SEBUAH skandal ala Lockheed kembali diusut dalam Kongres AS.
Kali ini yang menjadi sasaran adalah Burmah Oil -- maskapai
minyak tertua di Inggeris -- yang nyaris bangkrut itu. Adalah
Burmah Oil yang melalui salah satu anak perusahaannya telah
memesan pembuatan 8 kapal tanker untuk Indonesia (Pertamina)
kepada perusahaan General Dynamics di AS. Pembuatan tanker
meliputi kontrak $AS 1 milyar itu dimaksud untuk mengangkut gas
alam cair (LNG) dari Indonesia kepada para konsumen di Jepang.
Menurut berita dalam harian terkemuka New York Times 19 Agustus
lalu, embuatan sejumlah tanker LNG itu -- yang kini dikerjakan
di galangan kapl General Dynamics di kota Quincy, Massachussets
AS -- telah mendapat bantuan kredit dari Pemerintah AS. Tak
jelas apakah Burmah Oil yang memiliki tanker itu. Tapi kalau
sampai terbukti pemiliknya adalah Burmah, dikuatirkan maskapai
minyak yang lagi susah itu akan dituduh melakukan pemalsuan.
Sebab, menurut peraturan yang berlaku di AS, hanya kepada
perusahaan domestik AS bantuan kredit itu bisa diberikan.
Sejak beberapa waktu lalu kasus Burmah itu sedang diselidiki
oleh sebuah Komisi Keuangan Pemerintah AS, Badan Maritim
Pemerintah AS, dan paling sedikit sebuah Komisi dari Kongres.
Anggota Kongres Les Aspen, salah seorang wakil Partai Demokrat
dari negara bagian Wisconsin, telah meminta pada Jaksa Agung
Edward Levi untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap
kelompok Burmah Oil yang dituduh telah memanipulir kredit
Pemerintah AS itu. Menurut harian Sinar Harapan, yang menontak
sebuah sumber perwakilan Indonesia di Washington, fihak State
Department (Deplu-nya AS) menanggapi persoalan itu secara
serius.
Bagaimana nasib Burmah Oil -- yang dalam skala lebih kecil
pernah menderita krisis keuangan di tahun 1974 seperti Pertamina
-- masih harus ditunggu. Tapi yang menarik bagi Indonesia adalah
tuduhan beberapa pejabat penting di Indonesia telah menerima
uang pelicin (pay-off) dari kelompok Burmah. Mengutip sebuah
laporan, berita NYT itu mengatakan bahwa tuan Williams, bekas
Direktur Pelaksana Burmah Oil, mengaku perusahaannya telah
memberikan uang pelicin kepada pejabat-pejabat Indonesia.
Caranya adalah dengan mendirikan anak cabang antara lain di
Indonesia. Williams, yang diberhentikan sektar 9 bulan lalu,
menurut laporan sebuah kantor pengacara itu, mengatakan: " . . .
dalam bagian dunia itu jalan satu-satunya untuk melakukan bisnis
adalah dengan cara mendirikan perusahaan-perusahaan untuk
memberikan kepada orang-orang (tertentu) sejumlah uang". Salah
satu dari perusahaan tersebut, Astrofina Del Mar, menurut
Williams "adalah perusahaan di mana para pejabat Indonesia
memperoleh uang".
Laporan itu tak menyebutkan nama seseorang pejabat pun. Demikian
pula tak dijelaskan siapa yang duduk dalam perusahaan yang
disebut Del Mar itu. Tapi laporan itu banyak menyebutkan
kegiatan tuan Kulukundis, bekas Dirut anak perusahaan Burmah Oil
-- yakni Burmah East Shipping Corporation yang bermaksud
men-carter-kan tanker-tanker LNG mereka kepada Pertamina.
Laporan itu mengatakan bahwa Elias J. Kulukundis asal Junani,
"punya hubungan dengan Pertamina sebelum dia masuk dalam
kelompok Burmah".
Tapi sebuah keterangan dari kantor pusat Burmah Oil di London
menolak semua tuduhan yang dialamatkan kepada anak perusahaannya
yang mengurusi soal tanker itu. Menurut mereka, "perjanjian
telah dibuat sesuai dengan undang-undang yang berlaku di AS".
Ketua dan pimpinan sehari-hari Burmah Oil selepas krisis di
akhir tahun 1974 dipegang oleh Alastair Down dan Stanley Wilson
sebagai direktur pelaksana.
Yang juga menjadi pertanyaan beberapa orang di "luaran" adalah:
Mengapa malah Burmah Oil yang hampir bangkrut itu yang dipilih
untuk melakukan pesanan tanker LNG oleh Pertamina? Krisis
keuangan Burmah Oil mencapai puncaknya ketika musim pasang
minyak mulai surut di tahun 1974. Dan saham-saham dari maskapai
minyak yang juga tergiur mempertaruhkan modalnya dalam bisnis
tanker itu, dengan cepat diambil alih oleh Bank of England di
akhir 1974.
Sementara itu di Jepang -- yang belum pulih dengan heboh bekas
PM Tanaka yang terlibat skandal Lockheed masalah Burmah Oil itu
juga jadi sorotan pers. Yomiur Shimbun, salah satu harian besar
di Jepang, awal pekan lalu memberitakan bahwa Burmah telah
memberikan uang pelicin sebanyak $AS 3 juta kepada pejabat di
lingkungan perkapalan Jepang. Tak diketahui dengan pasti apakah
lebih dari seorang pejabat yang mendapat uang pelancar itu. Juga
apakah fihak perkapalan itu terdiri dari swasta atau pemerintah.
Tapi disebutkan bahwa uang sogokan itu $ 2 juta berupa tunai dan
lebihnya berupa cek.
Yomiuri juga menyebut sebuah perusahaan bemama Edna, yang
didirikan fihak Burmah di Hongkong untuk memberikan uang
pelancar. Robin Loh, pengusaha Singapura yang pernah kebagian
banyak proyek dad Pertamina, tersebut namanya sebagai "orang
yang bertugas menyalurkan uang pelancar itu kepada
pejabat-pejabat di Indonesia".
Kalau semua itu benar, jelas bahwa larangan Presiden untuk
meng"komersiilkan jabatan" memang soal serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini