mills (Rp 219 juta). Jumlah Pendapatan Uppindo seluruhnya pada 1977 meningkat 40% menjadi Rp 1 milyar. Sebagian besar pendapatan ini berasal dari bunga pinjaman jangka panjang yang pada akhir 1977 sudah mencapai Rp 5,4 milyar. Dari jumlah ini hanya Rp 0,4 milyar yang jatuh tempo untuk 1 tahun. sisanya lebih dari 1 tahun. Labanya sebelum pajak, naik dari Rp 19.juta pada 1976 menjadi Rp 139 juta pada 1977, atau sekitar 140 dari jumlah pendapatan, satu tingkat keuntungan yang cukup lumayan bagi suatu bisnis. Tingkat keuntungan yang besar ini dimungkinkan karena dana yang diputarkannya seluruhnya merupakan kredit murah yang diperolehnya dari Bank Indonesia dan Nederlandse Financierings Maatschappij voor Ontwikkelingslanden NV (FMO). Jumlah pinjaman dari BI seluruhnya Rp 3,3 milyar, sebagian besar hanya dengan bunga 3 sampai 6% setahun untuk masa antara 25 dan 30 tahun. Dari FOM diterima kredit Rp 2,4 milyar, juga dengan bunga antara 2,5 sampai 3% dengan masa angsuran yang tak kalah panjangnya dengan pinjaman BI. Dengan kondisi yang demikian maka pada 1977 ketika Uppindo membayar bunga Rp 239 juta, bunga yang diterimanya dari nasabah berjumlah Rp 937 juta. Selisih hampir Rp 700 juta untuk keuntungan Uppindo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus