"CILAKA Johnson buka pabrik lagi!" Kabar buruk itu (bagi
nyamuk?) tertulis jelas dan gambar nyamuk terbang terbirit-birit
pun menyertai undangan pembukaan pabrik PT SC Johnson & Son
Indonesia Senen pekan lalu.
Di samping kabar buruk bagi nyamuk, mungkin juga bagi para
saingannya. Yaitu pembuat obat nyamuk semprot yang setaraf dan
-- terutama -- pembuat obat nyamuk bakar. Pengusaha obat nyamuk
bakar, yang menggunakan bubuk gergaji sebagai bahan baku, memang
yang paling terpukul oleh jenis semprot. Tapi apa boleh buat:
obat semprot anti nyamuk atau serangga lainnya adalah andalan
perusahaan PMA Johnson Indonesia yang pabrik barunya ai Pulo
Gadung Jakarta Timur.
Terletak di atas tanah 31 Ha, dan menampung sekitar 120
karyawan, separoh dari kegiatan Johnson adalah memprodusir obat
pembunuh nyamuk dan serangga. Dan siapa yang tak kenal si Kapten
Raid yang selalu muncul di iklan TV? Didirikan 90 tahun silam di
kota Racine, Wisconsin (AS) produk Johnson bersaudara ini mulai
terkenal di sini sejak 5 tahun lalu. Mulai dari pabrik
pertamanya yang kecil di Pasar Minggu itu produk mereka kini
sudah diedarkan di 16 kota propinsi -- mulai Medan sampai
Manado.
Tentu bukan cuma obat pembasmi serangga saja yang dibuat
Johnson. Menurut catatan dalam buku prospektus, kini Johnson
Indonesia sudah membuat 157 jenis produk. Meliputi alat
pemeliharaan keperluan rumahtangga, industri, pemeliharaan
gedung & hotel, rumah sakit hingga pemeliharaan badan seperti
obat ketiak. Dirutnya, Anak Agung Gde Agung, 28 tahun, tampak
bangga di antara para undangan: antara lain Barli Halim, Ketua
Badan Koordinasi PMA, Bung Hatta dan nyonya dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta Syafei. Dia, putera sulung bekas Menlu Anak Agung
Gde Agung, memang boleh bangga: pemuda lulusan Universitas
Harvard di AS itu mendapat kepercayaan memegang posisi tertinggi
di Indonesia dari induknya di AS memiliki saham 90%. Agung
berpendapat, masih banyak lagi jenis barang yang akan dibuatnya.
"Kami akan selalu memperkenalkan dan menentukan alat-alat baru
pada masyarakat", katanya. "Jumlahnya tak terbatas dan selalu
ada saja".
Nyonya Sen
Johnson memang nampak unggul dalam pemasaran. Iklannya termasuk
iklan yang paling menarik di Indonesia kini. Tapi obat-obat
semprot juga menyebabkan orang-orang di Lembaga Konsumen
mengawasi sambil geleng kepala. "Raid masih baik, karena
mencantumkan aturan pakai dan peringatan penggunaannya untuk
melindungi kesehatan konsumen", komentar Permadi dari Lembaga
Konsumen Jakarta. Namun ada beberapa obat semprot yang berani
menuliskan pada kaleng kemasnya dengan kata-kata: "Membunuh
serangga, tidak berbahaya bagi manusia bila disemprotkan".
Syukur iklan begitu sudah ditarik dari pemutarannya di
TVRI. "Betapapun kecil pengaruh zat pembunuh serangga itu pada
manusia, konsumen harus diberitahu dan diingatkan bahayanya",
ujar Permadi. "Jangan malah seperti yang sudah diiklankan:
memamerkan penyemprotan zat pembunuh itu dekat makanan atau
dekat anak yang sedang tidur", tambahnya. Seberapa jauh
berbahayanya zat pembunuh serangga terhadap tubuh manusia memang
belum diselidiki oleh Lembaga itu.
Tapi apakah itu juga menyemprot mati jenis obat nyamuk bakar?
Nyonya Sen San, yang pernah punya pabrik obat nyamuk bakar Cap
Kompa, mengatakan: "Dulu saya tahu ada 40 perusahaan obat nyamuk
di Jakarta, tapi sekarang kalau tak salah tinggal dua saja".
Pabrik Cap Kompa-nya sendiri juga sudah gulung tikar. "Obat
nyamuk seperti yang kita bikin tidak laku. Payah", keluhnya.
Sekalipun begitu ada juga beberapa merek obat nyamuk asap yang
bertahan. Seperti cap Menjangan, Kepala Kambing dan cap Kodok,
yang bentuknya lebih bagus, warna hijau menarik dan bungkusnya
yang mengkilap dicetak dengan mesin off-set. Berisi 5 pasang
dalam satu bungkus, cap Menjangan -- yang rupanya lebih mampu
mengusir nyamuk di tempat terbuka -- masih bisa dibeli hanya Rp
75. Ketiga fabrikan merek itu selain membuat sendiri, juga
memesan bahannya dari beberapa bekas pabrik obat nyamuk. Sedang
cap Lonceng yang bentuknya lebih kasar, berwarna coklat dalam
bungkus karton yang sederhana berisi 6 pasang obat nyamuk, juga
masih punya konsumen yang lumayan. "Dulu produksi kami cuma
1.000 doos sehari", kata Kie Seng pemilik pabrik cap Lonceng.
"Sekarang sudah 3.000 sehari". Tapi dengan cepat Kie Seng --
yang pabriknya di jalan KH Mas Mansur, Tambora -- menambahkan
bahwa pasarannya tetap payah. "Modal kita kecil dan banyak yang
ambil barang secara hutang", katanya. "Kalau terus-terusan
begini lama-lama bisa berantakan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini