JUAL garam di Bagan Siapi-api atau di Kepulauan Riau memang
dagang yang menarik. Sebab lebih dari separoh hasil laut di sana
dijadikan ikan asin atau ditumbuk menjadi terasi. Dan itu
membutuhkan garam lebih 40 ribu ton setahun. Maka dari itu
pernah muncul beberapa peraturan daerah yang mau mengatur
perdagangan garam. Bahkan sebuah Surat Keputusan (SK)
Gubernur, yang menunjuk hanya sebuah perusahaan untuk berdagang
garam di daerahnya, membolehkan adanya sistim monopoli,
Maksudnya, tentu agar kas daerah kebagian uang garam. Tapi SK
Gubernur Riau itu, sesungguhnya, bertentangan dengan peraturan
Pemerintan Pusat. "Sistim perdagangan yang monopolistik tidak
dibenarkan". Begitu antara lain isi surat teguran Dirjen
Perdagangan Dalam Negeri, bulan Desember, kepada Gubernur Arifin
Achmad di Pakanbaru. Diingatkannya juga agar Gubernur juga tidak
membuat peraturan sendiri untuk mengatur perdagangan. Sebab, "SK
Presiden No. 44 dan 45 tahun 1974, menetapkan bahwa kewenangan
dan tanggung jawab di bidang perdagangan berada di tangan
Menteri Perdagangan", lanjut Dirjen Perdagangan Muskita.
Loon Mau
Walaupun agak lambat, baru bulian April berikutnya. Arifin
Achmad mencabut SK-nya yang menyangkut soal dagang garam. Tapi
lebih lambat lagi telinga pejabat bawahannya mendengar
pencabutan SK itu. Buktinya pada akhir April lalu terjadi
hambatan pembongkaran garam milik PT Habadi dari MV Loon Mau.
Atas rekomendasi pemerintah, PT Habadi boleh mengimpor garam
untuk penyediaan dan perdagangan garam di dalam negeri. Dari 50
ribu ton garam yang diimpornya. Lebih dari 3000 ton hendak
dipusarkannya di Riau. Agak lama juga Loon Mau harus berusaha
membongkar muatannya. Karena pejabat di Bagan Siapi-api
berpegang pada peraturan lama: "Yang berhak menjual garam hanya
PN Garam", begitu kata seorang pejabat. PT Habadi kalang kabut
juga sebentar. Untung segera datang radiogram dari Dirjen
Perdagangan Dalam Negeri menjernihkan urusan garam itu. Dan baru
10 Mei berikutnya, lima hari setelah radiogram dari Jakarta,
Camat Bako Bagan Siapi-api mengizinkan Loon Mau membongkar
muatannya.
Pejabat Bagan Siapi-api memang terlambat menerima ketentuan
penghapusan monopoli garam. "Maklum sudah empat tahun terbiasa
dengan sistim monopoli itu", ujar seorang pedagang garam
mengerti. Dan lagi peraturan monopolinya juga berubah-ubah sejak
4 tahun terakhir ini. Tahun 1972, permulaan ada pengaturan
garam, Gubernur Riau mula-mula menunjuk PT Pembangunan Riau
sebagai satu-satunya pedagang garam di daerahnya. Kabarnya
perusahaan yang pegang monopoli ini untung gede juga. Tiga tahun
kemudian Gubernur berkenan memindahkan hak monopoli ke tangan PN
Garam. Alasan nya tidak begitu jelas. Tapi yang pasti para
pengasin dan nelayan mengeluh: harga garam mahal.
Tapi harga juga tidak membaik ketika PN Garam bekerja di sana.
Jika perusahaan negara itu menentukan harga Rp 27 per kilo untuk
Bagan Siapi-api, maka oleh penyalurnya dijual kepada konsumen Rp
35. Di kepulauan lebih para lagi. Harga yang mestinya cuma Rp
35 per kilo menjadi Rp 45. Sementara, mau tak mau, nelayan dan
pengasin hanya boleh membeli dari tangan pemegang monopoli. Tak
ada lagi harga bersaing. Maka yang memerlukan garam keluhannya
makin keras saja. Mereka lalu mengirim surat dan mengadukan
halnya kepada Menteri Dalam Negeri -- yang tembusannya sampai ke
Menteri Perdagangan. Pemerintah Pusat memang memperhatikan hal
itu. Itulah sebabnya keluar surat teguran Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri kepada Gubernur Riau.
Walaupun di Riau masih ada toko yang pasang papan bertulisan
"distributor tunggal garam", dagang garam sudah bebas kembali
dan boleh dilakukan oleh siapa saja. Seperti kata Muskita:
"Garam, ikan asin dan terasi tidak termasuk komoditi dagangan
yang diawasi untuk tak boleh diantar-pulaukan". Tapi mengapa
harga garam masih di atas Rp 35 ribu per ton seperti yang dibeli
para pengasin? Itu soal lain. Rupanya para pengasin masih
terikat dengan kontrak harga lama. Dan itu baru akan selesai,
"jika hutang kami sudah lunas", kata seorang pengasin, yang
terikat hutang dengan seorang penyalur garam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini