Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Radiogram Itu

Sk gubernur riau yang mengatur perdagangan garam ditegur dirjen perdagangan dalam negeri karena bersifat monopolitik. Akibatnya sk itu terpaksa dicabut dan garam pun boleh dijual siapa saja.

4 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUAL garam di Bagan Siapi-api atau di Kepulauan Riau memang dagang yang menarik. Sebab lebih dari separoh hasil laut di sana dijadikan ikan asin atau ditumbuk menjadi terasi. Dan itu membutuhkan garam lebih 40 ribu ton setahun. Maka dari itu pernah muncul beberapa peraturan daerah yang mau mengatur perdagangan garam. Bahkan sebuah Surat Keputusan (SK) Gubernur, yang menunjuk hanya sebuah perusahaan untuk berdagang garam di daerahnya, membolehkan adanya sistim monopoli, Maksudnya, tentu agar kas daerah kebagian uang garam. Tapi SK Gubernur Riau itu, sesungguhnya, bertentangan dengan peraturan Pemerintan Pusat. "Sistim perdagangan yang monopolistik tidak dibenarkan". Begitu antara lain isi surat teguran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, bulan Desember, kepada Gubernur Arifin Achmad di Pakanbaru. Diingatkannya juga agar Gubernur juga tidak membuat peraturan sendiri untuk mengatur perdagangan. Sebab, "SK Presiden No. 44 dan 45 tahun 1974, menetapkan bahwa kewenangan dan tanggung jawab di bidang perdagangan berada di tangan Menteri Perdagangan", lanjut Dirjen Perdagangan Muskita. Loon Mau Walaupun agak lambat, baru bulian April berikutnya. Arifin Achmad mencabut SK-nya yang menyangkut soal dagang garam. Tapi lebih lambat lagi telinga pejabat bawahannya mendengar pencabutan SK itu. Buktinya pada akhir April lalu terjadi hambatan pembongkaran garam milik PT Habadi dari MV Loon Mau. Atas rekomendasi pemerintah, PT Habadi boleh mengimpor garam untuk penyediaan dan perdagangan garam di dalam negeri. Dari 50 ribu ton garam yang diimpornya. Lebih dari 3000 ton hendak dipusarkannya di Riau. Agak lama juga Loon Mau harus berusaha membongkar muatannya. Karena pejabat di Bagan Siapi-api berpegang pada peraturan lama: "Yang berhak menjual garam hanya PN Garam", begitu kata seorang pejabat. PT Habadi kalang kabut juga sebentar. Untung segera datang radiogram dari Dirjen Perdagangan Dalam Negeri menjernihkan urusan garam itu. Dan baru 10 Mei berikutnya, lima hari setelah radiogram dari Jakarta, Camat Bako Bagan Siapi-api mengizinkan Loon Mau membongkar muatannya. Pejabat Bagan Siapi-api memang terlambat menerima ketentuan penghapusan monopoli garam. "Maklum sudah empat tahun terbiasa dengan sistim monopoli itu", ujar seorang pedagang garam mengerti. Dan lagi peraturan monopolinya juga berubah-ubah sejak 4 tahun terakhir ini. Tahun 1972, permulaan ada pengaturan garam, Gubernur Riau mula-mula menunjuk PT Pembangunan Riau sebagai satu-satunya pedagang garam di daerahnya. Kabarnya perusahaan yang pegang monopoli ini untung gede juga. Tiga tahun kemudian Gubernur berkenan memindahkan hak monopoli ke tangan PN Garam. Alasan nya tidak begitu jelas. Tapi yang pasti para pengasin dan nelayan mengeluh: harga garam mahal. Tapi harga juga tidak membaik ketika PN Garam bekerja di sana. Jika perusahaan negara itu menentukan harga Rp 27 per kilo untuk Bagan Siapi-api, maka oleh penyalurnya dijual kepada konsumen Rp 35. Di kepulauan lebih para lagi. Harga yang mestinya cuma Rp 35 per kilo menjadi Rp 45. Sementara, mau tak mau, nelayan dan pengasin hanya boleh membeli dari tangan pemegang monopoli. Tak ada lagi harga bersaing. Maka yang memerlukan garam keluhannya makin keras saja. Mereka lalu mengirim surat dan mengadukan halnya kepada Menteri Dalam Negeri -- yang tembusannya sampai ke Menteri Perdagangan. Pemerintah Pusat memang memperhatikan hal itu. Itulah sebabnya keluar surat teguran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri kepada Gubernur Riau. Walaupun di Riau masih ada toko yang pasang papan bertulisan "distributor tunggal garam", dagang garam sudah bebas kembali dan boleh dilakukan oleh siapa saja. Seperti kata Muskita: "Garam, ikan asin dan terasi tidak termasuk komoditi dagangan yang diawasi untuk tak boleh diantar-pulaukan". Tapi mengapa harga garam masih di atas Rp 35 ribu per ton seperti yang dibeli para pengasin? Itu soal lain. Rupanya para pengasin masih terikat dengan kontrak harga lama. Dan itu baru akan selesai, "jika hutang kami sudah lunas", kata seorang pengasin, yang terikat hutang dengan seorang penyalur garam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus