Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA- Sampah plastik yang menggunung dan sulit terurai masih menjadi persoalan lingkungan yang tak kunjung usai. Indonesia setidaknya menghasilkan lebih dari 8 juta ton sampah plastik setiap tahun, sedangkan dunia lebih dari 300 juta ton. Sampah yang bertebaran hingga ke perairan itu memantik inisiatif Greenhope (PT Harapan Interaksi Swadaya) untuk menghadirkan teknologi plastik biodegradable yang ramah lingkungan, Oxium dan Ecoplas, berbahan dasar singkong (cassava starch), sejak enam tahun silam. Teknologi itu pun telah tersertifikasi dan dipatenkan di Amerika Serikat, Singapura, juga Indonesia.
Chief Executive Officer (CEO) Greenhope, Tommy Tjiptadjaja, mengungkapkan dibutuhkan riset hingga lebih dari 10 tahun untuk pendiri Greenhope, Sugianto Tandio, menemukan teknologi dan material plastik ramah lingkungan untuk menggantikan plastik konvensional yang sulit terurai dan didaur ulang. “Kami ingin mengubah pola konsumsi dan produksi masyarakat yang bersinergi dengan lingkungan menggunakan teknologi lokal dari Indonesia,” ujarnya kepada Tempo dalam wawancara secara daring, Rabu pekan lalu.
Singkong dipilih sebagai material lokal yang potensial untuk menggantikan plastik, karena banyak ditemukan di Indonesia dan mudah ditanam. Karena itu, singkong dinilai dapat berkelanjutan sebagai bahan dasar utama. “Sebelumnya, kami juga sudah memastikan jangan sampai berkompetisi dengan kebutuhan pangan dan jangan ada nilai keekonomian yang lebih tinggi,” kata Tommy.
Co-Founders & CEO Greenhope, Tommy Tjiptadjaja. Dok. Pribadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mendapatkan suplai singkong, Greenhope selama ini bekerja sama dengan koperasi-koperasi petani di seluruh Indonesia dengan menerapkan standardisasi dan prasyarat yang disesuaikan dengan kebutuhan material ramah lingkungan dari plastik. Dengan semakin membuminya teknologi plastik biodegradable berbahan singkong ini, diharapkan akan timbul dampak positif bagi para petani singkong. “Sekarang PR-nya perlu mencari varietas yang lebih produktif untuk kebutuhan industri, proses pengeringan juga harus lebih baik lagi, begitu juga kualitas pekerja harus ditingkatkan. Dengan permintaan yang meningkat, otomatis petani juga sejahtera,” ucapnya.
Adapun biji plastik dari singkong itu kemudian diolah menjadi kantong belanja, kantong sampah, kemasan produk, cup minuman dan makanan, food tray, hingga alat makan. Greenhope kini memiliki pabrik di Cikupa, Tangerang, dan terus berekspansi untuk menambah kapasitas. “Kami punya mesin cukup banyak sampai 5 production lines, dengan kapasitas masing-masing bisa lebih dari 100 ton per bulan. Kami berharap setidaknya bisa double size setiap tahun.”
Tommy mengatakan, seiring meningkatnya kesadaran akan ekonomi hijau, klien pengguna solusi Greenhope terus bertambah. Dari berbagai merek usaha retail, fast moving consumer goods (FMCG), kuliner, hingga perhotelan. “Kami menyebut mereka eco soulmate.” Di antaranya adalah Sari Rasa Group, Kulina, Alfamart, Sariayu, dan Tessa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai produk ecoplas Greenhope. Dok. Greenhope
Tak hanya di dalam negeri, Greenhope mengekspor teknologi dan produk ke lebih dari 10 negara, dari Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, hingga kawasan Eropa, Amerika Tengah, dan Amerika Utara. “Sekitar 40 persen dari output kami untuk ekspor,” kata Tommy.
Greenhope menyadari produk plastik ramah lingkungan lebih mahal harganya dibanding plastik konvensional. Hal itu karena teknologi yang digunakan masih sangat baru, masih butuh banyak pengembangan, ditambah lagi volume produksi yang masih kecil. “Kalau volume makin besar, teknologi semakin lama dikenal pasar, maka harga semakin murah.”
Besarnya potensi yang dimiliki bisnis Greenhope pun menarik minat investor. Terakhir, Indonesia ImpactFund yang dikelola oleh Mandiri Investment Management dan Mandiri Capital Indonesia resmi mendanai Greenhope senilai US$ 500 ribu. “Pendanaannya akan digunakan untuk mendukung ekspansi kapasitas, riset dan studi, serta menjalin kolaborasi untuk pengembangan bisnis lainnya,” kata Tommy.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo